
Fatwa
Shalat Diwariskan dari Agama Yudaisme dan Zoraster, Benarkah?
Gerakan shalat tidak memasukkan ritual pagan berupa gambar atau api.
Oleh IMAS DAMAYANTI
Ajaran mengenai konsep shalat dalam Islam merupakan perintah dari Allah SWT. Umat Islam wajib mempercayai dan menjalankan ini sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Meski demikian, ada tudingan dari orientalis jika konsep shalat merupakan warisan dari agama yang datang terlebih dahulu dari Islam. Apakah benar jika ada yang menyebutkan bahwa konsep shalat meniru ajaran Yudaisme dan Zoroastrianisme?
Dilansir di About Islam, Senin (11/9/2023), cendikiawan Islam di Institut Islam Toronto, Ontario, Kanada, Syekh Ahmad Kutty mengatakan, asal-usul shalat dalam Islam adalah ilham Ilahi yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun Nabi Muhammad SAW adalah seorang ummi (tidak bisa membaca dan menulis dan tidak pernah bersekolah atau belajar dari manusia mana pun).

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Ankabut ayat 48, “Wa maa kunta tatluu min qablihii min kitaabinw wa laa takhuttubhuu bi yamiinika izal lartaabal mubtiluun.”
Yang artinya, “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis) niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis) niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinyaQS AL-ANKABUT AYAT 48
Syekh Kutty mengatakan, mayoritas mualaf yang masuk Islam berasal dari kelompok Yudaisme, Kristen, dan Zoroastrianisme. Pemeluk ketiga agama tersebut diberi status ahli kitab; mereka bebas menjalankan agamanya. Sejarawan Barat yang mempelajari perpindahan agama ke Islam juga menyimpulkan bahwa perpindahan agama ke Islam terjadi secara bertahap dan damai.
Karena itu, Syekh Khutty menjelaskan, ketika melihat ritual sembayang agama-agama ahli kitab dan membandingkannya dengan shalatnya orang Islam, maka akan terlihat keunikan dan kekhasan dari sholatnya ajaran Islam. Pertama, gerakan shalat dalam Islam meliputi berdiri, rukuk dan sujud, serta duduk. Hal ini dinilai tidak memasukkan ritual pagan berupa gambar atau api.

Adapun azan dalam Islam juga memiliki keunikan tersendiri. Syekh Kutty menyebutkan, mereka yang mendengarkannya telah mengungkapkan keindahannya dan pengalaman spiritual yang sangat berdampak dan bahkan telah mendorong beberapa orang untuk memeluk Islam. “Memang benar bahwa Nabi Muhammad meniru hal ini dari orang-orang Yahudi dan Zoroaster, maka musuh-musuh Nabi yang ingin menggunakan celah apa pun untuk menyerang Islam pasti akan menggunakannya sebagai senjata yang sempurna,” kata dia.
Selain itu, kata Syekh Kutty, hal ini juga akan menghalangi para rabi Yahudi dan penganut agama-agama tersebut untuk memeluk Islam. Sebaliknya, ada beberapa di antara mereka di Madinah yang bergegas masuk Islam di Madinah. Beberapa bahkan sampai menghapuskan seluruh harta benda mereka untuk kepentingan Islam sebelum mati syahid.
Syekh Kutty pun menegaskan bahwa sangatlah tidak masuk akal dan menggelikan bagi siapa pun untuk membuat tuduhan bahwa Nabi Muhammad SAW meniru shalat dari Yudaisme dan Zoroastrianisme.
Jibril menuntunku shalat dua kali di dekat rumahHR AT-TIRMIDZI
Dia pun mengutip hadis yang berkaitan mengenai siapa yang mengajari Nabi Muhammad SAW cara shalat. Zaid ibn Harithah, salah satu orang yang paling awal masuk Islam (yang merupakan anak angkat Nabi sebelum Allah menghapuskan adopsi), menyatakan bahwa malaikat Jibril datang kepada Nabi pada awal fase pertama panggilan kenabian dan mengajari beliau caranya untuk berwudhu dan shalat (HR Ahmad).
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jibril menuntunku shalat dua kali di dekat rumah.” Beliau melanjutkan dengan menyebutkan bagaimana Jibril memimpinnya dalam dua hari berturut-turut memimpin masing-masing shalat lima waktu pada waktu yang telah ditentukan: hari pertama di awal dan hari berikutnya di akhir waktu (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lain-lain).
Makna shalat
Shalat menurut arti bahasa adalah doa atau doa meminta kebaikan. Hal itu telah disebut dalam firman Allah SWT QS at-Taubah (90): 103. “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS at-Taubah [9]: 103).
Maksud dari kata as-salah di sini ialah doa. Kata shalat merupakan bentuk isim yang menempati kolom masdar dari susunan kata salla-yusalli. Secara etimologi, kata shalat berarti 'doa'.
Shalat atau shalawat juga bermakna doa atau mendoakan. Dapat dibedakan jika shalawat itu dari dua sumber. Pertama, Allah SWT berarti rahmat atau memberi rahmat. Namun, jika shalawat itu dari malaikat atau dari manusia, berarti doa atau mendoakan agar diberikan rahmat oleh-Nya. Ketika menemui bahwa Allah dan malaikat bershalawat, berarti Allah tengah memberi rahmat dan malaikat mendoakan agar manusia memperoleh rahmat.

Seperti halnya shalawat untuk Nabi, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS al-Ahzab [33]: 56). “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS Ahzab [33]: 43).
Shalat juga bermakna doa karena penamaan ibadah yang satu ini (shalat) dinamakan dengan sesuatu yang mendominasi, yaitu bacaan-bacaan doa yang terlafal dalam shalat. Wahbah menjelaskan, secara istilah, shalat merupakan perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
Mendirikan shalat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, tilawah (bacaan), khusyuk, dan menghadapkan shalat dengan sesempurnanya. Sedangkan, Imam Qatadah menjelaskan bahwa mendirikan shalat berarti tetap dalam memelihara waktu-waktunya, wudhunya, rukuk, dan sujudnya.
Hasbi ash-Shiddiqy mengambil penjelasan dari kedua tarif di atas dengan mengumpulkan batasan-batasan shalat. Ia menjelaskan bahwa shalat merupakan perbuatan memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudhunya, dan melaksanakannya dengan sesempurnanya (sempurna berdiri, rukuk, iktidal, sujud, tasyahud, doa, dan sempurna khusyuk, kehadiran hati, takut, dan mencakup sempurna segala adabnya).
Saat Penuduh Zina tak Bisa Buktikan Kesaksiannya
Zina bisa menghancurkan sebuah rumah tangga
SELENGKAPNYAMasjid Fanar Qatar, Unik dan Elegan
Dijuluki pula sebagai Masjid Spiral, tempat ibadah di Qatar ini memiliki menara dengan bentuk nan unik.
SELENGKAPNYA