Kondisi perbatasan Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi yang tercemar, di Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Senin (23/10/2023). | Shabrina Zakaria/Republika

Kisah Dalam Negeri

Mereka yang Hidup Berdamping Limbah Cileungsi

Bau dan dampak limbah menyiksa warga sekitar Sungai Cileungsi.

Oleh SHABRINA ZAKARIA

Sejak 2018, benda bernama tudung saji sudah tidak lagi berfungsi di rumah Khalisa. Wanita berusia 45 tahun ini, selalu menutup rapat makanan yang sudah dimasaknya dengan tutup kedap udara sebelum dikonsumsi keluarganya. 

Hak asasinya untuk menghirup udara segar terenggut sejak lima tahun lalu. Rumahnya di Vila Nusa Indah 5, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, terletak hanya beberapa meter dari Sungai Cileungsi yang tercemar. Apalagi, air terjun atau turbulensi air berada di titik tersebut. 

Beraneka ragam bau pun menyeruak ke dalam rumahnya. Sesekali terhirup bau busuk. Di lain waktu, tercium bau seperti kotoran hewan. Bahkan, tak jarang tercium bau layaknya kentut manusia yang bisa membuat Khalisa mual dan pusing sepanjang hari. 

Sejak musim kemarau, dampak dari pencemaran ini terasa semakin parah. Suhu udara yang bisa menyentuh angka 40 derajat celsius bersatu dengan bau tak sedap dari Sungai Cileungsi yang menghitam. 

photo
Kondisi perbatasan Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi yang tercemar, di Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Senin (23/10/2023). - (Shabrina Zakaria/Republika)

Tak jarang, Khalisa juga kehilangan waktu istirahatnya. Sebab, bau limbah dari sungai menyiksa ia dan keluarganya pada malam ke pagi hari. 

Ia pun mengingat ibu mertuanya yang sempat tinggal bersamanya pada 2019. Hingga mertuanya meninggal dunia, permasalahan Sungai Cileungsi yang tercemar tak kunjung selesai.

“Sudah lima tahun. Kasihan pernapasan kami. Jadi, saat orang hidup berdampingan dengan Covid, kami hidup berdampingan dengan limbah,” kata Khalisa ketika ditemui Republika di kediamannya. 

Selain pernapasan, kesehatan kulit Khalisa dan keluarganya juga turut terancam. Pasalnya, baju yang sudah dicuci bersih dan dijemur juga tak luput dari dampak pencemaran Sungai Cileungsi.

Untuk mengurangi kekhawatirannya, Khalisa pun mencuci bajunya dengan disinfektan. Jika tidak, ia dan keluarganya terancam akan mengalami gatal-gatal.

Kondisi perbatasan Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi yang tercemar di Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Senin (23/10/2023). - (Shabrina Zakaria/Republika)  ​

Perabotan rumah pun turut lengket akibat hawa dari pencemaran. Kulkas, AC, mesin cuci, kulkas luar di dapur terbuka, pompa pendorong, permukaannya lambat laun menghitam. “Kunci juga. Kayak karat. Jadi, yang rusak itu bukan dalamnya, tapi luarnya,”  

Tetangga Khalisa, Siti Maimunah (43 tahun), mengingat betul bagaimana kondisi Sungai Cileungsi sebelum tercemar. Air yang kini sudah menghitam, dulu masih jernih tak berwarna. Bahkan, air sungai sering dipakai warga untuk mandi, berenang, mencuci, hingga foto prewedding.  

Meski rumah Maimunah berada di kluster lain, bau tak sedap dari Sungai Cileungsi tetap dominan di perumahan tersebut. Tak ayal, perumahan ini seperti mati karena warga enggan untuk keluar rumah. “Kalau buka pintu pagi, bukannya menghirup udara segar, malah bau, jadi tutup pintu lagi,” ucapnya. 

Pencemaran Sungai Cileungsi tidak hanya berdampak di Desa Ciangsana, tapi juga ke Desa Bojongkulur. Salah satunya dialami Anto (48 tahun) di Perumahan Bumi Mutiara, yang tak jarang menyaksikan aliran limbah berwarna hitam yang diduga dibuang oleh pabrik pada malam hari.

Warga Vila Nusa Indah 5, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, bernama Khalisa (45) sudah lima tahun hidup berdampingan dengan Cileungsi yang tercemar. - (Shabrina Zakaria/Republika)  ​

Dari catatan Komunitas Peduli Sungai Cileungsi dan Cikeas (KP2C), panjang area Sungai Cileungsi yang tercemar mencapai 30 kilometer. Padahal, sungai yang bermuara di Kali Bekasi ini panjangnya 39 kilometer. 

Anto dan keluarganya tinggal di Bumi Mutiara sejak 1999. Ia mengaku memilih area ini karena dulunya sangat asri dan sungai yang berada di seberang rumahnya sangat indah. 

Dahulu, Anto bisa mendapatkan berbagai jenis ikan dari sungai dengan mudah, seperti ikan gabus, lele, patin, dan mujair. Namun, belakangan, ikan-ikan itu justru terbunuh, diduga karena limbah. 

Ia pun tak habis pikir, ikan sapu-sapu yang ia nilai adalah ikan paling kuat di dunia, juga turut mati. Pada awal tahun ini, ia melihat sendiri bagaimana bangkai-bangkai ikan terdampar di sisi sungai dengan kondisi hitam dan berbau.  

“Artinya limbah itu sudah sangat membahayakan sekali, ikan yang paling kuat aja mati,” tuturnya. 

photo
Bangkai ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) tergeletak di pinggir Sungai Cileungsi, kawasan Ciangsana, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (12/9/2023). Menurut Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) pencemaran Sungai Cileungsi sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini ternyata tidak efektif karena pencemaran yang diduga dari limbah industri selalu terjadi dan berulang. - (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Tak tinggal diam, Anto pun menyampaikan keluhannya ke KP2C. Dengan harapan KP2C juga bisa mendapatkan jawaban dari pihak berwenang. Entah itu pemerintah daerah atau pemerintah pusat. 

“Harapan kami tentunya bisa segera diatasi. Paling tidak, hidup dengan aman dan nyaman dengan menikmati udara yang sejuk yang Allah berikan, kita ingin nikmati itu,” kata Anto. 

Ketua KP2C, Puarman, bukan hanya sekali menelusuri Sungai Cileungsi untuk mengamati pencemaran yang tak kunjung teratasi. Ia pun hafal titik-titik pencemaran berada. 

Dimulai dari Jembatan Wika, Desa Tlajung Udik, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Di jembatan itu, kondisi air masih bagus, ditandai dengan banyak orang mandi, mencuci, dan mancing. 

Kemudian 12 kilometer di bawahnya ada Jembatan Cikuda, Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Di jembatan itu air sungai sudah hitam, kental, berbau, dan berbuih. 

Anto (48), warga Perumahan Bumi Mutiara, Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor merasakan perbedaan Sungai Cileungsi sebelum tercemar pada 1999 dan setelah tercemar sekitar 2018. - (Shabrina Zakaria/Republika)  ​

Namun, di antara Jembatan Wika dan Jembatan Cikuda tadi, di sisi kiri-kanan sungai hampir tidak ada pemukiman padat penduduk. Namun, di situ berdiri hampir 100 pabrik atau industri.

Setelah Jembatan Cikuda, 8 kilometer setelahnya ada Jembatan Kanadian di Kota Wisata. Air Sungai Cileungsi di sana juga menghitam hingga ke pertemuan antara Sungai Cileungsi dan Cikeas yang sangat terlihat perbedaan warnanya. 

Menurut pantauan Republika, aliran air Sungai Cikeas berwarna cokelat dan mengalir deras, sedangkan aliran air Sungai Cileungsi berwarna hitam pekat seperti oli dan alirannya seperti mengendap. Keduanya bertemu di sebuah persimpangan dan mengalir ke arah Kali Bekasi, Kota Bekasi. 

“Jadi patut diduga penyebabnya ini adalah karena limbah industri tadi. Kenapa airnya hitam? Pertama, karena limbah industri. Kedua, karena sedimen di sungai sudah mengendap, menumpuk di sungai,” ungkapnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bahkan 'Ikan Paling Kuat di Dunia' Mati di Sungai Cileungsi

Pencemaran parah Sungai Cileungsi belum tertangani hingga kini.

SELENGKAPNYA