Produksi hulu migas berlangsung di Anjungan Central Plant dan Anjungan Bravo Flow Station Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, lepas pantai utara Subang, Laut Jawa, Jawa Barat, Senin (3/4/2023). | ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Ekonomi

Bisnis 'Jasa Gudang' CO2 Ditargetkan Mulai 2030

Penerapan CCS diyakini bisa menekan laju emisi dari sektor industri.

JAKARTA — Indonesia menargetkan implementasi teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penyimpanan karbon dioksida C02 di reservoir bawah tanah bekas lapangan minyak dan gas bumi (migas) akan dimulai pada 2030 mendatang. Sejauh ini, studi pengembangan CCS telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan migas. 

Ketua Pelaksana International & Indonesia CCS Forum 2023 Merry Marteighanti mengatakan, sejauh ini ada sejumlah studi yang mulai dilakukan dalam pengembangan CCS untuk bisa menekan laju emisi. Pada 2030 mendatang, ditargetkan total kapasitas penyimpanan C02 di CCS mencapai 7 metrik ton per annum (MTPA). 

“Lalu, seberapa besar CCS bisa berkontribusi pada emisi? Melalui CCS ini manfaatnya cukup besar dan signifikan dan akan sangat berperan dalam membantu dekarbonisasi,” kata Merry dalam konferensi pers IICCS Forum di Jakarta, Senin (11/9/2023). 

photo
Suasana malam di kilang minyak Balongan, Indramayu, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. - (ANTARA)

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menjelaskan, CCS yang dikembangkan nantinya bisa menerima CO2 dari perusahaan industri di luar negeri. Mereka sekaligus bisa membangun pabriknya di Indonesia, di lokasi yang dekat dengan fasilitas CCS. 

“Mereka yang mau memakai storage kita, bayar. Jadi, kita ke depan jualan gudanglah bisnisnya. Jualan gudang CO2,” kata Tutuka. 

Menurut Tutuka, bisnis CCS ke depan akan makin menarik. Terlebih dengan akan makin tingginya pajak karbon yang diterapkan oleh sejumlah negara. 

Opsi menyimpan emisi CO2 ke CCS menjadi solusi di masa depan untuk menghindari kewajiban pajak karena tersimpan di reservoir dan tak mencemari udara. 

“Contoh Singapura yang tidak punya lapangan migas, dia mau simpan CO2 ke mana? Apalagi tahun depan pajak karbon sudah 25 dolar AS per ton, tahun depannya jadi 45 dolar AS per ton. Jadi, kalau orang membuang CO2 kan mikir, mending saya simpan saja,” ujarnya. 

Namun, untuk mengimplementasikan kerja sama bisnis itu, negara-negara yang terlibat perlu membuat nota kesepahaman yang ditindaklanjuti secara bisnis oleh perusahaan-perusahaan terkait. Soal tarif penyimpanan CO2 di CCS, itu akan diatur lebih lanjut oleh perusahaan pemilik CCS.

Tutuka mengatakan, salah satu tantangan pengembangan CCS adalah persoalan teknis penyimpanan. Ia menuturkan, penyimpanan karbon dalam CCS umumnya akan dilakukan secara permanen. Lapisan bawah pada reservoir tersebut adalah air yang disebut akuifer. Masalahnya, ketika CO2 dan air bertemu, dua zat itu akan memunculkan sifat korosif yang seiring waktu dapat menyebabkan kebocoran CCS.

photo
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NTB, Jumat (27/8/2021). - (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.)

Karena itu, Tutuka menuturkan, tantangannya adalah untuk memastikan tidak ada kebocoran setelah CO2 diinjeksikan ke reservoir. "Karena CO2 berhubungan dengan air, itu jadi korosif lama-lama, bisa bocor nanti. Jadi, tantangan teknisnya terbesar itu, perlu menjamin bahwa setelah diinjeksikan tidak keluar lagi, bocor lagi," kata Tutuka.
 
Adapun tantangan lainnya yakni dari sisi keekonomian. Ia bilang, teknologi injeksi CO2 biasanya membutuhkan biaya yang lebih mahal. Oleh karena itu, pengembangan teknologi CCS ini perlu memikirkan langkah konkret untuk menekan biaya injeksi CO2 agar lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas CCS. “Bila diperlukan, pemerintah akan evaluasi untuk diberikan insentif," kata dia. 

Sejauh ini, ada sejumlah perusahaan migas di Indonesia yang mulai mengembangkan studi CCS, yakni PT Pertamina, ExxonMobil, serta BP. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina bahkan menggandeng Mitsui & Co, Ltd untuk mengkaji komersialisasi penerapan teknologi carbon capture, utilization and storage (CCUS) di wilayah Sumatra bagian tengah.

Upaya Mitigasi Polusi - (Republika)

ExxonMobil juga digandeng untuk mengkaji penerapan teknologi CCS dan CCUS di cekungan Sunda-Asri. Kemudian, di lepas pantai Kalimantan, Pertamina bekerja sama dengan Chevron mengembangkan hub CCS Cekungan Kutai.

"Ketiga inisiatif ini dirancang dan direncanakan untuk menjadi hub CCS besar dan mekanisme klaster yang memungkinkan untuk menyimpan CO2 secara signifikan untuk penghasil emisi domestik dan internasional," ujarnya.
 
Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto menambahkan, pemerintah juga harus meyakinkan bahwa CCS tidak mengalami kebocoran. Sebab, bila itu terjadi, sama saja akan menimbulkan limbah udara yang kembali merugikan masyarakat.

“Kalau itu terjadi bocor, sama saja kita membawa limbah masuk ke sini. Oleh karena itu, saya juga menyinggung mengenai social cost,” ujarnya. Dwi menjelaskan, biaya sosial itu perlu dipikirkan agar masyarakat juga dapat menerima keberadaan CCS. 

 

Ikuti Berita Republika Lainnya