Claudia Goldin memenangkan Penghargaan Nobel untuk Ilmu Ekonomi lewat penelitiannya mengenai kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki. | Wikipedia

Gaya Hidup

Nobel untuk Pejuang Keseteraan Upah Antargender

Sejarawan ekonomi sekaligus ekonom tenaga kerja asal Amerika Serikat, Claudia Goldin, memenangkan penghargaan Nobel untuk Ilmu Ekonomi lewat penelitiannya mengenai kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki. Profesor dari Harvard University ini merupakan perempuan ketiga di dunia yang berhasil memenangkan penghargaan Nobel untuk Ilmu Ekonomi sepanjang sejarah.


"Berkat penelitian Claudia Goldin yang membawa terobosan baru, kita sekarang jadi mengetahui lebih banyak faktor yang mendasari kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki serta penghalang apa saja yang mungkin perlu ditanggulangi pada masa depan," kata Chair of the Committee for the Prize in Economic Sciences, Jakob Svensson, seperti dikutip dari laman resmi Nobel Prize, Kamis (12/10/23).


Sepanjang kariernya, Goldin telah melakukan banyak penelitian yang mencakup berbagai topik. Sebagian dari topik tersebut berkutat pada masalah pekerja perempuan, kesenjangan upah berdasarkan gender, ketimpangan pendapatan, hingga perubahan teknologi, pendidikan, serta imigrasi.

Seperti diungkapkan dalam laman resmi Harvard University, perempuan yang telah memenangkan banyak penghargaan bergengsi di bidang ekonomi dan pendidikan ini sangat dikenal dengan karya sejarahnya mengenai perempuan dalam perekonomian Amerika Serikat. Beberapa karya ilmiahnya menyoroti perjalanan perempuan dalam memperjuangkan karier, keluarga, hingga edukasi yang lebih tinggi berhasil memberikan pengaruh besar bagi masyarakat.


Berkat dedikasinya dalam melakukan penelitian, perempuan berusia 77 tahun ini berhasil menjadi orang pertama yang berhasil yang mampu memberikan laporan komprehensif mengenai pendapatan atau gaji serta partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja dari abad ke abad. Untuk membuat laporan ini, Goldin harus menggali berbagai arsip dan mengumpulkan beragam data yang berusia hingga 200 tahun ke belakang.

Data-data ini memungkinkan Goldin mendemonstrasikan alasan serta mekanisme yang memicu timbulnya kesenjangan upah dan tingkat perekrutan pada pekerja perempuan dari waktu ke waktu. Yang tak kalah menarik, Goldin menemukan bahwa tren partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja selama 200 tahun ke belakang tidaklah naik, melainkan membentuk kurva berbentuk U.

Sebagai contoh, partisipasi wanita yang telah menikah di dunia pekerjaan mengalami penurunan di awal abad ke-19, saat terjadi transisi dari masyarakat agraris ke industri. Partisipasi perempuan mulai kembali meningkat di sektor pelayanan pada awal abad ke-20.

Menurut Goldin, pola naik-turun-naik ini dipicu oleh sejumlah faktor. Sebagian di antaranya perubahan struktural dan perkembangan norma sosial terkait tanggung jawab perempuan terhadap rumah dan keluarga. Abad ke-20 dikenal sebagai masa di mana tingkat pendidikan perempuan terus meningkat.

Bahkan di negara-negara berpendapatan besar, tingkat pendidikan perempuan bisa lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Goldin menilai tren ini bisa terjadi berkat hadirnya pil KB yang memberikan peluang bagi perempuan untuk menyusun perencanaan kariernya.

Mencari Penyebab Kesenjangan 

Ironisnya, modernisasi, pertumbuhan ekonomi, hingga meningkatnya partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja pada abad ke-20 belum diikuti dengan menipisnya kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki. Pada era modern, Goldin mengungkapkan, kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki tak lagi disebabkan oleh perbedaan tingkat edukasi dan profesi pekerjaan.


Menurut Goldin, kesenjangan upah yang besar bisa terlihat di antara perempuan dan laki-laki yang memiliki profesi pekerjaan sama. Kesenjangan upah ini umumnya membesar ketika pekerja perempuan melahirkan anak pertama.


Menurut Goldin, menjalani peran sebagai orang tua ibarat sebuah tanjakan yang curam bagi pekerja perempuan. Peran baru ini membuat para pekerja perempuan harus memperlambat lajunya dalam berkarier, mengurangi waktu bekerjanya, dan bahkan mundur dari pekerjaan untuk sementara waktu, atau beralih ke profesi lain yang tidak begitu menyita waktu.


Kondisi-kondisi tersebut cenderung membuat perempuan mengalami penurunan pemasukan atau hanya mengalami peningkatan pemasukan secara perlahan sesaat setelah melahirkan anak. Seperti dilansir Britannica, hal ini terjadi karena para perempuan yang melakoni peran sebagai ibu baru dianggap kurang cakap dalam memenuhi ekspektasi para pemberi kerja dalam hal kehadiran atau partisipasi kerja yang konstan.


Akan tetapi, peran sebagai orang tua bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi timbulnya kesenjangan upah di antara perempuan dan laki-laki. Ketika peran mereka sebagai ibu tak lagi menyita banyak waktu, sebagian perempuan tetap tidak bisa mendapatkan gaji atau upah yang setara dengan laki-laki meski para perempuan telah meningkatkan jam kerja mereka, seperti dilansir Forbes.


Goldin juga menemukan bahwa kesenjangan upah yang dipicu oleh diskriminasi seksual mengalami peningkatan. Peningkatan ini tampak terjadi secara signifikan sejak awal abad ke-21 tahun.


Temuan paling signifikan dari penelitian Goldin adalah, perbedaan upah dan partisipasi kerja di antara perempuan dan laki-laki tak berkaitan dengan perbedaan biologis di antara keduanya. Kesenjangan upah di antara perempuan dan laki-laki cenderung lebih berkaitan dengan pembagian peran dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah di antara pasangan suami dan istri. "Kita tidak akan pernah bisa mencapai kesetaraan gender, atau memperkecil kesenjangan upah, sampai kita bisa mencapai kesetaraan di antara pasangan," ujar Goldin, seperti dilansir CNBC Make It

 

 

 
Kita sekarang jadi mengetahui lebih banyak faktor yang mendasari kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki. 
 
JAKOB SVENSSON, Chair of the Committee for the Prize in Economic Sciences. 
 
 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat