Saat Reconquista terjadi, banyak masjid di Andalusia yang diubah menjadi gereja begitu kedaulatan Islam hilang dari sana. Sebagai contoh, Masjid Aljama (Jami) Martulah di Mertola, Portugal. Kini, bangunan bersejarah itu merupakan Katedral Nossa Senhora da | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Budi Baik Turki Utsmani untuk Korban Reconquista

Bukan hanya umat Islam Andalusia, kaum Yahudi yang menjadi korban Reconquista pun ditolong oleh Turki Utsmaniyah.

Sebagai sebuah imperium besar, Turki Utsmaniyah berperan cukup dominan kepada dinamika geopolitik di sekitar Laut Tengah, setidaknya sejak abad ke-15 M. Tidak hanya bagian timur, tetapi juga barat kawasan perairan Mediterania.

Pengaruhnya pun sampai ke Semenanjung Iberia. Pada akhir abad ke-15 M, daerah yang biasa disebut Andalusia itu mulai lepas dari tangan Islam. Penyebabnya ialah gerakan 'penaklukan kembali' atau Reconquista, yakni ketika kerajaan-kerajaan Kristen bersatu untuk merebut jazirah di Eropa barat itu dari Muslimin.

Pada 1492, emirat Granada dapat ditaklukkan oleh pasukan aliansi raja Ferdinand II dan ratu Isabella. Itulah kerajaan Islam terakhir yang tegak berdiri di Andalusia.

Berita tentang keadaan genting kaum Muslimin di Andalusia sampai ke ibu kota Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Sultan Beyezid II (1481-1512) tidak tinggal diam. Penerus sultan Mehmed II al-Fatih itu berkomitmen menolong saudara-saudara seiman yang sedang dipersekusi dan diteror kaum Salibis. Reconquista memang bukan sekadar merebut wilayah, tetapi juga pemaksaan yang dilakukan orang-orang Katolik ekstrem atas penduduk Muslimin.

photo
Sultan Beyezid II. Kebijakannya menyelamatkan tidak hanya Muslimin, tetapi juga kaum Yahudi dari persekusi di Andalusia (Spanyol) yang sudah jatuh ke tangan ekstremis Salibis dalam peristiwa Reconquista. - (DOK WIKIPEDIA)

Yang luar biasa, Turki Utsmaniyah tidak hanya menolong umat Islam Andalusia dari serangan kaum pendukung Reconquista. Daulah tersebut juga secara terbuka menerima para pengungsi Yahudi yang hendak menyelamatkan diri dan agamanya dari kejaran ekstremis Katolik.

Dengan diberlakukannya Dekret Alhambra oleh Raja Ferdinand II dan Isabella, terjadilah persekusi massal terhadap umat Yahudi dan orang-orang Yahudi yang belum lama memeluk Katolik. Kelompok yang terakhir itu turut menjadi sasaran karena mereka dituding berpura-pura menjadi Katolik, yakni tetap setia pada kepercayaan Yahudi.

Mendapati berita tentang gelombang anti-Semitisme demikian, Sultan Beyezid II mengizinkan puluhan ribu pengungsi Yahudi dari Hispania untuk menetap di kota-kota kesultanan, termasuk Konstantinopel, Bursa, Damaskus, dan Kairo. Daerah-daerah di Semenanjung Balkan yang telah ditaklukkan Utsmaniyah juga dibukanya untuk kedatangan kelompok-kelompok imigran Yahudi Sefardim.

Malahan, mereka pun dipersilakan untuk tinggal di Yerusalem. Alhasil, populasi kaum Yahudi di Yerusalem meningkat pesat, yakni dari semula sekitar 70 keluarga pada 1488 menjadi 1.500 keluarga pada awal abad ke-16.

Di ibu kota Utsmaniyah, Konstantinopel, komunitas Yahudi mencapai 30 ribu orang. Pemerintah kota setempat juga membolehkan berdirinya 44 sinagog baru. Sementara itu, di Salonika—kini bagian dari Yunani—kehadiran gelombang pengungsi tersebut mengubah wajah demografis kaum Yahudi setempat. Sejak masa pemerintahan Beyezid II, jumlah orang-orang Yahudi Sefardim secara berangsur-angsur melampaui komunitas Yahudi Romania. Bahkan, budaya dan struktur sosial komunitas tersebut akhirnya melesap ke dalam tradisi Sefardim.

Dengan bertempat tinggal di wilayah Utsmaniyah, kelompok Yahudi Sefardim merasa seperti mendapati “Andalusia kedua.” Ketika Hispania masih dikuasai Muslimin, mereka menikmati kehidupan yang penuh toleransi. Pemerintahan Islam juga menerapkan meritokrasi sehingga tak sedikit pejabat negeri yang berasal dari umat Yahudi. Keadaan yang serupa juga dirasakan mereka di sana, bahkan beberapa dekade sebelum Reconquista pecah.

photo
Peta yang menggambarkan migrasi kaum Yahudi Sefardim seiring terjadinya Reconquista di Andalusia atau Spanyol. Mereka tersebar di wilayah Afrika Utara, Balkan, dan Anatolia. Ketiganya waktu itu termasuk wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. - (DOK WIKIPEDIA)

Pada 1453, Rabbi Isaac Tzarfati menulis surat kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi yang lari dari persekusi di Eropa Tengah itu memuji daerah tempat tinggalnya yang baru di Utsmaniyah. Dikatakan dalam suratnya, “Negeri ini (Utsmaniyah) dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Di sini (saya) menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat. Perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai.”

Sementara itu, Utsmaniyah pun menuai buah manis dari kebijakannya yang hangat terhadap para pengungsi Yahudi Sefardim. Sebagai imbalan atas kebaikan pemerintahan Islam, mereka beserta anak keturunannya terus berkiprah di berbagai bidang, termasuk militer, perdagangan, serta ilmu pengetahuan. Kejayaan kekhalifahan pun kian berkibar. Sebagai contoh, duo bersaudara Yahudi, David dan Samuel bin Nahmias, memasarkan mesin cetak pertama di Konstantinopel pada 1493. Mesin tersebut adalah teknologi mutakhir pada masa itu sehingga mempercepat produksi literatur dan dokumen, terutama naskah-naskah keagamaan dan birokrasi.

Bahu membahu

Renconquista yang menyasar kaum Muslimin dan Yahudi di Iberia mengindikasikan satu hal: kedua umat berlainan agama itu hidup dalam ko-eksistensi damai sebelum Salibis datang menyerang. Ya, dalam masa kejayaan Islam di Andalusia, keduanya dapat tinggal berdampingan. Masing-masing bahkan menumbuhkan peradaban yang gemilang.

Karena itu, wajarlah bila Muslimin dan Yahudi bahu-membahu mengatasi agresi Salibis di Andalusia. Bagi ratusan ribu Yahudi setempat, berakhirnya riwayat pemerintahan Islam di Iberia berarti pula lenyapnya kekuasaan yang toleran terhadap perbedaan keyakinan. Karena itu, kerajaan Katolik Spanyol pun waktu itu menjadi ancaman bagi kehidupan kaum, yang belakangan disebut sebagai Yahudi Sefardim (Sephardic Jews) tersebut.

Kata sefardim merujuk pada Sepharad, yakni sebuah daerah yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Meskipun lokasinya diperdebatkan, kaum Yahudi sejak abad ke-10 meyakininya sebagai Hispania, sebuah provinsi di barat Imperium Romawi. Dalam bahasa Ibrani modern, kata sefarad bermakna ‘Spanyol.’

Pada 31 Maret 1492, raja dan ratu Spanyol, Ferdinand II dan Isabella I, mengeluarkan Dekret Alhambra. Tujuannya untuk melarang praktik-praktik ibadah umat Yahudi di seluruh wilayah Hispania. Keputusan tersebut diklaim efektif untuk menjaga agar orang-orang Kristen tidak berpindah iman ke agama Yahudi.

Padahal, sasaran utamanya bukanlah kaum Katolik itu sendiri, melainkan orang-orang Yahudi yang telah berikrar menjadi pemeluk Kristen sejak penaklukan atas Granada pada Januari 1492. Rupanya, rezim Spanyol mencurigai mereka tidak sepenuh hati meninggalkan kepercayaan lama.

Pada Juli 1492, sekitar 200 ribu umat Yahudi Sefardim diusir secara paksa dari Spanyol oleh Raja Ferdinand II. Satu tahun berikutnya, Uskup Agung Hernando de Talavera mengeluarkan maklumat yang menyuruh seluruh penduduk Muslim setempat untuk memeluk agama Katolik. Jika tidak mau berpindah keyakinan, mereka pun akan diusir dari Spanyol.

photo
Lukisan yang menggambarkan penaklukan Granada oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Reconquista yang terjadi sejak saat itu memaksa ribuan Muslim untuk terusir dari tempat tinggalnya - (DOK WIKI)

Tindakan nirtoleran itu terus berlangsung secara membabi-buta. Pada 1502, Ratu Isabella I menyatakan bahwa seluruh umat non-Kristen yang masih ingin tinggal di wilayah kekuasaannya wajib beragama Katolik. Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Raja Charles V terhadap umat Islam yang masih bertahan di wilayah Kerajaan Aragon tahun 1526.

Mengapa Pemerintah Mesir Melarang Cadar?

Larangan cadar di Mesir jadi perdebatan antara sekularisme dan Islamisme.

SELENGKAPNYA

Mendekap Hidayah

Hidayah bukanlah monopoli orang Muslim.

SELENGKAPNYA

Teror Bernama Utang

Islam telah memperingatkan agar tidak terjerat dalam perilaku gemar berutang.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya