ILUSTRASI Hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping Alquran. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Kedudukan Hadis sebagai Penjelas Alquran

Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

Hadis atau sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Pandangan ini tak ada yang menyangsikan. Sebab, Alquran tidak hanya berisi ayat-ayat yang maknanya jelas (qath'i), tetapi juga yang samar (zhanni) sehingga membutuhkan penjelasan yang teperinci.

Salah satu contohnya adalah shalat. Banyak ayat Alquran yang mengungkapkan perintah shalat. Namun, bagaimana shalat itu dilakukan? Jawaban atas pertanyaan itu tidak dijelaskan secara detail dalam Kitabullah.

Dari sini, kita dapat melihat dari tuntunan yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disaksikan dan dijelaskan para sahabat. Bahkan, Rasulullah SAW bersabda, ''Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat'' (HR Bukhari).

Begitu pula dengan perintah berhaji. Rasulullah SAW menjelaskan, ''Ambillah (kerjakanlah) haji itu dari manasik yang aku kerjakan.''

Dari sini, tampak bahwa kedudukan hadis menjadi penjelas terhadap kandungan ayat-ayat Alquran. Karena itu, para ulama sepakat untuk menempatkannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

Dalam perkembangannya kemudian, sepeninggal Rasulullah SAW, tak ada lagi tokoh sentral yang bisa menjelaskan kandungan ayat Alquran secara lebih mendetail. Namun demikian, Rasulullah SAW telah meninggalkan 'warisan' berharga bagi umatnya, yakni berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan hukum yang pernah dilakukannya semasa hidupnya, termasuk sifat-sifatnya. Itulah hadis.

photo
ILUSTRASI Hadis Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan hal-hal yang belum detail dalam Alquran. - (DOK PXHERE)

Saat wukuf di Padang Arafah, 9 Zulhijjah tahun 10 H, Nabi SAW bersabda, ''Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan tidak akan tersesat kalian selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yakni Kitabullah (Alquran) dan sunnah.''

Seiring perjalanan waktu; perkataan, perbuatan, ketetapan, ataupun akhlak Rasulullah SAW diterjemahkan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda pula dari berbagai generasi. Akibatnya, muncul ungkapan-ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW kendati hal itu tak pernah diungkapkan oleh beliau. Penghulu dari segala nabi ini pernah mengecam orang-orang yang suka menisbatkan sesuatu pada dirinya, sementara hal itu tak pernah dikerjakannya. ''Barangsiapa yang berdusta atas nama diriku, sesungguhnya tempatnya adalah neraka.''

Pada eksesnya, ungkapan-ungkapan yang diklaim merupakan ucapan Rasulullah SAW, padahal bukan demikian, diistilahkan sebagai hadis palsu. Kualitasnya rendah dalam klasifikasi hadis-hadis.

Kualitas hadis

Rendahnya kualitas hadis palsu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimiliki, berkaitan dengan cara menukilkan atau meriwayatkan hadis Nabi SAW. Baik dari sisi perawinya (orang yang meriwayatkan hadis) maupun makna yang terkandung dari hadis tersebut.

Karena itu, para ulama secara umum mengklasifikasikan hadis-hadis ke dalam beberapa kelompok. Ada yang disebut dengan hadis mutawatir, ahad, sahih, hasan, dhaif, maudhu, matruk, marfu', dan sebagainya.

Cara untuk mengetahui kualitas hadis dikenal dengan nama ilmu musthalah al-hadits. Inilah disiplin yang mempelajari periwayatan sebuah hadis dan kualitas dari hadis yang diriwayatkan.

Dalam ilmu ini, dikenal dengan dua istilah, yaitu ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu riwayah hadis adalah ilmu yang mempelajari cara penukilan, pemeliharaan, dan periwayatan sebuah hadis yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun sifat-sifatnya. Dengan mempelajari ilmu ini, dapat diketahui asal hadis tersebut melalui periwayatan, termasuk ketersambungan dengan Rasulullah SAW.

photo
ILUSTRASI Mempelajari hadis. - (DOK WIKIPEDIA)

Sementara itu, ilmu dirayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui keadaan sanad; matan, baik sahih, hasan, dhaif, rafa', mauquf, maupun 'uluw; turunannya; cara menerima dan menyampaikan hadis; sifat-sifat hadis; syarat-syarat perawi; dan yang serupa dengan itu.

Ilmu dirayah menjadi alat bagi ilmu riwayat. Sekalipun ilmu dirayah telah menjadi pembahasan para ulama sejak abad kedua Hijriyah, namun ilmu ini belum dibahas secara khusus dalam sebuah kitab tertentu. Namun, ketika masa Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi, pembahasan mengenai ilmu ini baru dituangkan dalam sebuah karya tulis.

Pembicaraan tentang ilmu dirayah hadis sudah dimulai sejak zaman sahabat. Kemudian, berkembang pada zaman tabiin dan menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri pada abad ketiga Hijriyah. Kajian ilmu hadis dirayah sangat luas sehingga banyak cabangnya. Imam as-Suyuti mengatakan bahwa cabang-cabang ilmu itu banyak sekali sehingga tak terhitung.

Ibnu Salah, seorang ahli hadis, menyebutkan enam macam dan setiap macam bisa berkembang menjadi tak terbatas. Namun, al-Hafiz bin Katsir, ahli hadis lainnya, mengomentari bahwa pembagian Ibnu Salah tersebut dapat ditinjau kembali.

Lalu, apa yang dimaksud dengan hadis qudsi? Subhi As-Shalih dalam Ulum al-Hadits wa Musthaluhu menjelaskan, hadis qudsi adalah kalam (firman) Allah yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW yang didapat dari ilham atau mimpi, namun maknanya langsung dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Rasul SAW.

photo
ILUSTRASI Dalam sebuah hadis, dijelaskan bahwa nasihat merupakan pokok ajaran agama Islam. - (DOK AP Amr Nabil)

Periode perkembangan hadis

Sebagai sumber hukum Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Para ahli mengatakan, sampai sekarang hadis telah melewati sedikitnya tujuh masa (periode) perkembangan.

Periode pertama. Masa turunnya wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya, yakni masa kerasulan, dari 13 Sebelum Hijriyah hingga 11 Hijriyah. Pada masa ini, Nabi SAW hidup dan bergaul serta berbicara dengan masyarakat umum dan para sahabat, baik di masjid, di rumah, di pasar, maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW senantiasa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi periwayat hadis kendati masih berupa hafalan.

Periode kedua. Ini disebut dengan Zaman at-Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Pembatasan Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yakni masa khalifah empat (Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Hal ini berkaitan dengan masa penyebaran Islam dan masalah ketatanegaraan serta kepemimpinan umat.

Periode ketiga. Disebut dengan Zaman Intisyar ar-Riwayah ila al-Amtsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota-kota). Masa ini berlangsung pada zaman sahabat kecil dan tabiin besar. Penaklukan yang dilakukan tentara Islam atas wilayah Syam (Syria) dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H) mengharuskan para sahabat berpindah tempat dalam menyebarkan Islam.

Periode keempat. Disebut dengan 'Asr al-Kitabat wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Hadis). Zaman ini berlangsung pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-720 M) sampai akhir abad ke-2 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan mempunyai minat yang sangat tinggi dengan ilmu pengetahuan.

photo
ILUSTRASI Mempelajari hadis. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc. - (ANTARA FOTO)

Periode kelima. Disebut dengan 'Asr at-Tajrid wa at-Tashhih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dimulai dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H. Periode ini menanggung dan mencarikan pemecahan terhadap permasalahan hadis-hadis yang muncul dan belum diselesaikan pada periode sebelumnya. Pada periode ini, dilakukan pemisahan antara hadis Nabi SAW dan fatwa para sahabat. Pada masa ini, muncul berbagai kitab-kitab hadis, baik yang dinamakan kitab sahih, sunan, maupun musnad, yang ditulis oleh tokoh-tokoh hadis.

Periode keenam. Disebut dengan 'Asr at-Tahzib wa at-tartib wa al-Istidrak wa al-Jam' (Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), yang dimulai dari abad ke-4 H sampai jatuhnya Kota Baghdad (656 H/1258 M). Ulama hadis telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau periode ini disebut dengan mutaqaddimin (terdahulu) dan yang sesudahnya muta'akhkhirin (belakangan).

Periode ketujuh. Disebut dengan 'Ahd asy-Syarh wa al-Jam' wa at-Takhrij (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrij-an atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), yaitu mulai jatuhnya Baghdad sebagai pemerintahan Dinasti Abbasiyah oleh pasukan Hulagu Khan (656 H/1258 M) sampai sekarang. Periode ini masih melanjutkan beberapa kegiatan pada periode sebelumnya, di samping kegiatan lainnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Rahasia Membuat Poster Gemes AI Ala Kita

Salah satu ide paling populer adalah membuat poster film kartun bergaya Disney yang menggemaskan adalah tentang binatang peliharaan

SELENGKAPNYA

Sejarah Rumah Sakit Indonesia di Gaza

Rumah Sakit Indonesia di Gaza adalah sebuah bukti silaturahim rakyat RI dan rakyat Palestina.

SELENGKAPNYA

Mural Karya Siswa Sekolah Dasar untuk Biennale Jogja 2023

60an siswa dari enam sekolah dasar yang berbeda menggambar mural bersama dalam rangka Biennale Jogja 2023.

SELENGKAPNYA