Sayyid Ahmad Khan | dok wikipedia

Mujadid

Mengenal Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan merupakan seorang tokoh modernisme Islam dari India.

Modernisme berkembang di berbagai negeri Islam menjelang akhir abad ke-19 M. Di India, salah seorang penggerak modernisme Islam pada masa itu ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898).

Pemilik nama lengkap Ahmad bin Muhammad Muttaqi ini bergelar sayyid, menandakan nasabnya yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Dahulu, leluhurnya berasal dari Persia, tetapi kemudian hijrah ke Anak Benua India. Kakeknya dari pihak ibu, Khwaja Fariduddin, sempat menjadi seorang pejabat di lingkungan istana Kesultanan Mughal.

Awalnya, Muhammad Muttaqi menetap di Delhi. Tidak lama kemudian, mereka berpindah ke kediaman Khwaja Fariduddin. Kala itu, Ahmad Khan masih berusia anak-anak.

Dari percakapan dengan kakeknya, ia mulai mengenal problem-problem keterpurukan umat Islam saat itu. Kakek dan cucu itu juga kerap berbicara tentang keunggulan peradaban Barat. Ahmad Khan pun sejak kecil memperoleh kesan bahwa kaum Muslimin sudah semestinya bangkit, mengejar ketertinggalan dan ketepurukan.

Ahmad Khan mula-mula memperoleh pendidikan agama dari sahabat ayahnya yang juga seorang tokoh Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Ghulam Ali. Dari madrasah setempat, ia pun belajar pelbagai keilmuan umum, termasuk matematika, geometri, serta penguasaan bahasa Arab dan Persia.

Menjelang usia 18 tahun, ia terpaksa putus sekolah. Itu terjadi lantaran kakeknya, yang merupakan tulang punggung keluarga, meninggal dunia. Kesedihannya bertambah dengan kematian ayahandanya beberapa tahun kemudian.

photo
Peta cakupan wilayah kekuasaan Inggris di India. - (DOK WIKIPEDIA)

Untuk mendapatkan penghasilan, Ahmad Khan sempat bekerja di kongsi dagang Britania Raya di India, East India Company (EIC). Kariernya bermula sebagai seorang juru tulis. Kemampuannya lalu meningkat secara berangsur-angsur. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi wakil hakim di Fatihpur Sikri. Kinerjanya terus membaik, termasuk ketika dipindahkan ke Bignaur.

Secara total, hampir empat dekade lamanya Ahmad Khan bekerja pada EIC. Bagaimanapun, ia tidak hanya menghabiskan waktu dengan rutinitas kerja. Ia banyak membaca berbagai buku tentang sejarah dan pemikiran. Daya intelektualnya pun kian terasah.

Terbukti, dalam rentang masa itu ia menghasilkan beberapa buku tentang sejarah lokal. Di antaranya adalah Tarikh Sarkashi-e Dilca Bijnore (Sejarah Pemberontakan di Distrik Bijnor), Asbâb-e Baghâwat-e Hind (Sebab-sebab Pemberontakan India), dan Atbar al-Sanadid (1847).

Bergerak nyata

Ahmad Khan tidak hanya berkutat pada teori, melainkan juga praksis. Setidaknya sejak 1860-an, ia semakin mencurahkan perhatian pada gagasan modernisme Islam. Baginya, konsep ini cukup menjadi jawaban untuk keterpurukan Muslimin, khususnya di India.

Pada 1863, Ahmad Khan mendirikan Majelis Sains di Aligarh, Uttar Pradesh, India. Tujuannya memacu minat generasi muda Muslim terhadap ilmu pengetahuan Barat. Tiga tahun berikutnya, lembaga ini membuka biro penerbitan bernama Institut Aligarh.

Atas jasa-jasanya mempromosikan kemajuan, satu tahun kemudian dia diangkat menjadi anggota kehormatan Royal Asiatic Society, sebuah kelompok intelektual yang berbasis di London, Inggris. Lima tahun kemudian, dia diberangkatkan ke Negeri Albion untuk menyaksikan langsung bagaimana perkembangan masyarakat di sana. Pada 1870, ia kembali pulang ke India dengan membawa komitmen yang semakin kuat untuk memajukan umat Islam melalui cara-cara yang modern.

Pada awalnya, niat baik Sayyid Ahmad Khan tidak disambut hangat para ulama lokal. Mereka menudingnya sebagai antek Inggris. Tuduhan semacam ini sebenarnya tak mendasar. Ketika konflik Sepoy terjadi, misalnya, dia semata-mata bertindak atas nama kemanusiaan. Sebanyak 20 orang Inggris berhasil diselamatkannya di tengah situasi penuh risiko. Rumahnya habis dibakar, sedangkan dirinya sendiri menerima ancaman pembunuhan.

photo
Terbitan perdana koran Muhammadan Social Reformer tertanggal 24 Desember 1870. Inilah salah satu media tempat Sayyid Ahmad Khan menyalurkan pemikirannya ihwal modernisme Islam. - (dok wikipedia )

Setelah keadaan kembali tenang, dia menulis buku Asbâb-e Baghâwat-e Hind yang isinya mengkritik kebijakan Inggris sebagai penyebab meletusnya pemberontakan Sepoy. Bagi beberapa kalangan, kitab ini menjadi suatu bukti bahwa kedekatannya dengan Inggris tidak sampai pada taraf afinitas. Namun, kubu yang berseberangan menilai karyanya yang lain, Risâlah Khair Khawahân Musalmanân (Uraian tentang Umat Islam yang Loyal di India), menunjukkan keberpihakan sang sayyid pada kekuasaan Inggris di Anak Benua India.

Untuk menghadapi para penentangnya, Sayyid Ahmad Khan menerbitkan Tadzabul Akhlaq sebagai ruang berbagi gagasan. Dalam edisi bahasa Inggris, majalah tersebut berjudul Mohammedan Social Reformer. Beberapa tahun berikutnya, impian besar Sayyid Ahmad Khan terwujud. Pada 1875, dia mendirikan Madarsatul Uloom di Aligarh. Lembaga ini lantas berkembang menjadi kampus Muhammadan Anglo-Oriental (MAO) College. Sesuai dengan namanya, lembaga pendidikan tinggi ini berupaya memadukan sistem pendidikan modern dengan nilai-nilai Islam. Model kurikulumnya sebagian mengacu pada Oxford University dan Cambridge University.

Kemenag tak Bertanggung Jawab kepada Jamaah Umrah Mandiri

Undang-undang mengamanatkan mereka yang berangkat umrah harus melalui travel berizin.

SELENGKAPNYA

Desas-desus Ganjar-Ridwan Kamil

Muncul desas-desus bahwa Ganjar akan berpasangan dengan Ridwan Kamil.

SELENGKAPNYA

Berangkat Umrah Ala Backpacker

Umrah mandiri biasanya dimanfaatkan oleh generasi milenial yang lebih paham teknologi dan sudah sering bepergian ke luar negeri.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya