Platform Tiktok | Pixabay

Ekonomi

Dugaan Predatory Pricing Tiktok Shop yang Mengancam UMKM

Pemerintah seharusnya mengatur model algoritma Tiktok agar menciptakan keseimbangan persaingan usaha.

JAKARTA -- Pemerintah diharapkan dapat segera membuat aturan yang tegas terkait berkembangnya media sosial yang merangkap e-commerce atau social commerce. Apalagi, social commerce diduga melakukan praktik predatory pricing yang bisa membunuh produk UMKM di Tanah Air.

Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny mengatakan, praktik predatory pricing atau menjual barang di bawah harga modal atau bahan baku yang tengah marak di platform Tiktok sangat merugikan pelaku UMKM. Hal itu membuat UMKM menjadi sulit bersaing.

"Karena yang dijual kebanyakan harga lebih murah," kata Hermawati. Oleh karena itu, Hermawati meminta pemerintah mengeluarkan aturan yang jelas dan pengawasan agar tidak ada predatory pricing di Tiktok.

photo
Pengunjung mengamati produk busana UMKM di pameran Halal Fair di Menara 165, TB Simatupang, Jakarta, Jumat (8/9/2023). - (Republika/Thoudy Badai)

Menurut dia, pemerintah juga perlu memberikan pembinaan dan pelatihan kepada UMKM. Tujuannya agar produk buatan UMKM nasional mampu berdaya saing.

Hermawati mengungkapkan, selama ini beberapa anggota asosiasi sudah ada yang memanfaatkan Tiktok untuk berjualan. Hanya saja, kata dia, penjualannya tetap tidak sebanyak produk impor yang dijual dalam platform tersebut. "Kebanyakan kalah bersaing karena masalah harga," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki mengaku belum mendapatkan jawaban pasti mengenai murahnya berbagai barang yang dijual di Tiktok.  Meski begitu, sambungnya, kementerian sudah sempat memanggil platform media sosial itu.

"Belum (ada jawaban), mereka (Tiktok) bilang itu seller-nya yang jual," ujar dia kepada wartawan di Jakarta. Kendati demikian, terlalu murahnya barang yang dijual di Tiktok membuat UMKM tidak bisa bersaing. Dia pun heran bagaimana bisa penjual di Tiktok menjual barang begitu murah, padahal ada biaya logistik, promosi, dan lainnya.

Teten pun meminta semua e-commerce agar bisa membantu UMKM Indonesia dan mendukung berbagai usaha tersebut."Jangan membenturkan seller dengan UMKM yang memproduksi barang. Penjual maupun influencer mendapatkan benefit jualan, namun di sisi lain UMKM mulai kesulitan. Di sisi lain ada UMKM yang produksi sudah tidak bisa produksi lagi, lumpuh," ujar dia.

Tiktok dan tracking data. - (Republika)

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perlu ada aturan yang jelas mengenai social commerce. Bhima menyampaikan, pemerintah harus memisahkan platform e-commerce dengan social commerce.

"Nanti judulnya tetap Tiktok Shop juga tidak masalah, tapi jangan dicampur dengan sosial media. Live sales boleh saja asal di platform e-commerce yang terpisah," ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/9/2023).

Bhima menilai hal itu telah diterapkan Pemerintah Inggris yang memisahkan media sosial Tiktok dengan social commerce. Bhima menyampaikan, afiliasi Tiktok dengan perusahaan, terutama importir asal Cina, bisa memicu persaingan usaha yang tidak sehat. 

Bhima menyoroti model algoritma pengguna media sosial yang bisa diarahkan untuk membeli barang dari penjual yang terafiliasi dengan Tiktok, kemudian diberi diskon besar-besaran. Menurut Bhima, pemerintah seharusnya mengatur model algoritma Tiktok agar menciptakan keseimbangan persaingan usaha. 

"Akhirnya, UMKM kecil tidak mungkin bersaing dengan penjual besar. (Soal algoritma) harusnya masuk ke Kemenkominfo aturan itu," ucap Bhima.

 

 

Banyak platform mengaku memberi kesempatan pada UMKM, namun sebatas menjadi reseller barang impor

 

Bhima menyarankan sejumlah hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengatur country of origin (COI) barang yang diperjualbelikan di e-commerce, terutama cross border, sehingga ada data jelas berapa porsi impornya.

Bhima menilai selama ini banyak platform mengaku memberi kesempatan pada UMKM, namun sebatas menjadi reseller barang impor dan bukan sebagai produsen. "Kedua, integrasikan seluruh data e-commerce dengan Bea Cukai dan perizinan impor di Kemendag," lanjut Bhima.

Bhima menyebut ketidakakuratan data masih jadi masalah sehingga kebijakan tidak terintegrasi antarkementerian dan lembaga. Sinkronisasi data dapat mendeteksi produk yang masuk sebelum dipasarkan di platform. 

"Ketiga, pemisahan antara media sosial dan e-commerce wajib dilakukan sebagai langkah pengawasan yang lebih mudah," kata Bhima.

photo
Pengunjung melihat sejumlah produk UMKM yang dijual di Pasar Kreatif Bandung di Pullman Bandung Grand Central, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (17/3/2023). - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Bhima mengatakan, pemerintah juga harus mengatur diskon, promosi yang mengarah pada predatory pricing, untuk dimasukkan ke dalam revisi Permendag. Selain itu, Bhima mendorong adanya pemberlakuan hambatan nontarif, seperti SNI, sertifikat halal, dan berbagai hambatan lain untuk membatasi produk impor di e-commerce.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus hadir dalam menyikapi fenomena social commerce. Faisal menyampaikan apa yang terjadi saat ini di Tiktok Shop cenderung berbeda dengan model e-commerce sebelumnya. 

"Tiktok disinyalir bukan hanya memperjualbelikan barang sebagaimana e-commerce lain, tapi juga membuat algoritma yang bisa mengidentifikasi sampai ke produk-produk apa paling laris, berapa harganya, dan diiklankan langsung," ujar Faisal, Senin (18/9/2023).

 
Perlindungan akses pasar perlu diberikan secara khusus untuk UMKM karena mereka lebih rentan
MOHAMMAD FAISAL, Direktur Eksekutif CORE Indonesia 
 

Faisal mengatakan, banjir produk impor, terutama dari Cina sejatinya telah terjadi setelah adanya perjanjian perdagangan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sejak 2005. Akibat perjanjian tersebut, ucap Faisal, konsumen lebih memilih produk tekstil Cina karena lebih murah dan bervariasi. 

"Tapi, keberadaan Tiktok lebih advance lagi. Itu yang dikhawatirkan. Artinya, itu bisa menjadi satu ancaman karena kelebihannya itu, mereka lebih paham pasar di Indonesia," ucap Faisal.

Faisal menyampaikan, pemerintah sudah sepantasnya hadir untuk melindungi pelaku UMKM. Faisal menyebut para pelaku UMKM tentu tidak akan bisa bersaing dengan produk impor yang menawarkan harga lebih rendah.

"Masalah UMKM itu akses pasar. Artinya, perlindungan akses pasar perlu diberikan secara khusus untuk UMKM karena mereka lebih rentan," kata Faisal.

photo
Logo aplikasi TikTok ditampilkan di ponsel di Randers, Denmark, 28 Februari 2023. Parlemen Denmark mengumumkan pada Selasa (28/2/2023) bahwa mereka telah meminta anggota parlemen dan seluruh stafnya untuk menghapus aplikasi Tiktok dari ponsel kantor mereka karena risiko spionase . - (EPA-EFE/Bo Amstrup )

Belum bisa ditindak
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan belum ada aturan yang dilanggar oleh bisnis media sosial dan e-commerce Tiktok Shop. Karena itu, Kementerian Kominfo tidak bisa serta-merta menindak platform Tiktok Shop meskipun sejumlah pihak menentang keberadaan bisnis tersebut karena mengancam pasar UMKM lokal.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo Usman Kansong menyatakan, Tiktok memang terdaftar sebagai platform media sosial, bukan e-commerce. Namun, hingga saat ini belum ada aturan mengenai keharusan pemisahan antara platform media sosial dan e-commerce.

"Sejauh ini dia izinnya adalah platform media sosial, tapi di dalam media sosial itu ada layanan yang namanya shop. Tiktop Shop itu boleh, enggak? Sejauh ini enggak ada aturan yang harus memisahkan itu. Jadinya Kominfo tidak bisa melakukan apa-apa saat ini karena tidak ada aturannya," ujar Usman Kansong saat dihubungi Republika, Senin (18/9/2023).

 
Kominfo tidak bisa melakukan apa-apa saat ini karena tidak ada aturannya
USMAN KANSONG, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo.
 

 

Usman mengatakan, Kementerian Kominfo saat ini berwenang untuk menindak platform yang melanggar aturan dari segi konten, tidak terdaftar, maupun melakukan kebocoran data. Usman mencontohkan, Kominfo bisa melakukan take down atau memblokir platform yang menjual barang-barang yang terlarang.

"Kita men-take down kalau konten itu negatif, kalau yang dijual barang-barang terlarang, misalnya kita pernah men-take down di platform media sosial jual beli organ tubuh, misalnya, atau kita lakukan blokir kalau platform itu melakukan pelanggaran seperti kebocoran data," ujarnya.

Namun, sejauh ini untuk pemisahan platform dengan e-commerce bukan wewenang Kominfo. Maka, ketika platform membuat layanan belanja, itu bukan pelanggaran.

"Tapi, kalau nanti sudah ada aturan harus dipisah antara e-commerce dan media sosial, maka kita harus terapkan aturan itu. Kalau misal, katakanlah, tidak memisahkan, itu bisa kita blokir kalau aturannya sudah tersedia," ujarnya

 

Ikuti Berita Republika Lainnya