
Nasional
Bertaruh Nyawa Menyelamatkan Cabai Terpedas dari Karhutla
Karhutla telah membakar 5 hektare lahan tanaman cabai petani di Kabupaten Tapin.
RANTAU - Kepulan asap membubung tinggi, titik api tersebar di mana-mana. Sentra cabai terpedas se-Indonesia di Desa Hiyung, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, sempat dikepung si jago merah yang membara, seakan siap menghanguskan setiap lahan yang terhampar.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapin bersama badan pemadam kebakaran (BPK), petani peduli api (PPA), dan anggota desa tangguh bencana kalang kabut menghalau api di area yang ditanami ribuan batang cabai varietas spesial khas Tapin yang memiliki tingkat kepedasan 17 kali lipat itu. Titik api menyebar tak karuan pada siang itu disembur angin kemarau semakin menjadi dan menuju malam semakin tak terkendali.
Kobaran api yang belum diketahui asal mulanya itu merambat melalui semak belukar yang didominasi jerami dan tanaman purun di lahan rawa yang kering kerontang itu. Dari jalan raya, tepat di deretan mobil pemadam yang siaga mengamankan rumah warga, terlihat sejauh setengah kilometer ke arah belakang pemukiman ada sejumlah orang di titik kebakaran.
Setelah berjalan, menerabas semak dan jerami di sawah, terlihat para petani membawa semprotan rumput berisi air berjibaku memadamkan api untuk menjangkau tanaman cabai yang berbaris rapi. Di balik asap tebal, ternyata ada anggota muda BPBD Tapin berdiri di atas lahan bekas terbakar menyemprotkan air menggunakan selang terhubung ke mesin portabel yang berada beberapa puluh meter di dekat parit surut.

Kelompok ini menyelamatkan sekitar 3.000 batang pohon cabai rawit siap panen yang nyaris terbakar total. Aksi itu juga memutus jalur api yang turut mengancam ratusan ribuan batang cabai rawit di sisi sebelahnya.
Kelompok lain juga berjibaku memadamkan api di kawasan Desa Hiyung yang saat ini ditanam cabai rawit di lahan produktif seluas 115 hektare. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya batang cabai rawit yang tumbuh di desa itu.
Tak semua bisa diselamatkan. Sekitar 4 hektare lahan cabai andalan Provinsi Kalimantan Selatan itu tak tertolong karena lokasi lahan yang terdampak kebakaran berada lebih jauh masuk ke dalam.
Berjalan kaki menuju lokasi tak terjangkau ini, menjelang maghrib terlihat di balik asap seorang petani bernama Ardiansyah (63) sedang bersusah payah menyelamatkan ribuan batang cabai milikinya. Air dalam semprotan rumput yang digendong hampir habis, tapi api masih menyala.
Ia tak ada waktu untuk menimba air di sumber yang berjarak tak kurang dari 50 meter dari kebun. Kalau ditinggal, api yang merambat ke media tanam berupa tumpukan jerami keburu membesar dan membakar batang cabai rawit yang sudah berbuah itu.
Air habis, Ardiansyah menggunakan tangan kosong untuk meminimalkan dampak dengan menyingkirkan jerami. Sesekali ia lari keluar dari kepulan asap sekadar untuk menghirup udara yang sedikit lebih baik, tapi api-api kecil timbul terus.
Ardiansyah terbilang nekat. Sesekali ia terlihat menyeret jerami yang sudah terbakar menggunakan tangan. Ia seolah tak menghiraukan keselamatan dirinya, segala daya upaya ia lakukan demi cabai rawit ini.
Saat menghela napas menjauh dari asap, wajah keriput Ardiansyah yang merupakan guru ngaji Alquran ini terlihat lelah. Matanya berbinar entah kena asap atau bersedih karena tanaman yang sudah berbulan-bulan dirawat terancam mati.
Menjelang maghrib, dua orang menantu Ardiansyah datang. Mereka juga menggendong semprotan rumput berisi air setelah selesai berupaya memadamkan api di sisi kebun lainnya.
Kedatangan Ardi dan Ivi, dua lelaki dewasa ini, tak mengubah keadaan. Api sudah tak terkendali. Usaha keluarga Ardiansyah ini gagal. Ribuan batang cabai rawit terbakar, hanya menyisakan beberapa batang saja, itu pun layu terkena panas.
Memasuki malam, api terlihat lagi di sisi kebun lainnya milik Ardiansyah, hanya selemparan batu dari lahan yang ludes terbakar itu. Dalam gelap, keluarga Ardiansyah ini pun lari ke arah api yang membara menyala membakar kumpulan tanaman purun tikus dan mengancam ratusan batang cabai rawit, berjarak hanya beberapa langkah kaki.
Malam itu keadaannya cukup mencekam. Titik api ada di mana-mana di wilayah Desa Hiyung. Menghadapi api yang mengarah ke kebunnya. terlihat siluet tubuh Ardiansyah membawa pecah cermin menghadapkan ke arah api, sambil membaca surat-surat Alquran. "Tolak bala," sahutnya, saat lari kembali mengambil air.
Selesai ikhtiar itu, menggunakan semprotan rumput, ember, dan kayu, keluarga Ardiansyah mencoba menghalau api. Beruntung sumber air cukup dekat dengan kebun di sisi satunya ini.
Usaha keluarga Ardiansyah itu membuahkan hasil. Ratusan tanaman cabai rawit dan pondok tani berhasil diselamatkan.

Mereka baru bisa pulang setelah lewat pengujung malam sekitar pukul 01:00 WITA, Sabtu dini hari, begitu pun dengan tim pemadam kebakaran yang bertugas di desa itu.
Lokasi kebun milik Ardiansyah ini memang jauh dari jalan utama Desa Hiyung. Harus diakses menggunakan sepeda motor. Pemadam kebakaran tak sempat menyelamatkan kebun milik Ardiansyah karena banyak titik api.
Kebakaran di wilayah sentral cabai rawit Hiyung ini bukan kali pertama terjadi, musim kemarau ini sudah terjadi berkali-kali, bahkan menewaskan seorang petani, yakni Supian Suri (55). Baru saja, petani itu tewas pada Senin siang (28/8/2023) setelah berjibaku dengan api untuk menyelamatkan kebun cabai rawit.
Ternyata, sosok petani yang tewas itu keponakan dari Ardiansyah. Hal itu diungkapkannya saat bercerita setelah kebakaran di pondoknya setelah mengais sisa cabai di dahan yang terbakar.
Keponakannya itu tewas karena lupa diri tentang kesehatannya dan kondisi sebaran api yang mengancam tanaman cabai rawit Hiyung. Ya, mungkin sama halnya apa yang dilakukan Ardiansyah pada Jumat lalu.
Supian ditemukan dalam kondisi hidup di kebun cabai oleh personel pemadam dan masyarakat. Tergeletak di tengah kepungan asap di atas tanah.
Bantuan pemerintah
Ardiansyah mengaku merugi tak kurang dari Rp 50 juta akibat gagal panen karena karhutla. Lebih 2.000 batang cabai rawit siap panen miliknya ludes terbakar, hanya beberapa ratus batang yang berhasil diselamatkan. "Cuma sempat panen 7 ons," ujarnya.
Niat hati Ardiansyah dan istrinya, Fatimah, ingin memperingati 100 hari kepulangan anak bungsu yang meninggal karena sakit terancam pupus akibat karhutla yang melalap ribuan cabai rawit itu. Sekarang, untuk modal tanam lagi saja, suami istri itu bingung harus mencari uang ke mana, belum lagi untuk biaya hidup. Modal untuk sarana produksi, misal bibit dan pupuk bisa mencapai puluhan juta.
"Modal bisa lebih Rp 10 juta lebih, itu pun tak dihitung biaya tenaga," ungkapnya ketika ditemui seusai kebakaran.
Ketua Kelompok Tani Karya Baru Desa Hiyung Junaidi menaksir petani cabai rawit Hiyung mengalami kerugian mencapai setengah miliar rupiah lebih karena gagal panen.
Kerugian itu berdasarkan hitungan tanaman cabai rawit Hiyung yang siap panen saat kemarau ini memiliki tingkat produktivitas tinggi dibandingkan dengan saat musim hujan. Hasil per hektare bisa mencapai 4—6 ton dengan asumsi harga termurah Rp 45 ribu per kilogram dan tertinggi mencapai Rp 100 ribu per kilogram.

Dinas Pertanian Kabupaten Tapin pada Senin (18/9) memverifikasi lapangan dampak karhutla yang merugikan 13 petani, termasuk Ardiansyah. Totalnya ada 17.100 batang cabai rawit yang terbakar.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Tapin menyiapkan bantuan sebagai bentuk kepedulian terhadap para pahlawan pangan ini, terutama petani cabai rawit yang menanam komoditas yang membawa nama daerah ke kancah nasional hingga internasional.
Bantuan itu berupa sarana produksi (saprodi), yakni berupa bibit, pupuk, hingga obat-obatan tanaman. Kabarnya, bakal diberikan sesuai modal awal petani yang terdampak. "Kemungkinan bulan depan bantuan disalurkan," ujar Kepala Dinas Pertanian Tapin Triasmoro di Rantau.
Bantuan tak hanya untuk petani yang terdampak, tapi juga untuk petani yang kena imbas karhutla pada Agustus lalu. Jika dihitung total cabai rawit yang terbakar Agustus-September 2023, menyentuh angka 21.690 batang setara 5 hektare lahan milik 20 orang petani. Bantuan ini menggunakan dana darurat, bersumber dari APBD Tapin melalui BPBD yang nanti diserahkan ke Dinas Pertanian.
Cegah karhutla
Belajar dari peristiwa belakangan ini, Pemerintah Kabupaten Tapin menyiapkan program penataan kawasan sentral cabai rawit Hiyung agar bisa menghindari ancaman karhutla yang dapat merugikan para petani. Triasmoro mengatakan, penataan ruang ini perlu dilakukan karena cabai rawit Hiyung ini adalah komoditas tingkat nasional. "Insya Allah, direalisasikan 2024, kami prioritaskan," ungkap Triasmoro.
Penataan ruang tanam ini nantinya juga akan diikuti pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung, baik untuk menunjang produktivitas pertanian maupun mitigasi bencana, yakni embung, sumur bor, hingga jalan tani.
Dinas Pertanian Tapin berjanji bakal menjadikan kawasan sentra cabai rawit Hiyung ini sebagai prioritas pada 2024. "Ini kan komoditas nasional. Program harus kita maksimalkan," tutur Triasmoro.
Hampir seluruh masyarakat di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah, menggantungkan hidup dari tanaman cabai rawit yang tumbuh subur di ekosistem rawa ini. Khusus di Desa Hiyung saja, saat ini lahan produktif ada 116 hektare milik 11 kelompok tani.
Lahan seluas itu melibatkan 300 keluarga setempat. Jika ditambah dengan 140 hektare lahan milik petani mandiri, maka totalnya ada 329 keluarga atau 99 persen penduduk Desa Hiyung mengandalkan tanaman cabai ini sebagai tumpuan ekonomi.
Apabila sepanjang musim tahun ini cuaca bagus dan ancaman penyakit bisa diminimalkan, panen besar bisa dilakukan hingga lebih dari 20 kali. Jika terjadi musim kemarau kering, petani cabai di Hiyung bisa menghasilkan 3 ton/hektare. Namun, apabila terjadi kemarau basah, petani hanya menghasilkan 1,5 ton/hektare dan panen sepanjang musim cuma bisa dilakukan di bawah 20 kali.
Mengenai harga, cabai rawit Hiyung lebih unggul daripada cabai jenis lainnya sehingga nilai jualnya di pasaran bisa berselisih Rp 5.000—Rp 10 ribu per kg dibandingkan cabai rawit asal daerah lain. Harga terendah dan tertinggi cabai rawit Hiyung belakangan ini berkisar Rp 35 ribu—Rp 120 ribu per kg yang fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.