Syekh Ahmad Soorkati | dok al irsyad surabaya

Mujadid

Biografi Syekh Ahmad Soorkati

Syekh Ahmad Soorkati merupakan ulama kelahiran Sudan yang aktif dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Pendidikan merupakan kunci kebangkitan umat Islam. Di sepanjang sejarah, ada banyak tokoh Muslim yang mencurahkan seluruh hayatnya untuk kemajuan edukasi. Salah seorang di antaranya ialah Syekh Ahmad Soorkati (sering dieja: Ahmad Surkati).

Pemilik nama lengkap Ahmad Muhammad Soorkati al-Ansari ini cukup masyhur di Indonesia walaupun dirinya berasal dari luar negeri. Ia lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqo, Dongula, Sudan, pada 1875. Dalam bahasa lokal setempat, soorkati terdiri atas sur dan katti, yang masing-masing berarti ‘kitab’ dan ‘banyak’. Dengan demikian, namanya secara harfiah berarti ‘banyak memiliki kitab’.

Berdasarkan keterangan Herry Mohammad dalam bukunya, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, sejak kecil Ahmad Soorkati telah dididik dalam lingkungan islami. Ayahnya yang merupakan alumnus Universitas al-Azhar Mesir mendaftarkannya pada madrasah di Masjid al-Qaulid. Di kelas, konsentrasinya tercurah pada pelajaran membaca dan menghafalkan Alquran.

Suatu kali, Soorkati sempat absen sehingga tidak dapat mengikuti pelajaran. Ketika tiba waktu ujian, anak ini ternyata berhasil menghafalkan surah-surah Alquran dengan sempurna. Bahkan, pelafalannya melampaui kawan-kawannya yang hadir di kelas secara rutin. Sejak saat itu, ia menimbulkan kesan yang mendalam bagi para ustaz di sana.

Dari madrasah, Soorkati lalu menimba ilmu dari berbagai ulama di Sudan. Rihlah intelektual ini dilakukannya hingga mencapai usia 20 tahun. Pada 1896, ia menunaikan ibadah haji. Selain menuntaskan rukun Islam kelima, niatnya semakin mantap untuk menimba ilmu-ilmu agama selama di Tanah Suci.

Dari Makkah, Soorkati pindah ke Madinah. Di Kota Nabi, dirinya kian mendalami ilmu bahasa dan sastra Arab selama empat setengah tahun. Di antara para gurunya adalah Syekh Salih dan Syekh Umar Hamdan. Keduanya merupakan pakar ilmu hadis dari Maroko. Selain mereka, ada Syekh Muhammad al-Barzan, yang darinya Soorkati belajar tata bahasa Arab. Ilmu 'Ulumul Quran dipelajarinya dari Syekh Muhammad al-Khuyari.

Lima belas tahun lamanya dia menjalani kehidupan intelektual di Haramain. Begitu lulus dari Dar al-‘Ulum Makkah, Soorkati menjadi orang Sudan pertama yang meraih gelar al-Allamah. Pada 1909, ia menerima tawaran para gurunya untuk mengajar di kota kelahiran Nabi SAW itu.

 

 
Soorkati menjadi orang Sudan pertama yang meraih gelar al-Allamah.

 

Beberapa tahun kemudian, datang tawaran dari Hindia Belanda (Indonesia). Pada 1911, organisasi massa Islam, Jamiat Khair, mengundangnya datang ke Batavia (Jakarta) untuk menjadi guru. Soorkati pun menerima ajakan ini.

Begitu tiba, dirinya diamanatkan menjadi kepala salah satu sekolah yang dimiliki Jamiat Khair di Pekajon. Menurut Herry Mohammad, kehadiran Soorkati menjadi faktor penting di balik semakin naiknya prestise sekolah-sekolah yang dikelola organisasi tersebut.

Hadapi konflik

Ada satu pemahaman kultural di tengah komunitas Arab Indonesia kala itu. Yakni, mengenai pernikahan antara seorang keturunan Arab ‘Alawi dan orang lokal (pribumi). Pada 1913, Soorkati dalam perjalanannya ke Solo, Jawa Tengah, menjawab pertanyaan beberapa pihak mengenai tradisi tersebut.

Tokoh setempat, Sa’ad bin Sungkar bertanya kepadanya tentang hukum pernikahan antara gadis keturunan Arab ‘Alawi (syarifah) dan pria yang bukan dari ‘Alawi. Soorkati menjawabnya, “Menurut hukum syariat yang adil, hal itu dibolehkan.” Ini di kemudian hari dikenal sebagai Fatwa Solo—merujuk pada tempat tanya-jawab itu berlangsung.

Sementara, beberapa tokoh ‘Alawi beranggapan, syarifah tidak bisa menikah dengan pria “biasa”. Perempuan ini secara adat istiadatnya hanya boleh dinikahi seorang sayyid—keturunan Arab.

Perkara beda pendapat ini berujung pada kritik keras dari golongan ‘Alawi. Mereka merasa Soorkati terlalu jauh mencampuri urusan mereka. Bahkan, Fatwa Solo dianggap orang-orang ini sebagai sebuah pelecehan atas adat Arab ‘Alawi.

 

 
Soorkati bergeming karena menilai apa-apa yang telah disampaikannya telah sesuai Alquran dan hadis.

 

Mereka lalu mendesak pengurus Jamiat Khair agar ulama kelahiran Sudan itu mencabut fatwa tersebut. Akan tetapi, Soorkati bergeming karena menilai apa-apa yang telah disampaikannya telah sesuai Alquran dan hadis. Orang-orang boleh saja tidak setuju. Lagipula, ia tidak memaksakan fatwanya.

Kepulangannya dari Solo membuka babak baru. Soorkati mulai dikucilkan oleh sesama pengurus organisasi tersebut pada masa itu. Ia tidak lagi diajak dalam forum-forum rapat. Merasa tahu diri, pada 6 September 1914 Soorkati pun mengundurkan diri dari pengabdiannya di Jamiat Khair.

Kabar mundurnya Soorkati sampai ke sejumlah tokoh keturunan Arab non-‘Alawi di Batavia. Salah satunya adalah Umar Maggussy, seorang pemilik madrasah yang berlokasi di Jati Petamburan. Soorkati pun menerima tawarannya memimpin sekolah tersebut. Kelak, lembaga yang pertama kali dibuka pada 6 September 1914 ini berganti nama menjadi al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-‘Arabiyah. Sekitar satu tahun kemudian, al-Irsyad diakui secara hukum oleh pemerintah kolonial.

Dirikan sekolah

Begitulah selama beberapa tahun berikutnya madrasah al-Irsyad menjadi ladang pengabdian baru bagi sang ulama Sudan. Di luar lembaga ini, dia menjalani keseharian sebagai mubaligh yang dekat dengan masyarakat umum. Orang-orang mengagumi Syekh Soorkati lantaran keluasan cakrawala ilmunya.

Namun, beberapa yang hasad padanya masih menjadi bara dalam sekam. Beberapa tokoh memfitnah Soorkati dengan pelbagai cara. Menyadari situasi yang semakin panas, pada 1921 ulama kelahiran Sudan ini mengundurkan diri dari al-Irsyad.

Setelah itu, ia memutuskan untuk sementara bekerja di dunia perniagaan. Harapannya hartanya dapat bertambah dan bisa memberikan sokongan dana untuk madrasah-madrasah yang pernah dikelolanya.

Kakinya melangkah di dunia dagang. Namun, hati dan pikirannya masih terpaut pada mengajar. Ia telah menjiwai profesi sebagai guru, bukan pedagang.

Apalagi, Soorkati sering menemui kerugian dalam perniagaannya. Akhirnya, dengan berpasrah diri kepada Allah, ia merintis lembaga pendidikan baru, yakni di luar struktur al-Irsyad. Hal ini disokong pula oleh sejumlah kawannya yang bervisi sama. Di antara mereka adalah Syekh Umar bin Manggus, Said bin Salim Masy’abi, dan Abdullah bin Alwi Alatas.

Pada 1923, berdirilah Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Sekolah ini mengajarkan ilmu-ilmu agama, dengan kekhususan pada pedagogi. Di dalamnya, ada program-program intens bagi para pembelajar yang hendak menjadi guru. Perlahan namun pasti, lembaga yang dirintis Syekh Ahmad Soorkati kian maju.

Pada 1923, sang syekh menerbitkan Az-Zakirah sebagai media dakwah dan informasi untuk masyarakat Muslim. Melalui majalah bulanan itu pula, dia menyebarkan ilmu-ilmu agama dengan tulisan-tulisannya, terutama seputar akidah, ibadah, dan akhlak Islam.

Dalam posisinya sebagai pendidik di Batavia, Syekh Soorkati menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh Islam pada masa itu. Misalnya, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, pendiri Persatuan Islam (Persis); dan Ahmad Hassan dari Bandung.

Madrasah yang dikelolanya terbukti menjadi “kawah candradimuka” bagi generasi-generasi Muslimin Indonesia. Di sini, para murid diajarkan untuk berpikir kritis sehingga jauh dari kecenderungan taklid. Di antara para lulusannya adalah Muhammad Rasyidi, yang kelak menjadi menteri agama; Yunus Anis tokoh Muhammadiyah; serta Muhammad Habsyi Asshidiqy, guru besar IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga).

Syekh Soorkati juga dekat dengan kalangan aktivis nasionalis-Muslim. Di antara anak-anak muda yang memetik inspirasi darinya adalah Kasman Singodimedjo dan Mohammad Roem. Masing-masing di kemudian hari turut mengukir sejarah negeri ini, utamanya pada masa revolusi.

 
Syekh Soorkati juga dekat dengan kalangan aktivis nasionalis-Muslim.

Saat berusia lanjut, Syekh Soorkati mengalami kebutaan pada matanya. Bagaimanapun, kekurangan fisik ini tidak menjadi penghalang semangatnya untuk terus mengajar.

Pada 16 Ramadhan 1362 atau 16 September 1943, ulama besar ini menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya disemayamkan di Jakarta dengan penuh penghormatan dari para muridnya. Di antara mereka yang hadir dalam prosesi permakamannya adalah Sukarno, kelak menjadi presiden Indonesia yang pertama.

Al-Zubarah, Kota Mutiara Kebanggaan Qatar

Dahulu, al-Zubarah merupakan produsen mutiara terbaik di Qatar.

SELENGKAPNYA

Mengenal Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan merupakan seorang tokoh modernisme Islam dari India.

SELENGKAPNYA

Perubahan Iklim dan Meningkatnya Pernikahan Dini

Di seluruh dunia, diperkirakan satu dari lima anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya