KH Salahuddin Wahid | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Keindonesiaan dan Keislaman (Bagian II)

Piagam Jakarta dinilai tidak bersifat operasional.

Oleh KH SALAHUDDIN WAHID

Bung Karno berjanji bahwa dalam enam bulan akan dibentuk MPRS untuk memberi kesempatan membahas kembali masalah Piagam Jakarta. Sesuai janji Bung Karno, mereka memperjuangkan kembali cita-cita mereka di dalam Konstituante pada 1956-1959 di Bandung. Pada 11 November 1957 Rapat Pleno Majelis Konstituante membentuk Panitia Perumus Dasar Negara dengan anggota 18 orang. Ada tiga dasar negara yang diusulkan, yaitu Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi yang mengerucut pada Islam dan Pancasila.

Pemberontakan daerah dan situasi politik yang tidak stabil membuat pihak militer makin yakin bahwa sistem parlementer tidak cocok bagi Indonesia. Pimpinan militer mendesak penerapan kembali UUD 1945. Pada 22 April 1959 Bung Karno berpidato di depan Sidang Pleno Konstituante, isinya antara lain: "Berkenaan dengan anjuran kembali pada UUD 1945, saya sampaikan kepada Konstituante dengan resmi naskah UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh, empat aturan peralihan dan dua aturan tambahan" (notabene, tanpa penjelasan). Anjuran Presiden Sukarno itu ditolak Konstituante. Usul memasukkan semangat Piagam Jakarta ke Piagam Bandung gagal karena kelompok Islam menolak jika pencantuman "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" hanya merupakan rumusan formal, yang dikehendaki ialah rumusan operasional.

Konstituante sudah menyelesaikan lebih dari 90  persen kandungan UUD. Ada dua masalah yang tidak bisa dicapai dengan musyawarah dan harus diputuskan melalui pemungutan suara, yaitu dasar negara (Pancasila atau Islam) dan bentuk negara (kesatuan atau federal). Kurang lebih 80 persen anggota Konstituante memilih negara kesatuan. Berbeda halnya dengan pemungutan suara untuk dasar negara.

Dalam tiga kali pemungutan suara, sekitar 56 persen anggota Konstituante mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan sekitar 43 persen mendukung Islam sebagai dasar negara. Karena keputusan dalam pemungutan suara harus disetujui 2/3 jumlah suara, maka tidak ada keputusan dalam masalah dasar negara. Karena itu, Konstituante menghadapi semacam jalan buntu. Sebenarnya pimpinan Majelis Konstituante masih yakin bisa menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang ada. 

Sebenarnya pimpinan Majelis Konstituante masih yakin bisa menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang ada. 

Sejumlah besar warga melakukan demonstrasi  mendesak pemberlakuan kembali UUD 1945. Jenderal Nasution menemui KH Idham Chalid (ketua umum) dan KH Saifuddin Zuhri (sekjen) PB Partai NU untuk mencari dukungan. PBNU mendukung dengan permintaan supaya Piagam Jakarta betul-betul mendapat perhatian.

Maka, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain : 1) Pembubaran Konstituante; 2) Pemberlakuan kembali UUD 1945; 3) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat. Dalam pertimbangan Dekrit itu, dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Itu berarti bahwa menurut Dekrit Presiden, Piagam Jakarta tidak bersifat operasional.

 

Umat Islam menerima Pancasila

Pada awal Orde Baru hubungan NU dengan TNI di bawah pimpinan Pak Harto yang menguasai kehidupan politik Indonesia cukup baik. Tetapi, pada Pemilu 1971 Partai NU menjadi sasaran tembak pemerintah dan TNI. Hal itu karena NU masih berjuang untuk ideologi yang menginginkan Islam menjadi dasar negara. Dalam proses penyederhanaan partai, maka partai-partai Islam dipaksa bergabung ke dalam PPP pada awal 1973. NU sebagai kekuatan terbesar dibonsai melalui kekuatan di dalam PPP yang dikendalikan pemerintah.

Pada 1973 pemerintah mengajukan RUU Perkawinan. RUU itu ditolak ulama-ulama PPP di bawah pimpinan KH Bisri Syansuri, Rais Aam PBNU, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Pak Harto memahami keberatan para ulama itu dan menyetujui aspirasi umat Islam sehingga UU Perkawinan itu menjadi UU pertama yang menampung syariat Islam yang khusus untuk umat Islam. Walaupun Piagam Jakarta tidak bersifat operasional, ternyata ketentuan syariat Islam bisa dioperasionalkan melalui UU Perkawinan. 

Walaupun Piagam Jakarta tidak bersifat operasional, ternyata ketentuan syariat Islam bisa dioperasionalkan melalui UU Perkawinan. 

Fakta ini tentu menyadarkan tokoh-tokoh Islam bahwa tanpa negara berdasar Islam ketentuan syariat Islam bisa dijadikan ketentuan di dalam UU. Berdasar kesadaran tersebut, saat pemerintah bermaksud mengharuskan ormas dan orpol menggunakan Pancasila sebagai asas, maka PBNU membentuk tim yang dipimpin KH Achmad Shiddiq untuk membuat kajian tentang hubungan Pancasila dengan Islam. Maka, Munas Ulama NU pada 1983 menerima Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984, yang intinya menerima Pancasila sebagai dasar negara RI. Sikap NU itu diikuti PPP dan hampir semua ormas Islam kecuali HMI yang membentuk HMI MPO.

Dalam perjalanan sejarah ternyata pada 1989 UU Peradilan Agama disahkan menjadi UU dan pada 1991 terbit Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam.  Selanjutnya, perbankan syariah mendapat tempat di dalam UU Perbankan. Kesemua itu tidak terlepas dari peran Pak Harto, yang menunjukkan visi Pak Harto tentang perpaduan antara keindonesiaan dan keislaman.  Setelah itu disahkan UU Wakaf dan UU Zakat.


Pendidikan umum dan pendidikan Islam

Jadi, sejak awal kemerdekaan sudah ada dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan Islam yang berinduk ke Kementerian Agama dan pendidikan umum yang berinduk ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain dualisme itu, dulu juga terdapat dikotomi ilmu umum dan ilmu agama yang kini sudah jauh berkurang.

Pada 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Bahder Johan membuat nota kesepahaman yang mengatur bahwa di sekolah umum diberikan mata pelajaran agama dan Kementerian Agama mendirikan sekolah formal yang dikenal sebagai madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Prof BJ Habibie merintis berdirinya Madrasah Aliyah Insan Cendekia di Serpong dan Gorontalo yang bertujuan untuk menghapus dikotomi ilmu agama dan ilmu umum serta meningkatkan mutu madrasah aliyah.

Kementerian Agama punya rencana membangun madrasah seperti itu di setiap provinsi. Pesantren Tebuireng telah membuka Pesantren Sains di Jombok, Ngoro, Jombang, dengan tujuan yang sama. Di situ siswa setingkat SMA diberikan pelajaran sains yang berlandaskan ayat-ayat Alquran tentang alam semesta. Juga diberikan ilmu keislaman yang memadai serta pembentukan karakter supaya siap menghadapi persaingan global. 

Hubungan Islam dan Pancasila yang diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984, yang intinya menerima Pancasila sebagai dasar negara RI. 

Wahid Hasyim juga merintis berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang lalu berkembang menjadi IAIN dan lalu menjadi UIN. Masjid-masjid kampus menghasilkan pemuda-pemudi yang setelah keluar dari kampus menjadi tokoh di dalam lingkungan masing-masing. Banyak akademisi dari IAIN/UIN dan universitas lain yang berlatar belakang pesantren tumbuh menjadi tokoh yang  menonjol di dalam masyarakat dan menjadi penulis serta pembicara yang pendapatnya didengar masyarakat.

Disadur dari Harian Republika edisi 23 Agustus 2014. KH Salahuddin Wahid (1942-2020) adalah pengasuh Pesantren Tebuireng dan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama paling berpengaruh.

Istiqamah: Antara Pancasila dan Pengurai Benang

Pancasila juga berulang-ulang mengalami perkosaan pemaknaan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya