
Ekonomi
Mengenal CCS, Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Menekan Pencemaran Udara
CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2 dari kegiatan industri agar tidak mencemari udara.
JAKARTA — Pemerintah mulai memetakan pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penyimpanan emisi karbondioksida (CO2) yang potensial di Indonesia. CCS digadang-gadang akan menjadi jalan baru bagi pemerintah untuk menarik investasi, khususnya dari sektor industri.
Secara sederhana, CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2 dari kegiatan industri sehingga tidak mencemari udara. Direktur Eksekutif Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) Belladonna Troxylon Maulianda menjelaskan, CO2 tersebut diinjeksikan ke dalam reservoir di bawah tanah dengan kedalaman hingga 2 kilometer.
“Saat CO2 diinjeksikan, harapannya dia bisa terlarut di dalam air dan yang kedua akan berikatan secara kimia di batuan tanah dan tersimpan permanen,” kata Belladonna dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum di Jakarta, Senin (11/9/2023).
Belladonna menjelaskan, CO2 yang diinjeksikan ke dalam tanah itu juga bisa mengisi pori-pori batuan. Dengan begitu, CO2 yang telah masuk ke dalam reservoir dipastikan tetap tersimpan dengan aman. “Jadi, secara teknis ini sangat aman karena sudah dilakukan oleh Kanada, AS, dan Norwegia sejak tahun 1980,” ujarnya.

Ia menuturkan, keberadaan CCS kini mulai diperhitungkan oleh para pemain industri global yang mulai berfokus mengurangi emisinya. Menurut dia, banyak para investor yang telah melirik Indonesia bila memang CCS dapat diakses oleh mereka. Besarnya potensi CCS di Tanah Air membuat peluang besar untuk digunakan oleh perusahaan luar negeri.
Indonesia, lanjut Belladonna, menjadikan AS dan Kanada sebagai tolok ukur pengembangan CCS di Indonesia karena telah lebih dulu menerapkan teknologi itu. Adapun ihwal prospek bisnis dari sisi hulu penyedia CCS, kata dia, pendapatan bisa diperoleh melalui beberapa opsi, seperti dari biaya penyimpanan CO2, biaya injeksi, maupun carbon credit.
Di sisi hilir, perusahaan yang menggunakan CCS juga bisa mendapatkan nilai tambah dalam produknya. Ia mencontohkan, seperti PT Pupuk Indonesia (Persero) yang tengah mulai mengembangkan produk blue ammonia. Disebut blue ammonia karena gas CO2 dari hasil produksi amonia itu diinjeksikan ke fasilitas CCS sehingga proses produksi bebas emisi.
“Negara-negara maju itu mereka juga melacak rantai pasok, apakah produknya masih beremisi atau tidak,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah mengakui tengah menyiapkan regulasi melalui peraturan presiden (perpres) untuk mengatur fasilitas CCS. Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menuturkan, perpres untuk CCS tersebut diharapkan bisa terbit pada tahun ini sehingga pengembangan CCS dapat dipetakan.
“Salah satu opsi yang dibahas adalah (penyimpanan) cross border karena potensi penyimpanan karbon sangat besar untuk kebutuhan domestik dan bisa membuka diri untuk cross border (luar negeri),” kata Jodi.
Potensi kapasitas penyimpanan karbon di Indonesia melalui CCS bisa mencapai 400 gigaton melalui reservoir migas dan saline aquifer Indonesia. Dengan besarnya kapasitas itu, selain akan dimanfaatkan untuk industri-industri dalam negeri, pemerintah membuka diri agar reservoir itu bisa dibuka bagi industri dari luar negeri yang akan berinvestasi di Indonesia.
Jodi menilai hal itu akan menjadi daya tarik bagi para perusahaan multinasional yang telah berfokus untuk menekan laju emisi. Pihaknya juga menginginkan agar Indonesia dapat menjadi hub CCS di regional.
“Saya belum bisa sebut perusahaan, tapi ada perusahaan besar yang sudah melirik Indonesia untuk membuka (industri) petrokimia plastik di Indonesia ketika mereka ada akses CCS yang dekat. Mereka bisa buka industri petrokimia dengan tanpa emisi,” kata Jodi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menegaskan keinginan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan CCS demi mengejar target emisi bersih 2060. Ia pun membuka pintu lebar bagi para investor yang mau turut berinvestasi dalam pengembangan CCS.
Luhut mengatakan, Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan karbon melalui sumur-sumur tua atau reservoir di bawah tanah hingga 400 gigaton. Potensi itu, menurut dia, memberikan peluang investasi bisnis yang cukup signifikan.
“Pada awal 2023, Indonesia memusatkan visinya mengenai pengembangan CCS. Sektor CCS juga berkembang pesat, kami menawarkan investor untuk untuk menjadi yang terdepan dalam industri revolusioner ini yang menjanjikan keuntungan finansial jangka panjang,” kata Luhut.
Luhut menuturkan, investasi global untuk pengembangan CCS telah mencapai sekitar 6,4 miliar dolar AS. Adapun Asia memberikan kontribusi sebesar 1,2 miliar dolar AS.
“Indonesia seharusnya menjadi bagian utama dari investasi teknologi. Pengembangan CCS hub indonesia memiliki potensi yang sangat besar karena wilayah ini memiliki sumber daya yang diperlukan dari penyimpanan CO2 dan lokasi industri yang berdekatan,” ujarnya.
Ia mengingatkan negara-negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang terus berkembang dan memainkan peran penting dalam jejak karbon global. Nantinya, ketika kawasan ASEAN mengalami pertumbuhan industri dan kebutuhan energi yang signifikan, penanganan emisi menjadi akan prioritas.
“Penangkapan dan penyimpanan karbon merupakan teknologi menjanjikan yang telah diterapkan di negara-negara global,” katanya.