Tentang Omnibus Law | Republika

Ekonomi

Omnibus Law Harus Mengatur PPh pajak digital.

Omnibus Law Perpajakan dapat dibawa sebagai salah satu konsensus G-20 ataupun level kerjasama regional seperti ASEAN.

 

JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap transaksi digital bukan pekerjaan mudah bagi Indonesia. Namun, menurut dia, Omnibus Law Perpajakan dapat menjadi pintu masuk untuk menarik pajak digital.

Bhima menjelaskan, dalam Pasal 17 hingga 20 Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan, pemerintah sudah menyinggung pajak transaksi elektronik. Hanya saja, pembahasannya memang masih sebatas pajak pertambahan nilai (PPN). "Setidaknya ini bisa jadi awalan untuk langkah berikutnya dalam memungut PPh pajak digital," katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (23/2).

Bahkan, Bhima menuturkan, gambaran besar dalam Omnibus Law Perpajakan dapat dibawa sebagai salah satu konsensus yang dibawa ke G-20 ataupun level kerjasama regional seperti ASEAN. Arahnya adalah penerapan pajak terhadap transaksi digital tidak lagi sekadar berbicara physical presence, melainkan significant economic presence.

Pergeseran konsep ini dapat menerapkan PPh pada perusahaan digital //over the top// (OTT) yang mendapatkan keuntungan di Indonesia , meskipun badan usaha mereka tidak di sini. "Misalnya saja Netflix. Bagaimana agar pajak mereka yang jumlah besar harus dibayarkan karena adanya aktivitas mereka di Indonesia," tutur Bhima.

Arah kebijakan Indonesia ini sebenarnya sudah sama dengan G-20. Saat ini, mereka tinggal mendetailkan beberapa poin, mulai dari teknis penarikan pajak hingga penetapan tarif, yang membutuhkan sebuah kerangka kerja besar.

Untuk besarannya, Bhima mengatakan, pemerintah dapat saja mengenakan tarif pajak dengan nominal yang sama seperti PPN, yakni 10 persen. "Mekanisme ini yang diskusinya bisa lebih panjang," katanya.

Isu pajak transaksi digital kembali dibahas dalam pertemuan G-20, akhir pekan lalu. Para pejabat negara menyerukan seluruh negara anggota G-20 mengurus optimalisasi pajak secara agresif raksasa-raksasa digital global, seperti Google, Amazon, dan Facebook.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari pada Sabtu (22/2) dan Ahad (32/2) tersebut, masalah perpajakan mendominasi agenda pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20. Menteri Keuangan Saudi Mohammed Al-Jadaan mengatakan, tahun ini akan menjadi ujian utama untuk isu transparansi pajak di seluruh dunia. Tidak terkecuali untuk transaksi digital yang selama beberapa tahun belakangan selalu menjadi pembahasan oleh G-20 ataupun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).

Al-Jadaan menyebutkan, pertemuan G-20 menjadi kesempatan untuk menilai pencapaian masing-masing negara di bidang transparansi pajak, sekaligus membahas rencana untuk mendorong kemajuan transparansi pajak pada kemudian hari. "Pertemuan juga menyediakan platform untuk membahas mengatasi tantangan pajak yang mungkin timbul dari digitalisasi ekonomi," ujarnya seperti dilansir //Arab News//, Sabtu (22/2).

Al-Jadaan menjelaskan, negara-negara G-20 dan OECD telah mencapai keberhasilan besar dalam mengatasi penghindaran pajak. Dalam pertemuan G-20, mereka juga bekerjasama menerapkan standar yang disepakati secara internasional tentang transparansi pajak.

Standar-standar tersebut menyeimbangkan kebutuhan untuk mengakses informasi untuk keperluan pajak. "Selain itu, guna melindungi kerahasiaan para pembayar pajak," kata Al-Jadaan.

Ia menambahkan, lebih dari 6.100 perjanjian pertukaran informasi bilateral telah ditandatangani. Kesepakatan ini untuk mendukung upaya otoritas pajak di seluruh dunia dalam mengumpulkan pendapatan pajak menggunakan mekanisme pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).

Setidaknya, informasi tentang 50 juta akun keuangan sudah dipertukarkan pada akhir 2019 dengan total nilai sekitar 5,54 triliun dolar AS. Dan, hampir 100,4 miliar dolar AS pendapatan pajak tambahan telah diidentifikasi berkat mekanisme kepatuhan dan investigasi secara sukarela.

Gubernur Otoritas Moneter Arab Saudi (Saudi Arabian Monetary Authority/SAMA) Ahmed Alkholifey mengatakan, ekonomi global kini menghadapi tantangan besar. Penyebabnya, ketidakpastian geopolitik dan keresahan sosial yang terjadi di beberapa negara.

Namun, Alkholifey mengatakan, masih ada kabar baik buat ekonomi global. Sektor keuangan, terutama sektor perbankan, terus menguat di negara maju maupun berkembang. Dia juga melihat adanya potensi peningkatan ekonomi Saudi di tahun ini. "Singkatnya, saya dapat katakan, pertumbuhan PDB di Arab Saudi diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada 2020," ucapnya.

Selain menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara G-20 dan negara tamu, pertemuan G-20 turut dihadiri para kepala organisasi internasional dan regional.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat