
Dunia Islam
Kegemilangan Abbasiyah pada Era Harun al-Rasyid
Kekhalifahan Abbasiyah mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid.
Kalangan sejarawan umumnya sepakat, zaman pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (766-809) adalah permulaan era keemasan Islam. Baghdad menjadi mercusuar peradaban yang kosmopolit. Cahayanya menyinari segala arah dan meliputi beragam bangsa dan umat—tidak hanya Muslimin.
Bait al-Hikmah terletak di Baghdad. Sebelumnya, lembaga itu bernama Khizanah al-Hikmah, tetapi lebih dikenal sebagai demikian sejak masa khalifah Harun al-Rasyid. Bait al-Hikmah dirintis pada zaman Khalifah Muawiyah I, sang pendiri Dinasti Umayyah. Lokasinya masih di Damaskus, yakni pusat pemerintahan wangsa tersebut. Mulanya, lembaga itu adalah sebuah perpustakaan besar.
Koleksinya mencakup banyak manuskrip dan buku dari berbagai bahasa dan bangsa. Mulai dari Arab, Yunani, Latin, hingga Persia. Bidang kajiannya pun terbentang luas. Sebut saja, ilmu-ilmu agama Islam, matematika, alkemi, fisika, astronomi, kedokteran, botani, dan sebagainya. Bait al-Hikmah dalam periode Umayyah berkembang pesat berkat industri pembuatan kertas. Teknologi itu sendiri diadopsi dari bangsa Cina.
Sejak medio abad kedelapan, Dinasti Abbasiyah berhasil menumbangkan kekuasaan Umayyah. Khalifah al-Mansur, penguasa kedua wangsa tersebut, lantas memindahkan pusat pemerintahan ke kota baru yang dirintisnya, yakni Baghdad di Irak. Abbasiyah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.

Alhasil, para penguasa setempat mengadopsi banyak tradisi Sassania dalam aspek-aspek profan. Di antaranya adalah aktivitas menerjemahkan naskah-naskah berbahasa asing. Bila dahulu—sebelum Islam datang—penerjemahan itu dilakukan dari rupa-rupa bahasa ke Persia. Kini, alih bahasa dilakukan ke bahasa Arab.
Khalifah al-Mansur mendukung sepenuhnya kegiatan intelektual demikian. Maka, ia pun mendirikan perpustakaan besar di Baghdad. Ia juga mengundang para sarjana dari berbagai bangsa dan agama untuk meramaikan aktivitas keilmuan di sana.
Zaman silih-berganti. Ketika Harun al-Rasyid berkuasa, pemerintah semakin mengembangkan lembaga tersebut. Mengutip sejarawan Ali bin Yusuf al-Qifti (wafat 1248), institusi itu dinamakan Khizanat Kutub al-Hikmah (Penyimpanan buku-buku Rumah Kebijaksanaan). Singkatnya, Bait al-Hikmah.
Alih-alih bersikap eksklusif, Harun al-Rasyid menjalankan kebijaksanaan yang inklusif. Mengikuti jejak para pendahulunya, ia menjadikan Bait al-Hikmah sebagai rumah untuk semua. Siapapun ilmuwan yang berkomitmen pada kemajuan ilmu pengetahuan, maka disambut kedatangannya. Alhasil, penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab dan riset serta observasi ilmiah pun marak diselenggarakan di sana.
Sang khalifah mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas. Buktinya, ia bahkan mengangkat I'yan Syu'ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan itu. Tak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan bahasa Arab di Bait al-Hikmah. Ada pula sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana, terutama dalam bidang keilmuan matematika.

Di samping Bait al-Hikmah, Khalifah Harun juga membangun Majelis al-Muzakarah. Di sinilah tempat berkumpulnya alim ulama untuk membahas dan mencari solusi untuk berbagai persoalan umat Islam. Sang penguasa Abbasiyah juga mendorong para ulama agar menggiatkan kajian-kajian keagamaan, baik di masjid-masjid maupun rumah-rumah penduduk. Bahkan, tak jarang istananya menjadi tempat para alim berdiskusi dan berdebat, sedangkan sang raja sendiri menyimak dengan penuh perhatian.
Harun al-Rasyid memiliki ketertarikan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan. Barangkali, minat ini diwarisi dari ibundanya yang walau “hanya” seorang mantan budak pada akhirnya mampu mengendalikan pemerintahan negeri Abbasiyah berkat kecerdasannya.
Khalifah Harun menerapkan sistem pendidikan berjenjang bagi seluruh anak negeri. Ia juga mendirikan banyak madrasah dan pusat keilmuan.
Dalam periode kepemimpinannya, Ibu Kota bertransformasi menjadi permata dunia. John Henry Haaren dalam Famous Men of the Middle Ages menjelaskan, pada zaman itu ada dua mercusuar peradaban, yakni Andalusia di Barat dan Baghdad di Timur. Masing-masing mencerminkan persaingan yang terus hidup antara Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

Sejak 796, Khalifah Harun memindahkan pusat pemerintahan ke Raqqa, dekat tepi Sungai Eufrat. Bagaimanapun, Baghdad—kota yang dirintis Khalifah al-Mansur (714-775), sang pemimpin kedua Dinasti Abbasiyah—tetap dikembangkannya. Bahkan, upaya Harun al-Rasyid lebih inovatif bila dibandingkan para pendahulunya. Dan, tidak hanya Baghdad.
Kota-kota lainnya di bawah kendali Abbasiyah, semisal Basrah atau Kuffah, juga tumbuh dengan pesat. Banyak ilmuwan dari seluruh dunia berdatangan ke sana untuk memajukan ilmu pengetahuan. Mereka tidak sekadar dari kalangan Muslimin, melainkan juga umat agama-agama lain. Hal ini membuktikan kuatnya semangat kosmopolitan Dinasti Abbasiyah dalam membangun peradaban.
Dalam mengukuhkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Harun al-Rasyid selalu berpatok pada impian besar. Yakni, memperbaiki kondisi manusia melalui penyebaran sains, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ia ingin pengaruh kekhalifahan ini besar dan kuat di tengah dunia lantaran menghasilkan cahaya-cahaya peradaban ke seluruh penjuru bumi. Singkatnya, ia ingin mengamalkan prinsip Islam, rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Harun al-Rasyid, Khalifah yang Berkuasa karena Ibu
Pengaruh ibunda begitu besar dalam proses Harun al-Rasyid naik takhta.
SELENGKAPNYAMajelis Kehormatan MK Jatuhkan Sanksi Teguran Lisan kepada Enam Hakim Konstitusi
Enam hakim konstitusi karena terbukti secara bersama-sama melanggar kode etik karena kebocoran informasi rapat hakim.
SELENGKAPNYAPraktik Terbaik Kelembagaan dan Hilirisasi Bawang Merah
Fluktuasi harga bawang merah disebabkan oleh lemahnya kelembagaan petani.
SELENGKAPNYA