ILUSTRASI Syekh Ibrahim bin Adham merupakan salah stau ulama-sufi terawal dalam sejarah Islam era klasik. | DOK PEAKPX

Mujadid

Biografi Sufi, Ibrahim bin Adham

Berbagai riwayat menarasikannya sebagai seorang elite kerajaan yang kemudian menekuni tasawuf.

Syekh Ibrahim bin Adham (718-782) lahir di tengah komunitas orang Arab Kota Balkh, daerah Khurasan timur (kini bagian dari Afghanistan). Ulama yang sezaman dengan generasi tabiin itu adalah keturunan Umar bin Khattab.

Reputasinya dikenal luas. Jalaluddin Rumi, misalnya, beberapa kali mengisahkan Syekh Ibrahim bin Adham dalam Matsnawi. Begitu pula dengan Fariduddin Attar (1145-1220), yang menuturkan hikmah-hikmah sosok dengan sapaan Abu Ishaq itu dalam Manthiqut Thair dan Tadzkiratul Auliya. Hilyatul Auliya (Juz I), Al-Bidayah wal Nihayah (Juz X), serta Al-I’lam (Juz I) juga menceritakan perihal sang tokoh.

Menurut Reynold A Nicholson dalam artikelnya, “Ibrahim b Adham”, para ahli sejarah pada era modern banyak menukil keterangan dari Ibnu Asakir atau Abu Nu’aim al-Isfahani (948-1038) untuk menggali profil sang mursyid. Kedua penulis biografi ulama-ulama klasik itu menuturkan, Ibrahim bin Adham lahir sekira pada 112 Hijriyah.

Bagaimanapun, ada perbedaan pandangan mengenai lokasi kelahirannya. Ibnu Asakir berpendapat, Ibrahim bin Adham lahir di Balkh. Sementara, al-Isfahani dalam Hilyatul Auliya menyebut, sang sufi lahir di Makkah ketika kedua orang tuanya sedang berhaji.

Sumber-sumber itu juga menyebut, Ibrahim bin Adham pernah menjadi raja atau anak seorang raja Khurasan sebelum mendalami tasawuf. N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (2002) mengungkapkan, orang pertama yang menyematkan status raja kepada sufi tersebut ialah Ibnu Husein al-Sulami. Sarjana Muslim dari abad ke-10 M itu menyatakan, Syekh Ibrahim pernah berjumpa dengan Khidir AS sehingga dirinya bertobat.

photo
Situs yang disebut-sebut sebagai makam Syekh Ibrahim bin Adham di Jablah, Suriah. - (DOK SUFI WIKI)

Mula menjadi sufi

Tema pertobatan sang mursyid kala masih muda juga disinggung Attar dalam Tadzkiratul Auliya. Sastrawan-sufi itu mengisahkan, pada mulanya Syekh Ibrahim sedang terlelap di atas ranjang istananya. Saat tengah malam itu, tiba-tiba ia terbangun karena mendengar suara berisik dari arah atap.

“Siapa itu!?” teriaknya.

“Aku sahabatmu,” jawab suara itu, “untaku telah hilang, dan aku sedang mencarinya kini.”

“Kurang ajar, apa kau sedang mempermainkanku!? Bagaimana orang mencari unta di atas atap?”

“Wahai orang yang lalai, apakah engkau mencari Allah dengan pakaian mewahmu, dan sambil berbaring di atas ranjang emas?” timpal suara itu.

Mendengar jawaban tersebut, Ibrahim terhenyak. Hingga pagi menjelang, dirinya tidak tidur. Pikirannya terus merenungi makna kata-kata itu.

Bahkan hingga siang tiba, Ibrahim terus tenggelam dalam perenungan. Para menteri dan jajarannya bingung melihat raja mereka termenung, seperti sedang memikirkan suatu hal yang penting. Tiba-tiba, aula raja didatangi seorang lelaki tak dikenal. Alih-alih mengusirnya, para pengawal istana justru diam terpaku.

Wajah pria asing itu seperti memancarkan kewibawaan. Orang-orang kagum menyaksikannya. Lidah mereka seakan tercekat, tak bisa berkata-kata.

Lelaki yang tak diketahui namanya itu terus berjalan ke arah singgasana. “Apa yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku datang ke karvansaray ini untuk menyampaikan sesuatu,” katanya.

“Ini istana raja, bukan karvansaray!” ujar Ibrahim dengan nada tersinggung. Raja Khurasan itu rupanya tidak terima, tempat tinggalnya disamakan dengan sebuah pondok penginapan untuk kaum musafir atau pedagang karvansaray.

“Baiklah, siapa yang memiliki istana ini sebelummu?”

“Bapakku!” jawab Ibrahim.

“Sebelum dia?”

“Kakekku!” tegasnya.

“Sebelumnya lagi?”

“Si fulan, dan fulan, lalu seterusnya,” sambung Ibrahim.

“Mereka semua pergi ke mana?” tanya orang misterius ini.

“Semuanya sudah tidak ada. Mereka telah mati.”

“Kalau begitu, bukankah tempat ini sebuah karvansaray? Orang-orang datang dan pergi. Kelak, engkau pun juga begitu,” ucap tamu tak diundang ini.

 
Orang-orang datang dan pergi. Kelak, engkau pun juga begitu.
   

Setelah mengatakan itu, lelaki nan bijaksana tersebut pergi begitu saja. “Dia adalah Nabi Khidir AS,” jelas Attar kepada pembaca kitabnya ini.

Sejak perjumpaan dengan Khidir AS, Ibrahim bin Adham menyadari bahwa dirinya hanya manusia. Segala yang ada padanya hanyalah titipan dari dan kepunyaan Allah SWT. Berbekal kesadaran ini, ia pun memutuskan untuk meninggalkan semua kekayaan duniawi, untuk kemudian berhijrah ke tasawuf.

Tujuan awalnya ialah Masjidil Haram. Usai melakukan haji, Syekh Ibrahim kembali mengembara. Menurut narasi Hilyatul Auliya, sang salik sempat bertandang ke Irak, tetapi tidak menemukan pekerjaan yang tepat untuk sekadar menyambung hidup.

Lantas, ia terus berjalan ke Syam. Di sanalah, dirinya memperoleh kerja sebagai buruh kebun. Penghasilannya untuk mencukupi makan harian saja. Sebab, yang menjadi fokusnya bukanlah pekerjaan, melainkan belajar ilmu dan hikmah dari alim ulama.

Di tiap daerah yang disinggahinya , ia pantang mengemis, apalagi meminta-minta kepada orang. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, Syekh Ibrahim selalu mencari nafkah dari hasil jerih payahnya sendiri. Selain profesi tukang kebun, sufi ini juga pernah menjadi buruh petik saat musim panen dan penimba air sumur.

Menurut al-Isfahani, ahli tasawuf itu pernah mengikuti beberapa operasi militer Islam dalam membendung Bizantium. Kisah-kisah jihadnya beberapa kali disebutkan dalam pelbagai anekdot tentangnya.

Sebagian riwayat menyebut, Ibrahim bin Adham tidak menikah. Bagaimanapun, cerita yang dimuat dalam Tadzkiratul Auliya menyiratkan yang sebaliknya. Sang syekh dikisahkan pernah bertemu dengan anaknya yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Hal itu tentu berarti, ia pernah menikah.

photo
ILUSTRASI Syekh Ibrahim bin Adham kerap dinarasikan sebagai seorang yang rela meninggalkan takhta kerajaan demi hidup di jalan tasawuf. - (DOK EPA FAROOQ KHAN)

Inspiratif

Keikhlasan Syekh Ibrahim bin Adham menjadi inpirasi tak lekang waktu. Dikisahkan, pada suatu kali dalam perjalanannya menuju Makkah Syekh Ibrahim melalui padang gurun. Tiga hari telah lewat, sementara ia tidak menemukan apa pun yang bisa dimakan.

Tiba-tiba, Iblis mendatanginya dan berbisik, “Untuk apa kamu dahulu meninggalkan istana dan kerajaanmu? Apakah kelaparan ini saja yang akhirnya kamu peroleh? Bukankah bisa berziarah (ke Tanah Suci) dengan penuh kenyamanan, didampingi para pengiring dan pengawal, tanpa harus bersusah-payah?”

Mendengar perkataan Iblis, Ibrahim mengangkat kedua tangannya sembari menangis, “Ya Allah,” katanya berdoa, “mengapa Engkau menunjuk musuh-Mu untuk menemui sahabat-Mu? Kumohon, datanglah untuk menolongku. Aku tidak akan mampu menyeberangi padang pasir ini tanpa pertolongan-Mu.”

Lalu, sebentuk suara menghampirinya, “Ibrahim, keluarkan apa-apa yang ada dalam kantungmu, agar Kami mendatangkan apa-apa yang dimiliki Zat Yang Maha Tersembunyi.”

Ibrahim kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku. Ternyata, ada beberapa koin perak yang lama dilupakannya. Ia langsung membuang benda-benda itu. Seketika, Iblis melarikan diri. Allah kemudian mencukupkan Ibrahim dengan rezeki dari-Nya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Telusur Sejarah Tasawuf di Tanah Air

Buku ini menghadirkan sebuah narasi sejarah tasawuf dan dialektika pemikiran sufistik di Nusantara.

SELENGKAPNYA

Persidangan Jessica dan Kewajiban Saksi dalam Islam

Allah akan menghitamkan orang-orang yang menyembunyikan persaksian

SELENGKAPNYA

Chelsea Menang 0-2 Atas Fulham

Gol Mudryk dan Broja memberikan the Blues tiga poin penting di laga tandang.

SELENGKAPNYA