Asma Nadia | Republika

Resonansi

Palestina, Duri dalam Kejahatan Israel

Apakah dunia masih mempunyai hati membiarkan segala ketikdakadilan Israel pada Palestina?

Oleh ASMA NADIA

 

Seharusnya bangsa Indonesia paham benar apa yang terjadi di Gaza, Palestina. Mengikuti berita seputar serangan pejuang Hamas ke Israel, mengembalikan ingatan saya pada film lama Janur Kuning yang mengisahkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Pada masa itu, Indonesia, terutama ibu kota Yogyakarta, sedang berada dalam penguasaan militer Belanda setelah melancarkan Agresi Militer Belanda II yang berlangsung pada Desember 1948.

Dengan kekuasaan tersebut, Belanda menolak resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di awal Januari 1949 yang isinya, di antaranya: Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan seluruh aktivitas gerilya oleh RI, pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat atas semua tahanan politik, Belanda harus memberikan kesempatan kepada pejabat Pemerintah RI untuk kembali ke Yogyakarta, dan lainnya.

Alih-alih menaati resolusi, Belanda justru melancarkan propaganda yang menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tidakkah rekan sepakat situasi Indonesia saat itu memiliki kemiripan dengan kondisi Palestina?

 
Alih-alih menaati resolusi, Belanda justru melancarkan propaganda yang menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tidakkah rekan sepakat situasi Indonesia saat itu memiliki kemiripan dengan kondisi Palestina?
 
 

Bangsa Palestina yang eksis dan seharusnya berdaulat, seolah dianggap tidak ada setelah dijajah Inggris yang kemudian menyerahkan tanah tersebut untuk bangsa Yahudi.

Sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949, seorang petinggi militer menyampaikan gagasan untuk melakukan serangan serentak dan besar-besaran yang kemudian disetujui Panglima Besar Sudirman.

Yogyakarta dipilih sebagai sasaran utama dengan alasan: Yogyakarta adalah Ibu Kota RI sehingga bila dapat direbut, sekalipun hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.

Saat itu banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta serta masih ada pula anggota delegasi UNCI (The United Nations Commission for Indonesia atau Komisi PBB untuk Indonesia) serta pengamat militer dari PBB.

Mereka harus melihat perwira-perwira berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuan utama penyerangan dilakukan untuk menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional.

Belanda selalu berusaha meyakinkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak mempunyai tentara, hanya segerombolan orang bersenjata dengan kemampuan sekadarnya.

 
Terminologi kelompok agresor yang didominasi negara-negara besar menyebutnya sebagai militan, bahkan teroris. Namun, setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, dunia melihatnya berbeda. Bukankah situasi Indonesia saat itu ada kemiripan dengan kondisi Palestina saat ini?
 
 

Terminologi kelompok agresor yang didominasi negara-negara besar menyebutnya sebagai militan, bahkan teroris. Namun, setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, dunia melihatnya berbeda. Bukankah situasi Indonesia saat itu ada kemiripan dengan kondisi Palestina saat ini?

Bangsa Palestina yang dipandang sebelah mata ternyata punya kekuatan yang cukup untuk menggetarkan Israel. Sama seperti dulu Indonesia membuka mata dunia.

Palestina menunjukkan eksistensinya karena menganggap eskalasi kejahatan Israel sudah jauh melampaui harga diri sebagai pemilik tanah yang sah. Mereka melawan dengan peralatan perang sederhana, tetapi dengan cara yang brilian.

Idenya adalah merebut kembali hak-hak bangsa Palestina dengan efek seminimal mungkin. Dan respons si penjajah Israel sungguh di luar batas kemanusiaan. Mereka membombardir Gaza tanpa pandang bulu.

Bahkan, Israel mengebom rumah sakit yang selain tempat merawat mereka yang luka juga tempat pengungsi berlindung. Sebelumnya, Israel menghukum seluruh penduduk Gaza dengan menutup listrik, air, dan saluran kehidupan bangsa Palestina.

Tidak banyak kecaman yang dialamatkan ke Israel atas aksi brutalnya tersebut. Kalaupun ada, bukan dari pemerintahan, hanya dari para demonstran yang mengumandangkan ini bukan perang, melainkan genosida.

 
Tidak banyak kecaman yang dialamatkan ke Israel atas aksi brutalnya tersebut. Kalaupun ada, bukan dari pemerintahan, hanya dari para demonstran yang mengumandangkan ini bukan perang, melainkan genosida.
 
 

Mungkin Israel bisa berdalih, penduduk sipil mereka dahulu yang diserang. Namun, jika dikaji lebih jauh, setiap warga Israel saat berusia 17 tahun diwajibkan untuk mengikuti program wajib militer. Dengan kata lain, setiap warga sipil pun punya kemampuan militer.

Kita bisa menemukan beragam foto di internet wanita berbikini di pantai atau berpakaian seksi memanggul senjata sebagai salah satu pemandangan yang lazim di sana.

Seluruh warga Israel dewasa punya doktrin sebagai alat pertahanan negara, punya kemampuan memegang senjata. Karena itu, pejuang Palestina merasa penduduk dewasa Israel berpotensi sebagai insan militer.

Uniknya, wajib militer tidak dilekatkan pada warga keturunan Arab, mungkin justru mereka tidak diperkenankan ikut wajib militer. Dengan teknologi sederhana, tentu saja roket Palestina bisa menyasar ke penduduk sipil.

Seandainya tanah mereka tidak dihuni atau direbut, bukankah itu tidak perlu terjadi. Jika di sepanjang perbatasan hanya terisi tentara tentu saja sasaran pejuang Palestina hanyalah tentara. Namun, apakah mereka punya pilihan?

Berbeda dengan alutsista Israel, smart bomb bisa dengan mudah memilih sasaran yang ditarget. Dengan kata lain, sasaran dan korban yang selama ini berjatuhan adalah akibat kesengajaan dan dilakukan dengan kesadaran. Belum lagi sistem pertahanan Iron Dome yang terkenal canggih dalam menangkal serangan.

Jika ada perbedaan, dunia pada masa kini sebagian besar sudah menentukan keberpihakan.

 
Gaza selama ini disebut sebagai penjara terbesar di dunia, dan dunia selama ini tidak berbuat banyak.
 
 

Bukan pada benar atau salah, bukan pula pada yang menjadi korban atau berperan sebagai predator. Namun, terletak pada sistem kolegial atau persekutuan. Sepanjang dia sekutu maka dia sekutu selamanya, terlepas apa pun yang dilakukan. Kebenaran menjadi relatif.

Gaza selama ini disebut sebagai penjara terbesar di dunia, dan dunia selama ini tidak berbuat banyak.

Apa yang terjadi bukan sekadar menujukkan bahwa Palestina masih mempunyai kekuatan dan kedaulatan, tetapi juga yang terpenting memperlihatkan apakah dunia masih mempunyai hati untuk membiarkan segala ketikdakadilan yang terjadi?

Lantas adakah pilihan bagi mereka?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

MUI Tuding AS Primitif Soal Palestina

MUI menyiapkan surat guna mengajukan pertemuan dengan Dubes AS untuk RI.

SELENGKAPNYA

Hoaks Banjiri Perang Gaza

Platform media sosial dikecam karena tidak berbuat cukup banyak untuk mengekang disinformasi setelah perang.

SELENGKAPNYA

Penjajah Israel Mulai Serangan Darat

Sekitar 25 gedung apartemen bertingkat tampaknya telah rata dengan tanah.

SELENGKAPNYA

Seragan Israel ke Gereja Renggut Nyawa 18 Umat Kristiani

Total korban meninggal di Gaza melampaui 4.000 jiwa.

SELENGKAPNYA