Menimbang muamalah di alam virtual reality melalui hadirnya metaverse. | Pixabay

Inovasi

Ancaman Pelecehan di Jagat Virtual Reality

Penjahat yang menggunakan avatar memberi mereka penyamaran dan anonimitas.

Teknologi virtual reality (VR) mulai masif digunakan oleh banyak orang, termasuk anak-anak. Seorang anak biasanya memanfaatkan alat tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang optimal terkait materi pembelajaran atau sekadar bermain gim. 

Akan tetapi, sebuah laporan terbaru mengungkap bahwa anak-anak berisiko mengalami pelecehan seksual dan dieksploitasi secara daring ketika tengah menggunakan VR. Para pelaku menggunakan dunia VR seperti metaverse, sebagai ruang rahasia untuk merawat korban mereka juga berbagi gambar tidak senonoh.

Laporan ini disampaikan oleh lembaga nirlaba anak-anak di Inggris, NSPCC. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Meta Quest 2, Sony PlayStation VR, dan HTC Vive sebagai beberapa headset yang tersedia untuk anak-anak di bawah umur tanpa batasan yang memadai.

Berjudul Child Safeguarding & Immersive Technologies, laporan baru ini dibuat oleh organisasi penelitian Bristol, Limina Immersive, yang ditugaskan oleh NSPCC. “Temuan yang mengejutkan ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua tentang bahaya yang dihadapi anak-anak muda ketika terlibat dengan teknologi imersif," kata Richard Collard, kepala kebijakan keselamatan anak daring di NSPCC.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by NSPCC (@nspcc_official)

“Teknologi akan terus berkembang, dan kita juga harus memastikan bahwa kita dapat memahami risiko yang ada dan risiko baru yang dihadapi anak muda di ruang virtual ini,” kata Collard seperti dilansir Daily Mail, Selasa (5/8/2023).

Untuk laporan ini, Limina Immersive melakukan wawancara dengan para ahli VR, meninjau studi VR yang sudah ada, dan mengunjungi platform virtual reality yang populer untuk mengamati lingkungan dan interaksi antarpengguna.

Para peneliti juga melihat materi pemasaran untuk setiap platform VR utama, termasuk materi promosi di toko aplikasi dan situs web perusahaan. Menurut temuan tersebut, ruang VR daring, tempat banyak pengguna dapat berinteraksi dengan mudah memberikan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap anak.

Pelaku tidak hanya dapat berkomunikasi secara tidak pantas dengan seorang anak secara verbal di dunia VR, tetapi platform VR memungkinkan pelaku mensimulasikan hubungan seks dengan anak-anak melalui model 3D virtual (dikenal sebagai avatar). Beberapa avatar anak-anak telah dibuat oleh para penjahat dan dimodelkan agar terlihat seperti anak yang mereka kenal dalam kehidupan nyata.

“Penjahat yang menggunakan avatar memberi mereka penyamaran dan anonimitas, yang tidak hanya membuat mereka lebih sulit diidentifikasi, tetapi juga menormalkan perilaku kasar mereka,” demikian kata laporan itu.

Yang mengganggu, perangkat “haptic”--yang memberikan sensasi sentuhan seperti getaran ketika pengguna memberikan tekanan dengan jari mereka--dapat menyimulasikan kontak seksual dalam VR. Paedofil juga menggunakan perilaku yang disebut 'phantom touch', yaitu korban pelecehan seksual VR mengalami sensasi fisik disentuh tanpa persetujuan mereka.

Phantom touch mengandalkan efek ilusi rubber hand, yakni otak membuat bagian tubuh tertentu menerima sensasi sentuhan atas apa yang dilihat mata. Sementara itu, dunia VR multi-pengguna mengundang terciptanya komunitas pedofil, yang memungkinkan mereka berbagi materi pelecehan seksual anak.

Karena itulah, peneliti memperingatkan agar orang tua lebih mewaspadai ancaman nyata pelecehan seksual pada anak melalui VR, serta mencoba mempelajari seluk-beluk VR. Pasalnya, tidak seperti layar komputer yang dapat dilihat oleh siapa saja yang masuk ke dalam ruangan.

Keberadaan headset VR menyulitkan orang tua dan pengasuh untuk melihat apa yang dilihat dan dialami anak-anak. Terlebih lagi, orang tua dan pengasuh yang tidak terlalu melek teknologi mungkin tidak mengerti bagaimana VR bekerja atau seperti apa bentuknya, atau bahkan tidak mengetahui tentang VR.

Menurut para peneliti dari laporan tersebut, para orang tua mungkin menganggapnya sebagai permainan atau kartun dan tidak menimbulkan ancaman bagi anak mereka. Namun, Kurangnya literasi dan pemahaman mendalam pada masyarakat umum ini, membuat para pedofil lebih leluasa untuk melakukan pelecehan, kemudian bebas dari banyak pengawasan dan pertanggungjawaban. 

 

 
Teknologi akan terus berkembang, dan kita juga harus memastikan dapat memahami risikonya. 
 
RICHARD COLLARD, Kepala kebijakan keselamatan anak daring di NSPCC.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat