Mengenal gejala dan cara mengatasi baby blues (ilustrasi) | Freepik

Gaya Hidup

Mengenali Gejala dan Memitigasi Bahaya Baby Blues

Bukan hanya kesehatan fisik yang diperhatikan, mental sang ibu juga tak kalah pentingnya.

Belum lama ini terjadi kasus seorang ibu di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang menenggelamkan bayinya ke dalam ember. Hal ini dipicu oleh gangguan emosi yang terjadi pada ibu tersebut pascamelahirkan atau sering kali disebut baby blues

Baby blues kerap dialami seorang ibu yang hamil melahirkan. Jika diabaikan, kondisi ini mengakibatkan terjadinya postpartum depression. Hal ini pun berbahaya karena bisa menyakiti diri ibu sendiri juga anak yang baru dilahirkannya. Apa saja tanda dan gejala ibu alami baby blues?

1. Sedih dan murung terus-menerus 

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ, menjelaskan gejala baby blues yang harus diperhatikan oleh ibu yang baru melahirkan juga orang sekitar adalah suasana perasaannya atau mood-nya. Ketika ibu sering menangis, merasa sedih, murung, ini menjadi tanda. 

Oleh karena itu, lanjutnya, jika ibu hamil atau ibu melahirkan merasakan perasaan sedih terus-menerus, perasaan murung, tidak bahagia, kemudian cenderung menangis, ini adalah tanda. Karena memang secara umum, normal, seorang ibu akan merasakan bahagia dengan kelahiran anaknya. "Jadi kalau ada perasaan sedih dan murung terus-menerus, itu sudah tanda," ujarnya dalam wawancara eksklusif media belum lama ini.  

 

2. Tidak bisa bonding dengan anak

Tanda lainnya adalah ibu yang baru melahirkan, tidak bisa attach, tidak bisa bonding dengan anak. Ibu merasa asing ketika gendong anak dan menyusui. "Ini siapa sih, ini beneran anakku enggak sih. Ini anakku enggak sih, ini aku lagi ngapain." Menurut Zulvia, perasaan yang terasing, atau merasa aneh dengan peran yang ia jalankan, itu juga sebagai tanda yang perlu diwaspadai.

 3. Ada perubahan emosi yang tidak stabil 

Tanda lainnya adanya perubahan-perubahan emosi, misalnya jadi mudah marah, ketakutan, tidak mau bertemu orang, cemas, itu juga harus diwaspadai. "Jika ibu merasa sedih terus- menerus, merasa asing dengan anaknya, merasa ada perubahan emosi yang tidak stabil, sepertinya ia butuh bicara dengan seseorang," ujarnya.

Ia mengatakan tidak perlu langsung ke psikolog atau psikiater, bicara dulu dengan orang terdekat. Sama siapa? Sama suami, orang tua, mertua teman, sesama ibu yang baru melahirkan, atau teman yang sudah punya anak juga. 

"Bicara dulu dengan seseorang, kemudian apabila hal itu tidak cukup membantu, berarti dia butuh bantuan profesional ke psikolog atau psikiater," ujarnya. Tujuannya untuk sekadar menyampaikan apa yang dirasakan. Karena belum pasti ditegakkan diagnosis dan diberikan terapi.

photo
Sindrom Baby Blues pada ibu yang habis melahirkan (ilustrasi) - (Freepik )

Intinya, Zulvia mengingatkan, bicara dengan seseorang terlebih dahulu. "Tidak perlu menunggu dua pekan akhirnya baru cari teman untuk bercerita untuk mengobrol. Dari awal kelahiran ketika merasakan perasaan sedih, murung, sudah saatnya berbicara untuk curhat dan ngobrol," ujarnya.

Menurut dia, penting sekali respons dari orang yang diajak ngobrol. Ini akan memengaruhi apakah dia menjadi lebih baik atau jadi lebih buruk.

Dukungan yang Tepat

Sebenarnya bentuk dukungan seperti apa yang dibutuhkan oleh ibu mengalami baby blues? Menurut Zulvia, apabila seorang ibu mengalami baby blues syndrome atau kondisi yang lebih berat, yaitu postpartum depression atau depresi pascamelahirkan, yang diperlukan oleh ibu yang sedang mengalami ini adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Jadi support system-nya perlu dioptimalkan.

Support system itu bisa dari suami. Suami mendampingi ibu baik dalam perawatan bayi baru lahir, dalam perawatan diri si ibu, dalam hal-hal lain yang mungkin jadi tanggung jawab si ibu. "Jadi suami berperan sangat penting sebagai pendamping yang memberikan support, baik secara moral, mental, maupun dukungan-dukungan yang lain," ujarnya.

Tentunya, harapannya tidak hanya suami yang menjadi support system, tetapi juga orang tua, mertua, mungkin kakak ataupun adik, atau asisten rumah tangga, baby sitter juga bisa menjadi support system si ibu. 

Sementara untuk orang-orang yang di circle terdekat, misalnya pertemanan atau rekanan kerja, atau sesama ibu-ibu komunitas yang baru melahirkan juga, support-nya lebih kepada support mental. "Jadi bagaimana si ibu yang sedang mengalami baby blues atau postpartum depression tidak merasakan sendirian karena seringkali merasa sendiri, merasa tidak sanggup menghadapi situasi yang baru untuk dirinya, situasi yang berubah, dan itu yang membuat gejalanya menjadi semakin berat," kata Zulvia. 

 

Persiapkan Mental  

photo
Sindrom Baby Blues (ilustrasi) - (Freepik )

Zulvia menjelaskan ada berbagai faktor penyebab ibu mengalami baby blues bahkan postpartum depression, mulai dari faktor biologis, faktor psikolog hingga faktor sosial. Menurutnya, jika faktor biologis dan sosialnya kuat, kita harus bisa mengintervensi faktor sosialnya.

Dukungan paling utama tentu datang dari suami. Saat istri hamil, suami harus support secara optimal, terkait bagaimana istri saat sedang hamil menghadapi perubahan-perubahan dengan tubuhnya, dengan perannya. 

Suami juga harus berperan lebih dan mendampingi istri saat hamil. Lakukan konseling saat hamil, konseling menyusui dan bagaimana juga cara menggendong bayi dan lainnya. "Jadi memang ini harus dilakukan secara pasangan biar dihadapi bersama-sama dan bisa saling support," ujarnya.

Selain suami, orang sekitar yang berada didekat istri juga harus bisa mendukungnya dari hamil sampai melahirkan. "Jangan tunggu sampai baby blues atau postpartum depression. Dari hamil sudah jalani konseling dengan psikolog. Karena ada beberagai faktor risiko, riiwayat. Jangan sampai nunggu dulu ada depresinya, baru berobat, takutnya sudah ada berbagai dampak seperti mengakhiri hidup dan melukai anak," kata Zulvia mengingatkan. 

photo
Mengatasi keinginan bunuh diri dan depresi (ilustrasi) - (Freepik/Pch.vector)

Jika ibu memiliki berbagai faktor risiko, punya trauma psikologis dan ingin hamil, siapkan mentalnya dari sebelum hamil. Karena itu sangat penting. "Jadi sekarang kita tidak hanya menyiapkan kesehatan fisik saat mau hamil, tapi kesehatan mental itu sebetulnya jauh lebih penting," kata Zulvia.

Saat ini, memang banyak sekali ibu promil menyiapkan segala vitamin, kesehatan fisik, finansial, tapi lupa kesehatan mentalnya. Padahal, stres saat menjalani kehamilan, yang akhirnya kemudian memunculkan baby blues dan postpartum depression juga merupakan situasi yang berbahaya.  

Tanda yang Membahayakan

Saat tidak diatasi dengan baik, ibu yang mengalami baby blues akan berkembang menjadi postpartum depression. Hal ini memungkinkan ibu tersebut akan menyakiti dirinya juga anaknya. Bahkan, bisa sampai terjadi bunuh diri juga mengakhiri hidup anandanya.

Sebelum itu terjadi, kenali tanda bahaya yang menunjukkan bahwa ibu akan menyakiti diri sendiri juga anaknya. Apa saja tanda bahayanya?

1. Pikiran untuk mengakhiri hidup atau melukai anak

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ, menjelaskan sang ibu sebenarnya bisa mengenali dari dirinya sendiri, kenali pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidup atau melukai anaknya. Pikiran ini pada saat tahap awal, sebenarnya masih bisa membedakan mana realita dan bukan.

"Masih bisa membedakan, kok aku punya pikiran kaya gini ya, harusnya tidak boleh ya aku punya pikiran seperti ini," ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan beberapa media belum lama ini melalui daring.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Beyond The Baby Blues (@beyondbabyblues)

Jadi si ibu masih bisa berpikir di tahap-tahap awal. Tahapan ini sangat penting, karena jika dibiarkan, pikirannya makin kuat, ibaratnya makin keluar jalur atau menyimpang. "Akhirnya lama-lama yakin, iya kali ya, lebih baik mati aja kali ya. Bener kali ya, lebih baik anakku di surga aja. Aku mati bareng-bareng kali ya."

Si ibu, lanjutnya, sudah tidak bisa lagi membedakan ini realita atau bukan. "Jadi memang tahap awal yang dialami adalah pikiran. Orang luar tidak bisa melihat, itu yang susah," ujarnya.

Namun, ketika ada gejala-gejala mood, seperti mudah nangis, sedih, murung, perubahan emosi menjadi tidak stabil, kita bisa dekati segera. "Karena itu, tanda-tanda bahaya yang bisa lebih awal kita intervensi," katanya menambahkan.

2. Aksi

Ketika suami, mertua, orang tua, atau baby sitter melihat ibunya mulai memukul anak. Ada juga yang anaknya menangis, malah ditutup bantal itu sudah tanda yang sangat berbahaya.

Jadi sudah ada aksi, ibu melakukan suatu tindak kekerasan atau mengarah ke arah mengakhiri hidup anak ataupun dirinya. Misalnya melukai diri dengan benda tajam, tidak mau makan berhari-hari, membentur-benturkan kepala ketika nangis dan marah, itu sudah tanda bahaya. "Jadi ada action, perilaku, yang cenderung ke arah melukai diri, mencederai diri atau anaknya," katanya. 

 

 
Suami juga harus berperan lebih dan mendampingi istri saat hamil.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ancaman Baby Blues itu Nyata, Jangan Sepelekan

Empat dari lima orang tua baru atau sekitar 80 persen, mengalami baby blues.

SELENGKAPNYA