IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Masa Depan Dunia tak Ditentukan di Markas PBB

Masa depan dunia tidak bisa hanya dibangun dengan tank, rudal, dan drone.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Masa depan dunia tampaknya tak lagi ditentukan di markas besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS). Namun, di tempat lain. Di kota-kota besar tempat diselenggarakannya Konferensi Tinggkat Tinggi (KTT) ASEAN, KTT G-7 (tujuh negara maju/industri), KTT G-20, KTT BRICS, dan seterusnya.

Di antara semua KTT itu, yang paling menyedot perhatian internasional tentu saja KTT BRICS dan G-20, lantaran di antara anggotanya adalah negara-negara paling berpengaruh saat ini dan masa depan. Negara-negara dengan persenjataan dan ekonomi terkuat di dunia.

Kendati perang di Ukraina telah menyadarkan tentang pentingnya negara berkekuatan militer, tapi G-20 dan BRICS lebih memfokuskan pada aliansi ekonomi. Ini karena masa depan dunia tidak bisa hanya dibangun dengan tank, rudal, dan drone. Masa depan ditentukan oleh kemajuan ekonomi, inovasi teknologi, perdagangan, pasokan barang, dan investasi. Masa depan adalah dengan mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran.

 
Masa depan dunia tidak bisa hanya dibangun dengan tank, rudal, dan drone. Masa depan ditentukan oleh kemajuan ekonomi, inovasi teknologi, perdagangan, pasokan barang, dan investasi. Masa depan adalah dengan mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
 
 

Karena itu, seperti tergambar pada KTT terakhir BRICS dan G-20, persaingan dunia lebih menjurus pada persoalan ekonomi dan keuangan. Bukan dengan unjuk kekuatan militer dan ideologi --liberal dan sosialis-- seperti pada Perang Dingin dulu.

KTT kelompok BRICS terakhir berlangsung pada akhir Agustus lalu di Johannesburg, Afrika Selatan. Sedangkan KTT G-20 pada September ini di New Delhi, India.

Lalu apa perbedaan Kelompok BRICS dan G-20? Mengutip kolomnis di berbagai media internasional, Mohammad Ali Saqqaf, G-20 pada dasarnya terbentuk dari negara-negara industri besar dunia, sebagian besar negara-negara Barat. Mereka kemudian membuka diri terhadap negara-negara berkembang dengan perekonomian besar, seperti Indonesia, Turki, Arab Saudi, India, dan lainnya. Sedangkan anggota kelompok BRICS sejak pembetukannya terbatas pada negara-negara berkembang, tak satu pun dari negara Barat.

Yang jadi persoalan, kelima negara BRICS — Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan — adalah anggota G-20. Antara keduanya terdapat perbedaan kepentingan.

Sebagai misal, BRICS berupaya membangun tatanan internasional baru yang multipolar. Sedangkan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat yang tergabung dalam G-20, ingin tetap unipolar. Mereka tetap ingin mempertahankan supremasi dan dominasi mereka di tingkat global, setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin.

Contoh lainnya adalah dalam konteks kebijakan moneter. Negara-negara Barat berupaya tetap mematuhi lembaga moneter dan pembiayaan, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II. Sedangkan, negara-negara BRICS ingin mengubah kebijakan itu, antara lain, dengan tidak saling bertransaksi dengan mata uang dolar AS, dan menggunakan mata uang nasional masing-masing dalam perdagangan antarnegara.

Ini belum lagi ketika enam negara baru — Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Iran, Argentina, dan Ethiopia — bergabung dalam kelompok BRICS pada Januari 2024. Bergabungnya beberapa negara penghasil minyak itu, di satu sisi akan memperkuat posisi kelompok BRICS, di sisi lain mereka juga anggota G-20, di mana negara-negara Barat berkepentingan dengan minyak mereka.

Berbagai kepentingan yang saling betabrakan antara G-20 dan BRICS inilah, menurut beberapa analis di Timur Tengah, yang menjadi alasan ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping pada KTT di New Delhi itu.

 
Berbagai kepentingan yang saling betabrakan antara G-20 dan BRICS inilah, menurut beberapa analis di Timur Tengah, yang menjadi alasan ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping pada KTT di New Delhi itu.
 
 

Absennya Presiden Putin mungkin bisa dimaklumi. Negaranya sedang perang di Ukraina, sebuah perang berkepanjangan yang tak ada kemungkinan untuk mundur.

Sedangkan ketidakhadiran Presiden Xi Jinping telah memunculkan berbagai spekulasi. Apalagi ia selalu hadir dalam KTT tahunan G-20 sejak menjabat presiden pada 2012. Bahkan beberapa pekan sebelum KTT, terbetik kabar tentang rencana pertemuan antara Presiden Xi dan Presiden Joe Biden di New Delhi, sebuah pertemuan yang ditunggu-tunggu guna mengurangi ketegangan keduanya.

Berbagai pertanyaan pun muncul. Apakah rencana pertemuan dengan Presiden Biden belum matang? Ataukah ada persoalan lain, misalnya, apakah ketidakhadiran Presiden Xi lantaran KTT diselenggarakan di India, di mana negaranya terlibat bentrok dan sengketa perbatasan?

Sejumlah pengamat meyakini ketidakhadiran Presiden Xi lantaran ia tahu, AS akan memanfaatkan KTT G-20 untuk mengalihkan persaingan yang memanas ke arena Asia sendiri. Antara lain dengan memasok teknologi dan investasi ke India, yang menjadikan negara PM Narendra Modi pesaing berat buat Cina.

Dalam beberapa waktu terakhir, Beijing tidak segan menuduh Washington telah melancarkan ‘Perang Dingin baru’, yang menempatkan Cina di ‘kotak’ yang sama yang dulu ditempati Uni Soviet.

 
Sejumlah pengamat meyakini ketidakhadiran Presiden Xi lantaran ia tahu, AS akan memanfaatkan KTT G-20 untuk mengalihkan persaingan yang memanas ke arena Asia.
 
 

Kendati dunia kini sedang bergerak menuju multipolaritas seperti disuarakan BRICS, tapi AS — satu-satunya negara super power selama tiga dekade — masih mengendalikan kunci-kunci kekuatan dunia. Termasuk menjalin konsensus dengan sejumlah negara Asia dalam beberapa bulan terakhir guna membendung pengaruh Cina. Ini hampir sama dengan proses mengepung Rusia dengan menarik negara-negara di sekitarnya ke dalam NATO.

Kebijakan Presiden Biden jelas bertujuan untuk membentengi pengaruh Cina, dengan mendorong India sebagai pesaing terdekatnya. Dan, bukan suatu kebetulan jika Vietnam menjadi pemberhentian kunjungan Biden setelah India.

India, dipimpin PM Narendra Modi sejak 2014, merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, mengalahkan Cina. Peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan tertumbuhan ekonomi dan teknologi yang sangat pesat.

Kini perekonomiannya menempati peringkat kelimat di dunia, setelah AS, Cina, Jepang, dan Jerman, mengungguli Inggris dan Prancis. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, India juga menduduki peringkat kelima di dunia, setelah UEA, Mesir, Qatar, dan Arab Saudi, mengalahkan dua pesaing besar Asia, Cina dan Jepang.

KTT G-20 di New Delhi jelas merupakan panggung Narendra Modi, yang berambisi untuk jabatan periode ketiga sebagai PM. Keberhasilannya di percaturan politik internasional ia harapkan bisa mendapatkan popularitas yang luas di publik India guna membantunya memenangkan Pemilu 2024.

Karena itu, ia pun sangat hati-hati menyikapi perang Rusia di Ukraina. Ia menahan diri tidak mengutuk perang tersebut, tapi pada waktu yang sama ia tetap membuka hubungan dengan Barat. Ia juga berusaha keras agar Kelompok BRICS, di mana India jadi anggotanya, agar tidak memusihi dirinya.

 
Hebatnya lagi, dari KTT G-20 di New Delhi, India berhasil menandatangani nota kesepahaman dengan AS, Arab Saudi, Uni Eropa, UEA, Prancis, Jerman, dan Italia guna menciptakan koridor ekonomi yang menghubungkan India dengan Eropa melalui Teluk Arab. Peristiwa ini ia gambarkan sebagai penting dan transformatif dalam peta logistik global.
 
 

Hebatnya lagi, dari KTT G-20 di New Delhi, India berhasil menandatangani nota kesepahaman dengan AS, Arab Saudi, Uni Eropa, UEA, Prancis, Jerman, dan Italia guna menciptakan koridor ekonomi yang menghubungkan India dengan Eropa melalui Teluk Arab. Peristiwa ini ia gambarkan sebagai penting dan transformatif dalam peta logistik global.

Koridor ekonomi yang dimaksud akan menghubungkan India dengan Timur Tengah, khususnya negara-negara Teluk Arab, melalui laut, disebut jalur timur. Lalu disambung dengan jalur utara, yang menghubungkan negara-negara Teluk dengan Yordania dan Israel, dengan kereta api.

Kemudian dari Israel terhubung melalui laut ke pantai Eropa Selatan, terutama Prancis dan Italia, dan dari sana ke negara-negara Eropa Tengah, Utara, dan Barat, dengan kereta api.

Kendati koridor ekonomi dirancang untuk kepentingan semua negara yang berpartisipasi secara setara dan proporsional, tapi setiap negara mempunyai manfaat tambahan. India, misalnya, akan bisa meningkatkan perdagangannya dengan Eropa sebesar 40 persen. Antara lain dengan mengekspor produksinya, atau dengan mentransfer industri Uni Eropa ke India. Negara ini juga akan memilki keunggulan kompetitif dibandingkan Cina.

Adapun AS ingin menjadikan koridor ekonomi ini untuk menyaingi One Belt One Road (OBOR) Cina, yang dipandang telah meningkatkan pengaruh Cina secara global. OBOR sering juga disebut Belt and Road Initiative, merupakan inisiatif Cina yang dirilis Presiden Xi Jinping pada 2013. Ia merupakan sebuah proyek gurita yang melibatkan 139 negara, termasuk sejumlah negara Arab. Proyek ini terdiri dari dua jalur: darat melalui Asia menuju Timur Tengah, lalu Eropa. Laut melalui Samudera Hindia menuju Afrika dan Amerika Selatan.

 
Dunia kini dihadapkan pada dua proyek ekonomi yang sama-sama besar dan mengglobal.
 
 

Dengan demikian, dunia kini dihadapkan pada dua proyek ekonomi yang sama-sama besar dan mengglobal. Pertama, OBOR Cina yang pengaruhnya sudah mengglobal. Kedua, koridor ekonomi AS yang menghubungkan India-Timur Tengah-Eropa, yang baru berbentuk nota kesepahaman.

Banyak negara yang akan dirugikan dari salah satu atau dua blok ekonomi dunia itu. Mesir, misalnya, dengan adanya koridor ekonomi bisa dipastikan Terusen Suez akan lebih sepi dari lalu-lalang kapal pengangkut barang. Juga Turki yang akan dirugikan karena rencananya untuk menjadi simpul perdagangan internasional akan terhambat.

Namun, ada yang diuntungkan dari kedua proyek ekonomi dunia itu, seperti Arab Saudi. Negara penghasil minyak itu justru akan memanfaatkan keduanya.

Yang jelas, persaingan kedua blok ekonomi itu akan semakin keras di masa mendatang. Persis seperti zaman Perang Dingin dulu. Namun, kali ini adalah perang dagang, persaingan ekonomi, yang mungkin hingga taraf saling mengembargo.

Sejarah Pemberontakan PKI 1948

Banyak ulama dan santri yang gugur dalam peristiwa pemberontakan kaum komunis ini.

SELENGKAPNYA

Juara Udara Terburuk di Dunia dan Ikhtiar Baru Jakarta

Kualitas udara di Jakarta berada di angka 164 atau masuk dalam kategori tidak sehat.

SELENGKAPNYA

Israel Sebentar Lagi Caplok Tepi Barat Sepenuhnya

Ribuan pemukiman baru Yahudi terus merangsek tepi barat.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya