Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyampaikan refleksi akhir tahun MA 2019 di Kantor MA, Jakarta, Jumat (272019). Prayogi/Republika. | Prayogi/Republika.

Kabar Utama

Aturan Dokumentasi Persidangan Dipersoalkan

MA menjamin pengadilan tidak mempersulit kerja-kerja jurnalistik.

 

JAKARTA - Aturan baru Mahkmah Agung (MA) terkait dokumentasi dalam sebuah persidangan dipertanyakan. Banyak yang menilai aturan itu akan memperparah perilaku mafia peradilan yang selama ini banyak dilaporkan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai aturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. "Apalagi, terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam surat edaran ini," kata Asfinawati, Kamis (27/2).

Surat edaran (SE) yang ditandatangani Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) MA Prim Haryadi pada 7 Februari 2020 memuat peraturan terkait tata tertib persidangan di pengadilan negeri. SE tersebut memuat aturan bahwa pengambilan foto, rekaman suara, maupun rekaman TV harus seizin ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. Kemudian, seluruh orang yang hadir dalam sidang dilarang mengaktifkan HP dan keluar-masuk ruang sidang untuk alasan yang tidak perlu.

Menurut Asfinawati, mengambil gambar, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin merupakan ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sementara itu, mengambil gambar, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. "Ketua pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin (meliput) tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," kata dia.

YLBHI mencatat, selama ini rekaman sidang memiliki beberapa manfaat di antaranya menjadi bukti keterangan dalam sidang. Hal ini penting karena Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang. "LBH-YLBHI sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda, baik di dalam tuntutan jaksa maupun putusan majelis hakim," ujarnya.

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal menilai aturan tersebut melanggar asas terbuka untuk umum. "Asas ini harus diartikan bahwa persidangan itu bisa diakses melalui alat dan kanal mana pun. Apalagi, tren peradilan di banyak negara mulai terbuka. Harusnya kalaupun mau mengatur, ketentuannya bukan izin, melainkan cukup pemberitahuan," kata dia saat dikonfirmasi, kemarin.

Surat edaran ini, Agil melanjutkan, sangat mengancam kebebasan pers. Pasalnya, sarana dan prasarana peradilan di bawah MA belum memadai. Ia mencontohkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyampaikan informasi dengan cepat dan terbuka. "Misal, risalah yang bisa keluar 1 jam pascasidang atau rekaman sidang di Youtube yang otomatis di-upload 10 menit setelah sidang," ujarnya.

Jamin keterbukaan

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, menjamin perizinan untuk memfoto dan merekam persidangan tak akan dipersulit. Ia meminta pers tak mengkhawatirkan hal tersebut karena transparansi pengadilan termaktub dalam misi MA. "Kita perhatikan misi badan peradilan," kata Abdullah melalui sambungan telepon, kemarin.

Salah satu misi badan peradilan itu, kata dia, adalah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Menurut Abdullah, misi keempat MA itu merupakan jaminan bagi pers untuk melakukan peliputan di pengadilan. "Jadi, enggak usah khawatir. Itu salah satu misi MA yang harus diwujudkan di pengadilan," kata dia.

Selain itu, proses perizinan dokumentasi di persidangan itu masih dalam proses sosialisasi. Setiap PN akan menindaklanjuti hal tersebut. "Masalah itu kan masih dalam sosialisasi. Tanggal 7 (Februari) baru ditandatangani dan di-publish. Nanti, masing-masing pengadilan akan menindaklanjuti, gimana nih caranya," kata dia.

Ia menjelaskan, aturan tersebut hanya berupa tata tertib agar sidang yang sakral dapat berjalan dengan baik. Seluruh pihak yang beperkara, termasuk para hakim, harus berkonsentrasi penuh selama persidangan. "Ditata agar tertib kapan boleh diambil, kapan tidak; mana yang boleh, mana yang tidak. Masalahnya kan sidang itu sakral. Hakim konsentrasi, penggugat konsetrasi, tergugat konsentrasi," kata dia.

Ombudsman RI mendukung langkah MA tersebut. Namun, pengadilan dapat menyesuaikan aturan itu dengan mempertimbangkan jenis perkara yang disidangkan untuk memberikan izin atau tidak.

"Di lapangan bisa dilakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan jenis perkara yang sedang disidangkan, tersangkanya, tahapannya," ujar anggota Ombudsman, Adrianus Meliala.

Adrianus juga menilai ruang persidangan merupakan tempat yang sakral dan harus kondusif bagi para hakim. Ia mencontohkan tatib dalam pengadilan di Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara itu menganut sistem peradilan adversarial sehingga tak boleh ada kamera untuk mengambil gambar. Orang yang ingin mengabadikan proses persidangan hanya boleh melukis di ruang sidang. Sketsa itu dapat dijadikan informasi bagi publik.

"Itu orang enggak boleh bawa kamera untuk memotret, tapi orang boleh melukis dibuat sketsa, lalu di luar jadi public knowledge. Nah, saya kira saya mendukung tuh agar tak kemudian menimbulkan distorsi di pengadilan," tutur Adrianus. n 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat