Widodo Muktiyo | Prayogi/Republika

Wawasan

Pencitraan Kafah

Oleh Widodo Muktiyo , Dirjen IKP Kemenkominfo

 

 

 

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Prof Widodo Muktiyo ditunjuk menjadi direktur jenderal informasi dan komunikasi publik (IKP) pada 6 September 2019 lalu. Pakar komunikasi kehumasan ini terpilih melalui proses lelang jabatan untuk memimpin koordinator humas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dengan latar belakangnya sebagai ahli kehumasan, Widodo ingin menegaskan bahwa humas pemerintah tak sekadar bertugas sebagai pemadam berita buruk.

Ia ingin membangun sistem kehumasan yang dimulai dari individu pemerintah sendiri. Rancang bangun kehumasan bagi Widodo dimulai dari masing-masing pegawai pemerintah mencitrakan diri di masyarakat dan media sosialnya. Lalu, seperti apa peran kehumasan di Kementerian Kominfo ini akan dibentuk ke depannya? Bagaimana juga pemerintah menghadapi hoaks

Wartawan Republika, Dessy Suciati Saputri, berkesempatan berbincang dengan mantan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UNS ini pekan lalu. Berikut ini petikannya. 

Program IKP ke depan akan disiapkan seperti apa?

Di kementerian Kominfo ini ada dua hal besar yang perlu saya sampaikan, yakni komunikasi dan informatika. Kalau kita bicara soal informatika, yang selama ini cukup banyak dalam pemberitaan itu terkait dengan sarana dan prasarana infrastruktur sampai dengan frekuensi yang bersifat hardware, dan ini yang menjadi isunya banyak sekali. Misalkan, saya ambil contoh bagaimana kita mengembangkan tol langit itu, ya, membangun BTS (//base transceiver station//), membangun infrastruktur, sampai pada satelit, termasuk juga frekuensi dari analog mau kita ubah menjadi digital.

Kemudian, di sisi yang lain, kita bicara soal komunikasinya, bicara soal bagaimana kita mendiseminasi informasi; bagaimana kita menyampaikan kepada masyarakat supaya masyarakat tahu bahwa pemerintah itu sudah melakukan kegiatan-kegiatan sedemikian banyak. Capaian kegiatannya dan angka-angka itu, masyarakat harus mengerti supaya ada kesepahaman.

Caranya?

Ada banyak sekali, ada media yang sangat konvensional sampai pada media platform yang media sosial. Di situ tugasnya di komunikasi di Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik berada di dalam konteks komunikasinya, sehingga bagaimana kita mengkreasi konten kemudian men-//delivered//. Supaya publik paham dan terjadi harmoni antarmasyarakat yang tentu beragam sekali masyarakat kita. Nah, di sinilah kompleksitas komunikasi ini yang kami geluti, yang kami kembangkan di IKP.

Pola komunikasi yang seperti apa yang akan dikedepakan?

Jadi begini, saya masuk lima bulan yang lalu, langsung kami coba menganalisis satu situasi komunikasi di kita, harus kita tingkatkan, tidak sekedar komunikasi. Itu sering dikritik masyarakat hanya seperti pemadam kebakaran. Ada isu yang enggak bagus langsung ditutup, seolah-olah pemerintah seperti itu, padahal tidak. 

Kami sedang mengembangkan model komunikasi berbasis pada resource yang kita miliki. Resource yang kita miliki pertama adalah SDM. Kami sedang mencanangkan SDM kehumasan, IKP ini kan humas pemerintah, jadi IKP itu sama halnya dengan government public relations (PR). Kami berikan labelling sekarang //government// PR (GPR) harus profesional.

Profesional di era milenial, ya, indikatornya milenial. GPR kita itu kita harapkan punya tiga medsos secara individu. Government sudah jalan medsosnya, tapi individu ini harus punya. Kemudian, masing-masing medsos itu harus punya follower minimal 500 dan harus aktif menjalankan kegiatan positive knowledge. Hal-hal positif yang di-upload.

Apa harapan untuk GPR ini?

Harapannya tentu saja ada kesadaran baru bahwa GPR itu, ya, standing-nya, ya, standing milenial. Meskipun usianya mau pensiun 2-3 tahun lagi ndak apa-apa, tapi standing-nya medsos. Karena apa? Memang alam sekarang ini alam milenial sehingga kita usia berapa pun tidak masalah, tapi sikap dan perilaku kita harus milenial. Itu kita lakukan sekarang. 

Dan kalau sudah lolos, itu kita kasih tanda ini (pin). Jadi membuat tanda ini, ini pin GPR profesional. Ini baru kita sematkan. Kalau belum, meskipun pegawai negeri sudah lama, kami belum bisa menyematkan pin ini karena kami merasa Anda harus menunjukkan profesionalitas sebagai GPR di era saat ini.

Bagaimana cara memastikan informasi dari pemerintah tersampaikan ke masyarakat?

Kami ada alat ukur, kami punya setiap tahun itu mencoba menganalisis sejauh mana kepuasan publik kepada layanan komunikasi pemerintah, itu ada. Namanya indeks kepuasan publik terhadap info pemerintah. Itu yang utama yang ada di sini. IKP saat ini betul-betul menggelar karpet merah untuk diteliti mahasiswa-mahasiswa komunikasi. Kami sangat senang, itu bagian dari strategi meningkatkan diri kita. “Oh, ternyata kita belum apa lagi ya?” Kan penelitian itu memberikan rekomendasi. 

Sekarang ini kami sedang mengundang, setiap kami datang ke kampus, kalau ada program studi komunikasi, saya selalu sampaikan, ayo, silakan mau magang di sini, penelitian di sini, boleh. Tidak ada yang ditutupi-tutupi dalam //government// PR. Sehingga, harapannya tentu saja publik bisa tahu dan percaya. 

Bagaimana IKP mengatasi hoaks?

Kalau saya istilahkan, hoaks itu ilalang kering, rumput yang memang sebetulnya tidak dikehendaki, tapi itu terjadi. Kita tentu kalau memang itu kritik yang membangun, konstruktif, ada data faktanya yang dipertanggungjawabkan, ya, itu kita tanggapi. Tugas kita adalah counter isu, dalam artian, ini lho yang betul. Diskursus publik itu bagian dari kerja komunikasi juga. 

Tetapi, kalau misalkan ada yang sampai pada hoaks tadi, hoaks kan fitnah, adu domba dan sebagainya. Itu sejak dulu sampai sekarang esensinya sama. Kalau sudah seperti itu, ada UU yang akan mengingatkan kepada semua kita dan harus ditaati UU itu. Ini yang saya kira menjadi kesepahaman kita, termasuk kami ada program yang namanya literasi media sosial.

Literasi itu untuk menyadarkan bahwa sekarang sudah ada peradaban baru, ayo kita memahami. Mari kita ber-khusnudzan, berprasangka baik untuk bisa menggunakan ini untuk kebaikan. Karena kita ini kan acuannya religiositas. 

Termasuk kami di dalam dunia komunikasi publik ini saya selalu mengharapkan kita ini bukan bumper seolah-olah salah dikatakan benar. Ya, enggak bisa. Di era keterbukaan ini, ya, kita tunjukkan perspektif dari sebuah realita itu. Tetapi, kemudian seolah-olah dibela, yang jelek pun dibela. Ya, enggak mungkin. 

Kalau dalam sisi peradaban teori komunikasi itu ada yang disebut dengan echo chamber. Echo chamber itu pantulan. Jadi, kalau yang ngomong itu kelompokku, itu yang benar. Tapi, kalau kelompoknya sana, saya enggak mau. Meskipun benar, tidak mau mengakui. Itu secara sosiologis menjadi sesuatu yang bisa membahayakan persatuan kita. 

Citra yang seperti apa yang ingin dibentuk IKP di bawah kendali Prof Widodo?

Sekarang Presiden Jokowi kan sudah (menjabat) presiden yang kedua. Beliau ingin membuat legacy, peninggalan kebaikan-kebaikan untuk bangsa ini. Kami di bidang komunikasi tentu saja bertanggung jawab untuk menceritakan kepada masyarakat bagaimana hal-hal yang sudah dimulai itu betul-betul itu sesuatu yang baik dan dimengerti publik ini baik. Kalau dalam bahasa agama itu fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah. Artinya, kita berpikir kerja itu ibadah. Saya sendiri juga bekerja itu ibadah. Saya enggakmau kerja akhirnya jadi maksiat negatif. Artinya, saya yakin kalau nurani keagamaan kuat dalam bekerja, di manapun itu yang menjadi orientasi kita.

Jadi hal-hal yang sifatnya jauh ke depan yang sedang dijalankan Pak Presiden ini mari kita mengerti secara bersama-sama. Andai ada oknum-oknum yang bermasalah, ndak apa-apa. Ada regulasinya. Sehingga, kami sangat senang nanti juga akan mengomunikasikan bagaimana proses penegakan hukum, jalankan. Publik itu berhak menilai itu. Jadi, inilah teknologi yang berkembang sangat pesat. Inilah kita men-delivered semua informasi sebaik-baiknya, dan nantinya yang kita ambil kan yang baik-baik yang akan masuk di dalam situ. 

Makanya sering saya sebut ini dalam khasanah kampus, pencitraan kafah. Jadi, kita ini bekerja, saya yakin-seyakinnya untuk tidak hanya urusan dunia, tapi juga urusan akhirat. Menurut saya, di era virtual ini, kalau kita berbuat salah, berbuat dosa, itu dosanya berlipat-lipat lho. Kenapa? Ya ini kalau saya direkam ini, saya meninggal, rekamannya jalan. Kalau di-upload semuanya, kalau saya salah, berlipat-lipat. Sekarang ini kan ada dokumentasi yang sangat bisa disebarluaskan oleh siapa pun. 

Bagaimana perkembangan RUU Penyiaran?

RUU Penyiaran nanti akan dibahas di situ (DPR). Saat ini sudah menginisiasi dan sudah mengajak dengan kita, government, eksekutif, untuk bersama-sama mencoba mendiskusikan revisi RUU Penyiaran. Dan saat ini memang perubahannya sangat cepat. Sekarang ini, yang tadi saya sampaikan, yang analog kita tinggalkan, kita masuk pada digital. Logikanya, digital itu kekuatannya, bandwitch-nya. Artinya, kemungkinan akses kepada publik itu makin dibuka oleh teknologi itu seluas-luasnya. Ini yang menjadi tujuan kita. 

Jadi, off analog, switch on digital itu bukan keinginan-keinginan yang sifatnya subjektif. Tapi, itu sebetulnya keinginan-keinginan yang sifatnya memang menghadapi tantangan perkembangan zaman. Kenapa itu belum selesai? Ya, tahun ini, tapi sudah masuk prolegnas. Jadi, rancangan UU Penyiaran itu termasuk juga rancangan UU perlindungan data pribadi. Jadi, kita ini juga peradabannya sudah berubah cepat, jangan sampai kita punya data informasi, baik individu bisa disalahgunakan oleh orang lain, bahkan oleh negara lain.

Nah, kita juga memperjuangkan, satu, digitalisasi, tapi juga, kedua, kedaulatan. Kita ini berbangsa dan bernegara dulu enggak pernah berbicara soal kedaulatan data. Nah, saat ini, yang sudah sangat maju ini, akhirnya kita harus berpikir kedaulatan data. Jangan sampai data semua WNI dimiliki bangsa lain, karena platformnya di sini, tapi enggak ngerti datanya mereka. Tapi, sekarang ini kan information is power. Informasi itu sesuatu yang sekarang ini diperebutkan, sehingga sekarang ini kan perang informasi. n

 
Di era virtual ini, kalau kita berbuat salah, berbuat dosa, itu dosanya berlipat-lipat lho. Kalau di-upload semuanya, kalau saya salah, berlipat-lipat.
 
 

Bukan Pemadam Kebakaran

Di bawah kepemimpinan Prof Widodo Muktiyo, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik ingin membuat citra pemerintah yang muncul tak hanya ibarat pemadam kebakaran. 

Pakar komunikasi bidang kehumasan dan pencitraan itu menegaskan, sudah bukan eranya lagi pemerintah hanya bertindak sebagai pemadam isu-isu buruk yang kerap muncul. Terlebih, teknologi digital saat ini sudah sangat memudahkan setiap individu mencari referensi bacaannya hanya dengan memencet layar di telepon genggam. “Ada isu yang enggak/bagus langsung ditutup, seolah-olah pemerintah seperti itu,” tutur Widodo di kantornya, Jakarta pekan lalu.

Saat ditemui Republika, pakar ilmu komunikasi dari Universitas Sebelas Maret, Solo, ini menuturkan, perkembangan teknologi memaksa individu harus lebih kebal terhadap terjangan informasi buruk. Terlebih, bagi pemerintah, harus makin kebal terhadap serangan informasi yang menyampaikan kritik sampai berita bohong atau hoaks. Widodo menegaskan, pihaknya ingin membawa pemerintahan terbuka terhadap kritik dan masukan. Bahkan, ia berpesan, hidup di dunia maya tidak boleh baper (terbawa perasaan).

Mantan wakil Rektor UNS itu ingin membawa fungsi kehumasan di pemerintah menjadi pemerintahan yang memberikan informasi mencerahkan dengan sudut pandang utuh. Ia mengibaratkan seekor gajah yang jika dilihat dari depan hanya terlihat hidungnya yang panjang dan telinganya yang lebar. Tetapi, jika dilihat dari bawah, terlihat empat kaki yang besar dengan perut yang lebih besar lagi. Itu hanya soal sudut pandang melihat. 

“Bahwa yang haq itu datangnya dari Allah. Tapi, kita harus yakin ini haq , dan kita jangan jadi baper. Sebagai government PR, saya enggak boleh baper,” ujarnya. Sosok kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini bercita-cita ingin membangun jamaah kehumasan pemerintah di era digital. Baginya, kalau sudah menggunakan konsepnya jamaah, indah sekali. 

“Karena makin kita punya banyak teman, kerjaan kita ibadah, kita itu pahalanya makin banyak kok. Tapi, kalau kita hanya sendiri-sendiri, sama-sama ibadahnya, yang kita terima secara spiritual, ya, kecil,” ujarnya. 

Namun, ia menegaskan, dirinya bukan seorang pemadam kebakaran yang digunakan untuk menutupi keburukan pemerintah. Ia hanya berharap, jika memang ada kekurangan dari sisi pemerintah, itu bisa diperbaiki bersama-sama. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat