
Kisah Dalam Negeri
Makam Tua dan Sejarah Panjang Tionghoa di Lasem
Lasem mulanya didiami anak buah laksamana Cheng Ho.
Oleh BOWO PRIBADI, STEVY MARADONA
Bukan sebentar etnis Tionghoa yang merantau dari Cina mendiami Lasem di Rembang, Jawa Tengah. Penemuan makam kapitan Tionghoa periode akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 yang namanya tidak tercatat dalam catatan resmi Belanda belakangan menambah warna sejarah panjang tersebut.
Pada masa lalu, kolonial Belanda biasanya menempatkan kapitan atau petinggi untuk masyarakat Tionghoa di wilayah jajahan, termasuk Lasem. Makam salah seorang kapitan itu ditemukan oleh pegiat makam kuno Lasem bersama Yayasan Lasem Heritage (YLH).
Makam ini ditemukan di atas lahan tanah bengkok Desa Sumbergirang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Tepatnya di sebelah timur Pondok Pesantren (Ponpes) As Sholatiyah, Pandeyan, Sumbergirang.
Meskipun struktur makam kuno ini kondisinya telah banyak tertutup oleh semak- semak yang rimbun, di antara lahan persawahan, dan bongpai (nisan) dari makam ini sudah retak di beberapa bagian, namun masih bisa diidentifikasi.
Ihwal penemuan Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) berupa makam kapitan Tionghoa tertua ini diungkapkan, oleh Peneliti Budaya Tionghoa Lasem, Agni Malagina kepada Republika.

Menurutnya, struktur makam kuno ini ditemukan oleh salah satu pegiat makam kuno Lasem, El Mahdi, pada Sabtu (9/9/2023) kemarin. Saat itu ia tengah memandu seorang fotografer yang akan mengeksplorasi situs Gebang.
“Namun sebelum ke situs Gebang mereka menyempatkan diri untuk menelisik rerimbunan di kawasan persawahan Desa Sumbergirang,” ungkapnya, Senin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, kata Agni, bongpai dari struktur makam tersebut merupakan nisan seorang pejabat Tionghoa Lasem bergelar Kapitan dengan nama Li Heng Yi (Hokkian: Lie Heng Ie).
Dari tulisan bongpai tersebut terungkap, Kapitan Li Heng Yi berasal dari kampunya Jing Yi, julukan lama dari Nanjing, yang terletak di Zhangzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok. Nisan tersebut dibuat pada tahun pertama Pemerintahan Kaisar Daoguang yaitu tahun 1820/1821.
Istrinya bernama Su Rou Fan (Mandarin), bergelar bangsawan Taigongren yang biasanya merupakan gelar untuk ibu atau nenek dari pejabat tingkat keempat pada masa Kekaisaran Qing.

Masih dari dari penelitian bongpai tersebut, juga terungkap tiga nama anak (Mandarin: Qi/Ji Jin, Zhong Er dan Shu Lin) serta satu cucu (Mandarin: Run Ze).
“Sejauh yang saya tahu, ini adalah makam Kapitan tertua di Lasem yang pernah kami temukan bersama- sama para pegiat makam kuno Lasem,” ungkap Agni, yang dua tahun terakhir melakukan pendataan epigrafi Tionghoa di Lasem.
Hingga saat ini, ia bersama YLH telah menemukan setidaknya enam makam pejabat Tionghoa Lasem yang namanya terdaftar dalam Almanak van Nederlandsch Indie dan Regeerings Almanak, mulai 1815 hingga 1942.
Catatan tertua Almanak Belanda adalah Liem Kisiong, Kapitan dari Keluarga Rumah Lawang Ombo tahun 1837. Sejauh ini belum ada nama Kapitan Tionghoa Lasem yang lebih tua dari Liem Kisiong.
Penemuan Nisan Kapitan Lie ini, masih kata Agni, telah membuka fakta baru bahwa ada Kapitan lain yang diperkirakan menjabat mulai akhir abad 18 hingga awal abad 19, namun namanya tidak tercatat dalam catatan resmi Belanda.

Ia pun menduga, kemungkinan masih ada nama kapitan lainnya --yang secara literasi-- belum ditemukan sumbernya di Lasem selain dari sumber Almanak. “Catatan Tionghoa Lasem mayoritas telah hilang atau ‘dihilangkan’ dengan berbagai alasan, terutama pada tahun 1965,” jelas Agni.
Lebih lanjut Agni menambahkan bahwa perlindungan Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) sangat diperlukan. Struktur makam ODCB Kapitan Lasem tertua ini memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan.
“Alur pelestarian harus kita perhatikan dari pelindungan, pengembangan, pemanfaatan. Perlindungan struktur Cagar Budaya itu utama, jangan langsung melompat untuk pemanfaatan bidang pariwisata,” tegasnya.
Sementara El Mahdi menuturkan, penemuan ini berdasarkan ingatan masa kecilnya. Ia mengaku saat masih kecil, kalau pulang sekolah mandi di sungai lalu duduk- duduk di makam yang hanya berdiri sendirian tersebut. Karena masa kecilnya sekolah di Ponpes As Sholatiyah, Sumbergirang.
Terakhir melihat makam tersebut 40 tahun silam. “Ternyata struktur makamnya masih utuh dan tetap berada di tempatnya, walaupun bongpainya retak dan tertutup oleh semak belukar,” kata pria yang akrab disapa Kohlam ini.

Sementara itu, Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Rembang, Retna Dyah Radityawati mengapresiasi penemuan tersebut. Temuan baru ini semakin menambah khasanah sejarah panjang Lasem, terutama tokoh-tokohnya.
“Akan kami data dan inventarisir sebagai ODCB dan segera menindaklanjuti dengan laporan, supaya ada kajian dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah X,” ungkapnya.
Sejarah Tionghoa Lasem
Sejarah wilayah itu, sedianya memang lebih besar dari kecamatan yang sekarang jadi atribut Lasem. Nama Lasem sudah muncul dalam cerita soal imperium Majapahit sejak abad ke-14.
Dikutip dari Babad Badra Santi (ditulis abad ke-15 dan selalu jadi rujukan utama sejarah tertulis Lasem), pada 1351 Masehi, sudah ada Kerajaan Lasem, kepanjangan tangan dari Majapahit. Raja termasyur Majapahit, Hayam Wuruk, tampaknya menganggap wilayah pesisir ini sangat penting karena aktivitas perdagangannya yang luar biasa.
Pesisir Lasem terkenal sebagai salah satu pelabuhan tersibuk selain Cirebon, Gresik, dan Tuban. Armada kapal Cina dan Arab kerap singgah dan berdagang. Dari pesisir, lewat sungai yang membelah kota, barang dagangan dibawa ke pedalaman. Hayam Wuruk mengutus Bhre Lasem atau Ratu Dewi Indu jadi raja di sana.
Jejak Majapahit di Lasem bisa dilihat di wilayah Desa Kajar yang terletak di kaki gunung Kajar. Di tengah gunung, berdiri satu prasasti berbentuk lingga setinggi sekitar 50 cm. Di ujung lingga itu tertera tulisan berhuruf Palawa.

Di samping prasasti juga ada mata air yang ditampung dalam bak. Kabarnya, prasasti ini didirikan sesaat setelah Hayam Wuruk mengunjungi Lasem pada 1354.
Laksamana legendaris dari Tiongkok, Zhang He alias Cheng Ho juga sempat singgah di Lasem, kabarnya. Sekitar lima kilometer ke arah timur, ada desa bernama Binangun. Menurut Babad, desa ini diberi nama sesuai dengan salah satu nakhoda Cheng Ho, Bi Nang Un.
Ketika mendarat di pesisir Lasem sekitar abad ke-15, Bi Nang Un meminta izin tak ikut rombongan Cheng Ho keliling dunia dan menetap di Lasem. Cheng Ho mengizinkan, maka jadilah daerah itu disebut Binangun. Selain desa, di seberang desa ada pantai yang juga diberi nama Pantai Binangun.
Di pelosok, ke arah selatan dari pusat kota, juga ada bukit yang disebut warga sebagai Bukit Dampo Awang. Dampo Awang, seperti yang lazim di sejarah Semarang, adalah nama salah satu juru mudi andalan Cheng Ho bernama Wang Jing Hong. Ia sakit saat armada menyusur pantai utara Jawa. Cheng Ho menurunkan Wang di satu desa kecil yang sekarang berkembang menjadi Semarang.
Nasib Tionghoa
Datangnya Bi Nang Un jadi tonggak makin banyaknya orang dari Cina daratan bermigrasi ke Lasem. Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah Lasem (Fokmas) mengatakan, ledakan penduduk dari Cina itu berakibat ke pembangunan perumahan dan tempat ibadah.

Klenteng tertua di Lasem, Cu An Kiong, didirikan pada abad ke-15. Tapi, tidak cuma klenteng. Pedagang Arab pun ada di Lasem dan mereka juga mendirikan masjid-masjid, merujuk catatan Fokmas.
Percampuran antara warga Arab, Tionghoa, dan Jawa menjadi nenek moyang warga Lasem sekarang. Terutama yang mendirikan pesantren-pesantren. Lasem juga jadi saksi bahwa etnis Tionghoa membenci Belanda.
Pada abad ke-18, kota ini dipimpin oleh Tionghoa Muslim, Oei Ing Kiat, pengusaha kapal yang kaya raya. Karena monopoli perdagangan Belanda makin kencang, dan didukung oleh Kerajaan Mataram, rakyat Lasem kian tidak suka.
Pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada 1740 membuat ribuan orang mengungsi ke Lasem. Penduduk kota pesisir ini dalam waktu semalam melonjak dua kali lipat.

Setahun kemudian, Belanda yang sengaja mengadu domba warga Tionghoa dan pribumi juga memicu kerusuhan di Kartasura, Ngawi. Warga Tionghoa kembali mengungsi ke Lasem.
Kekuatan Tionghoa di Lasem membuat sentimen anti-Belanda memanas. Tiga tokoh Lasem yaitu Raden Panji Margana, Tan Kee Wie, dan Raden Ngabehi Widyaningrat alias Oei Ing Kiat, bahu membahu ingin mengusir Belanda dari Jawa. Usaha mereka jelas gagal. Ketiganya gugur sebagai saudara, dan untuk menghormati jasanya berdirilah Klenteng Bie Yong Go pada 1780.
Empat generasi Cina Lasem tetap hidup di wilayah itu. Tetap berdagang. Tetap menjadi orang-orang terkaya di Lasem. Salah satunya orang terkaya di Lasem, kabarnya, memiliki bisnis perusahaan kapal pesiar. Keturunan asli Tionghoa Lasem juga tak bisa lagi berbahasa dari tanah nenek moyang. Mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa dan tinggal di rumah-rumah yang tua.
Mengapa Arab Lekas Cocok dengan Cina?
Ada hal lain yang mempermudah Arab lekas cocok berhubungan dengan Cina.
SELENGKAPNYAHubungan Muslim RI-Cina (2-Habis)
Kolonialisme merusak hubungan warga Nusantara dan keturunan Tionghoa.
SELENGKAPNYAHubungan Muslim RI-Cina (1)
Kontak antara Dunia Islam dan Cina telah berjalan cukup intens.
SELENGKAPNYA