
Internasional
Perdamaian di Yaman Makin Dekat
Saudi mengundang delegasi Houthi ke Riyadh.
Oleh KAMRAN DIKARMA, DWINA AGUSTIN
RIYADH -- Harapan untuk perdamaian di Yaman yang telah diguncang perang tak berkesudahan sejak 2015 kian dekat. Arab Saudi telah mengundang delegasi pemberontak Houthi ke Riyadh untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata.
Kantor berita milik pemerintah Saudi, SPA melaporkan pada Kamis (14/9/2023), Saudi ingin melanjutkan upayanya bersama Oman. "Untuk mencapai gencatan senjata permanen dan komprehensif di Yaman dan solusi politik berkelanjutan yang dapat diterima oleh semua pihak di Yaman,” tulis laporan SPA.
Ketua komite revolusioner tertinggi Houthi Mohamed Ali al-Houthi mengatakan pada Kamis malam, bahwa pembicaraan terus berlanjut antara perwakilan kelompok itu dan Saudi dengan mediasi Oman. Pembicaraan tersebut mencakup pembayaran gaji pegawai Yaman, pembukaan bandara dan pelabuhan.
"Pembebasan semua tahanan, keluarnya pasukan asing, dan rekonstruksi yang mengarah pada solusi politik yang komprehensif,” kata al-Houthi.

Siaran televisi Houthi al-Masirah melaporkan sebelumnya, delegasi meninggalkan Sanaa dan sedang dalam perjalanan ke Riyadh untuk melanjutkan perundingan. Perjalanan ini akan menjadi kunjungan resmi pertama para pejabat Houthi ke Saudi sejak perang pecah di Yaman pada 2014. Saat itu kelompok yang bersekutu dengan Iran berupaya menggulingkan pemerintah yang didukung Saudi di Sanaa.
Dua sumber yang terlibat dalam pembicaraan di Saudi mengonfirmasi bahwa utusan Houthi dan Oman datang ke Riyadh untuk merundingkan gencatan senjata permanen dengan para pejabat Saudi. Putaran pertama konsultasi antara Saudi dan Houthi yang dimediasi Oman diadakan pada April lalu.
Proses itu berjalan bersamaan dengan upaya perdamaian yang dilakukan PBB. Pada 16 April 2023 lalu, Duta Besar Arab Saudi untuk Yaman Mohammed Al-Jaber bertemu Kepala Dewan Pimpinan Kepresidenan Yaman Rashad Al-Alimi. Dalam pertemuan tersebut, Al-Jaber memaparkan hasil pertemuannya dengan perwakilan kelompok pemberontak Houthi di Sanaa pada 8 dan 13 April 2023. Pertemuan di Sanaa juga dihadiri delegasi Oman.
Al-Jaber mengungkapkan, tujuan dari pembicaraan dengan Houthi adalah menghidupkan kembali gencatan senjata dan mengakhiri konflik yang telah berkecamuk selama delapan tahun di Yaman. “Saudi ingin mendukung proses pertukaran tahanan serta mengeksplorasi tempat dialog antara semua komponen Yaman untuk mencapai solusi politik yang berkelanjutan dan komprehensif,” kata Kemenlu Arab Saudi dalam keterangan persnya tentang pertemuan Al-Jaber dengan Rashad Al-Alimi, dikutip laman Arab News.

Al-Alimi dan Dewan Kepresidenan Yaman memuji upaya mediasi yang diemban Saudi serta Oman. Mereka menekankan perlunya menghidupkan kembali proses politik berdasarkan Three References yang disepakati secara nasional maupun internasional di bawah pengawasan PBB.
Pada 17 April 2023, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengungkapkan, para pihak di Yaman telah membebaskan hampir seribu tahanan selama empat hari. “Operasi pembebasan ini menyatukan kembali ratusan keluarga tepat saat perayaan Idul Fitri. Mereka dimungkinkan oleh tindakan niat baik yang kuat yang diharapkan juga akan membawa kita lebih dekat untuk melihat akhir dari konflik dan penderitaan manusia selama bertahun-tahun,” kata Kepala Delegasi ICRC di Yaman Daphnee Maret.
Menurut ICRC, dari 14 hingga 16 April 2023, ICRC telah mengoperasikan 15 penerbangan yang membawa 869 tahanan kembali ke empat kota di Yaman dan dua di Arab Saudi. Selain itu, koalisi yang dipimpin Saudi meminta ICRC memfasilitasi pembebasan 104 tahanan secara terpisah dari Saudi ke Yaman.
Putaran pertama konsultasi yang dimediasi Muskat antara Riyadh dan Sanaa berjalan bersamaan dengan upaya perdamaian PBB. Momen itu diadakan pada April 2023 ketika utusan Saudi mengunjungi Sanaa.
Sejak akhir 2020, Sekjen PBB Antonio Guteres telah memperingatkan bahwa Yaman berada dalam ambang atau tubir bencana kemanusiaan terparah di dunia, yang tidak pernah terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sampai akhir Maret 2021, lebih dari 130 ribu warga Yaman meninggal akibat perang sejak 2015. Namun, menurut Kantor PBB untuk Kordinasi Kemanusiaan (OCHA), jumlah warga Yaman yang meninggal sudah lebih 233 ribu, termasuk sekitar 131 ribu karena kelaparan atau tidak mendapat pelayanan kesehatan dan air minum.

Di antara mereka yang meninggal, sekitar 15 ribuan warga sipil, dan lebih 3.153 anak-anak. Selain itu, ada lebih 1,2 juta orang, khususnya anak-anak terancam kelaparan. Perang saudara yang disertai kekuatan militer asing pimpinan Arab Saudi membuat Yaman semakin tergelincir ke dalam lubang kemiskinan. Kini, Yaman yang sejak semula miskin menjadi negara termiskin di dunia.
Kekerasan di Yaman terjadi sejak perang saudara kembali meletup pada 2014. Yaman terbelah menjadi tiga wilayah utama konflik: seperempat wilayah Yaman yang mencakup beberapa provinsi berpusat di Sanaa dikuasai kekuatan militer Houthi. Selanjutnya, dua perempat wilayah Yaman Tengah dan Timur yang dikuasai pemerintah, kemudian didukung koalisi militer pimpinan Arab Saudi dan seperempat sisanya di bawah kendali kekuatan Alqaidah dan kelompok-kelompok laskar ekstremis lain. Pada Maret 2015, Arab Saudi membentuk koalisi militer beranggotakan beberapa negara Arab untuk menghentikan perang saudara di Yaman, yang kembali marak sejak 2014.
Selain Arab Saudi, koalisi mencakup Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Yordania, Mesir, Maroko, dan Sudan. Koalisi militer pimpinan Saudi berusaha melibatkan anggota OKI lainnya. Atas permintaan Arab Saudi, Malaysia ikut koalisi, tetapi tidak mengirim kekuatan militer; sedangkan Pakistan mempertimbangkan. Indonesia menolak karena secara tradisional tidak pernah sedia ikut pakta militer, aliansi, atau koalisi militer.
Turki mendukung koalisi militer tersebut; Amerika Serikat pada masa Presiden Donald Trump menjanjikan bantuan logistik dan intelijen. Namun, ketika masuk Gedung Putih pada Januari 2021, Presiden Joe Biden mengimbau Arab Saudi dan koalisi militernya menghentikan perang di Yaman.

Pada awal geraknya menjelang akhir Maret 2015, koalisi militer membentuk pasukan tempur sekitar 150 ribu personel dan sekitar 100 pesawat jet tempur, dan beberapa kapal perang. Dengan kekuatan militer seperti itu, koalisi memprediksi dan menguasai Yaman dalam waktu singkat.
Koalisi militer menyebut perang yang mereka kobarkan sebagai 'Operasi Kilat Desisif'. Mereka melancarkan serangan udara bertubi-tubi yang diikuti serbuan darat, menyerang dan melakukan blokade, yang mengakibatkan Yaman terkepung, tidak bisa dimasuki pihak manapun, termasuk berbagai pihak yang bermaksud untuk memberi bantuan kemanusiaan.
Alhasil, sangat tidak mudah bagi koalisi militer pimpinan Saudi menaklukkan dua kekuatan lain di lapangan: Houthi khususnya, juga laskar Alqaidah dan kelompok ekstrem lain, seperti Jamaah Anshar al-Syariah dan kelompok lain yang berafiliasi dengan ISIS. Karena itu, perang Saudi dan kawan-kawannya di Yaman disebut banyak pengamat dan media massa internasional sebagai 'winless war', perang yang tiada pemenangnya. Atau juga 'unwinnable war', perang yang tidak bisa dimenangkan.
Inisiatif perdamaian belakangan mendapatkan momentum sejak Saudi dan Iran sepakat untuk membangun kembali hubungan dalam kesepakatan yang ditengahi oleh Cina. Sejak rekonsiliasi tercapai, Riyadh dan Teheran berkomitmen untuk bekerja sama guna mengakhiri konflik Yaman. Gencatan senjata permanen di Yaman akan menandai tonggak sejarah dalam menstabilkan Timur Tengah.
Terkait hubungan Saudi dan Iran tersebut, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) telah menerima surat dari Presiden Iran Ebrahim Raisi. Surat tersebut membahas tentang hubungan bilateral kedua negara dan cara-cara untuk membuatnya menjadi lebih baik.
Surat dari Ebrahim Raisi diterima Wakil Menteri Luar Negeri Arab Saudi Walid al-Khereji saat menghadiri resepsi yang digelar Duta Besar (Dubes) Iran untuk Arab Saudi Ali Reza Enayati. “Dalam resepsi tersebut, al-Khereji menyambut dubes Iran, mendoakan dia sukses dalam tugas kerja barunya,” kata SPA dalam laporannya, Kamis (14/9/2023).
nayati mulai melaksanakan tugasnya sebagai dubes Iran pada 5 September 2023 lalu. Sementara itu Duta Besar Arab Saudi untuk Iran Abdullah bin Saud Alanzi mengungkapkan, dia sangat mengapresiasi kesepakatan rekonsiliasi yang dicapai antara Riyadh dan Teheran pada Maret lalu. Dia berpendapat, setiap perjanjian antara kedua negara tersebut meningkatkan keamanan di kawasan.
“Setiap perjanjian antara Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran, sebagai dua negara bertetangga dan penting di kawasan, akan memperkuat perdamaian dan keamanan di kawasan dan berkontribusi pada kemakmuran kedua negara,” kata Alanzi saat diwawancara kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA), Rabu (13/9/2023).

Dia menjelaskan, hubungan baru antara Saudi dan Iran akan bersifat konstruktif, kuat, saling menghormati, serta berdasarkan kepentingan bersama. “Hubungan ini akan kuat di semua bidang komersial, ekonomi, dan investasi,” ucapnya.
IRNA sempat melaporkan bahwa Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran telah beroperasi sejak 6 Agustus 2023. Namun kala itu belum ada pejabat Saudi yang mengonfirmasi laporan IRNA. Pada 6 Juni 2023 lalu, Iran resmi membuka kembali kedutaan besarnya di Arab Saudi. Kantor misi diplomatik Iran di Saudi telah ditutup selama tujuh tahun menyusul perselisihan antara kedua negara. Untuk menandai peresmian, sebuah upacara digelar di area kompleks Kedutaan Besar (Kedubes) Iran di Riyadh. Puluhan pejabat dan diplomat berpartisipasi dalam acara tersebut, termasuk Wakil Menteri Luar Negeri Iran Alireza Begdali dan perwakilan Iran di Jeddah, Hassan Zarnagar.
Bersejarah, Menlu Iran Tiba di Saudi
Kunjungan Menlu Iran yang perdana setelah kesepakatan damai Iran-Saudi.
SELENGKAPNYA