
Resonansi
219 Kali Kudeta di Afrika
Kudeta di Gabon merupakan yang ke-219 kali di seluruh Benua Afrika.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
Afrika kembali diguncang kudeta. Terbaru terjadi pada Rabu (30/8/2023) lalu ketika sekelompok perwira militer di Gabon mengambil alih kekuasaan, beberapa menit setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan kemenangan Presiden Ali Bongo untuk masa jabatan ketiga. Alasan kudeta, hasil pemilu telah dicurangi sehingga tidak memiliki kredibilitas.
Setelah mengambil alih kekuasaan, para pemimpin kudeta —12 perwira polisi dan militer — membatalkan seluruh hasil pemilu, membubarkan lembaga pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemilihan Umum. Pemimpin kudeta yang juga komandan pengawal presiden, Jenderal Brice Clotaire Oligui Nguema, dilantik sebagai presiden transisi.
Republik Gabon berada di Afrika Tengah, terletak di garis khatulistiwa. Ia berbatasan dengan Teluk Guinea di sebelah barat, Guinea Khatulistiwa di sebelah barat laut, Kamerun di utara, dan Republik Kongo di sebelah barat, timur, dan selatan. Luasnya sekitar 270 ribu kilometer persegi. Penduduknya hanya 2.340.613 jiwa (Sensus 2022).
Sejak merdeka dari Prancis tahun 1960 hingga kudeta Rabu lalu, Gabon baru dipimpin tiga presiden. Leon Mba memimpin Gabon sejak 1961. Namun, ia dikudeta oleh militer tiga tahun kemudian. Hanya karena intervensi militer Prancis, ia bisa kembali berkuasa hingga meninggal pada 1967.
Sejak merdeka dari Prancis tahun 1960 hingga kudeta Rabu lalu, Gabon baru dipimpin tiga presiden.
Leon Mba kemudian digantikan Omar Bongo yang berkuasa selama 41 tahun. Omar Bongo lalu membentuk dinasti politik ketika ia menunjuk putranya, Ali Bongo, sebagai penggantinya. Ali Bongo berkuasa 14 tahun hingga dikudeta oleh militer pada 30 Agustus lalu.
Kudeta di Gabon adalah yang terbaru dari serangkaian kudeta di Afrika. Pada 26 Juli lalu, militer Niger, Afrika Barat, juga telah mengudeta Presiden Muhammad Bazoum.
Di Afrika Barat dan Tengah, kudeta di Gabon merupakan yang kedelapan dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan, di seluruh Benua Afrika yang ke-219 kali sejak negara-negara di benua itu memperoleh kemerdekaan sekitar 1960-an.
Rinciannya, mengutip media Prancis Le Figaro, sebanyak 109 merupakan kudeta yang berhasil, dan 110 adalah upaya kudeta sebagai sebutan untuk kudeta gagal.
Hingga tahun 1980, penguasa di 43 negara dari 53 negara di Afrika — saat itu — adalah dari kalangan militer. Kini tinggal 20 penguasa yang berasal dari militer atau gerakan pemberontak bersenjata. Di Afrika sekarang ini ada 54 negara dengan penduduk sekitar 1,4 miliar jiwa.
Berbagai persoalan di Afrika saat ini, termasuk terjadinya rentetan kudeta, menurut mantan Menlu dan Perwakilan Tetap Libya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Abdul Rahman Shalqam, tidak bisa dilepaskan dari sebuah pertemuan besar di Berlin pada 1884. Pertemuan itu diikuti 13 negara Eropa dan dihadiri Amerika Serikat (AS). Mereka membagi Benua Afrika -- luasnya 10 kali lipat dari Benua Eropa -- ke dalam wilayah-wilayah jajahan.
Mereka membagi Benua Afrika -- luasnya 10 kali lipat dari Benua Eropa -- ke dalam wilayah-wilayah jajahan.
Inggris atau Britania Raya memperoleh jatah Mesir, Sudan, Uganda, Kenya, Jibuti, Sierra Leone, Ghana, Nigeria, Zambia, Zimbabwe, dan Botswana. Prancis menguasai Maroko, Aljazair, Mauritania, Mali, Senegal, Guinea, Pantai Gading, Burkina Faso, Benin, Niger, Chad, Republik Afrika Tengah, Gabon, Republik Kongo, dan Madagaskar.
Belgia mendapatkan Republik Demokratik Kongo. Jerman memperoleh jatah Togo, Kamerun, Burundi, Rwanda, Tanzania, dan Namibia. Italia menguasai Libya, Eritrea, dan Somalia. Portugal dapat Guinea Bissau, Angola, Malawi, dan Mozambik. Sahara Arab atau Arab Sahrawi jadi jatah Spanyol.
Sejak pertemuan di Berlin, penduduk Afrika pun memasuki dunia baru yang bukan dunianya: senjata api, misionaris atau zending, sekte, dan pola hidup. Juga kekerasan, penindasan, penjarahan, perampasan kekayaan, dan perbudakan manusia.
Selama puluhan tahun, penduduk di benua ini hidup tanpa pendidikan atau layanan sosial. Kaum penjajah menganggap masyarakat setempat hanya sebagai alat produksi, persis seperti mereka memperlakukan binatang.
Sejak pertemuan di Berlin, penduduk Afrika pun memasuki dunia baru yang bukan dunianya: senjata api, misionaris atau zending, sekte, dan pola hidup. Juga kekerasan, penindasan, penjarahan, perampasan kekayaan, dan perbudakan manusia.
Di tengah hiruk pikuk Revolusi Industri Eropa (1760-1850), para penjajah mengambil semua bijih besi dan kekayaan alam lain di pedalaman benua untuk pabrik mereka. Juga mengirim penduduk Afrika melintasi lautan untuk dipekerjakan di pertanian dan pabrik. Dan, ketika pecah Perang Dunia I dan II, warga jajahan Afrika dikirim buat berperang di barisan tentara penjajah.
Selama ratusan tahun bangsa-bangsa di Afrika seolah sudah ditakdirkan hidup sengsara di alam penjajahan. Mereka lalu bangkit dan berjuang demi memperoleh kemerdekaan. Namun, bukan hal mudah menyingkirkan kolonialisme yang sudah berlangsung lama.
Baru sekitar tahun 1960-an, sebagian besar negara-negara di Afrika mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, dampak dari era kolonialisme yang panjang sudah mendarah mendaging.
Pengaruh era kolonialisme sudah sangat dalam dan berakar kuat pada negara-negara yang baru lahir itu. Sebagai misal, perbatasan antara negara-negara Afrika yang membuat adalah kaum penjajah. Hal ini mengakibatkan satu suku terpecah antara dua atau lebih entitas politik. Satu suku terpisah di beberapa negara.
Begitu pun soal bahasa. Negara-negara baru di Afrika tetap menggunakan bahasa penjajahnya. Bahasa daerah mereka tidak dikembangkan menjadi bahasa nasional -- bahasa pendidikan, pekerjaan, dan institusi negara. Penyebabnya, antara lain, karena kaum penjajah seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan Portugal memberlakukan bahasa mereka di sekolah-sekolah di daerah jajahannya.
Negara-negara baru di Afrika tetap menggunakan bahasa penjajahnya. Bahasa daerah mereka tidak dikembangkan menjadi bahasa nasional -- bahasa pendidikan, pekerjaan, dan institusi negara.
Bahasa-bahasa Eropa yang dipelajari para elite di sekolah — dan sebagian melanjutkan studinya ke negara-negara penjajah — tidak sampai ke mayoritas rakyat, yang tetap menggunakan bahasa aslinya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, terjadi kesenjangan antarmasyarakat di satu negara.
Kalangan elite yang kemudian mengambil alih kekuasaan atau jabatan publik lainnya setelah kemerdekaan, tidak berbaur atau terlibat aktif di kalangan masyarakat kebanyakan, apalagi di kalangan rakyat jelata. Ibu kota negara serasa jauh dari kelompok-kelompok besar masyarakat yang hidup di perdesaan, pegunungan, gurun, dan hutan.
Di Afrika, suku tetap menjadi entitas sosial yang menyatukan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, para kepala suku, syekh kabilah, dan ulama atau tokoh agama yang justru mempunyai keputusan akhir dalam urusan kehidupan. Mereka adalah panutan dan penuntun. Sedangkan para penguasa negara hidup dalam kemegahan istana, yang jauh dari kehidupan masyarakat.
Status kewarganegaraan, yang merupakan fondasi dasar dari entitas negara, juga tidak diciptakan. Pun peran serta masyarakat sipil, termasuk di dalamnya serikat pekerja dan lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan, kurang diberdayakan.
Para kepala suku, syekh kabilah, dan ulama atau tokoh agama yang justru mempunyai keputusan akhir dalam urusan kehidupan. Mereka adalah panutan dan penuntun. Sedangkan para penguasa negara hidup dalam kemegahan istana, yang jauh dari kehidupan masyarakat.
Faktor lain yang menyebabkan banyak negara Afrika tetap miskin, terbelakang, instabilitas, dan tetap bergantung pada bekas penjajah, adalah ketidakmampuan para pemimpinnya mengidentifikasi jati diri atau identitas ekonomi negara. Jati diri ekonomi yang didasarkan pada sumber daya alam, terutama terkait dengan bahan baku, seperti tambang, hutan, sungai, hujan, dan seterusnya.
Identifikasi ini diperlukan guna merencanakan pembangunan negara, apakah negara pertanian, peternakan, industri, jasa, atau campuran dari semuanya.
Akibat dari semua itu, sebagian besar negara-negara Afrika tidak mempunyai fasilitas pengolahan hasil tambang (smelter), tidak punya pabrik pengolahan kayu dan produk pertanian. Pun mereka tidak memiliki kebijakan bagi investasi asing atau partisipasi dengan perusahaan asing guna mencapai lokalisasi industri setempat bagi produk yang akan diekspor. Mereka selama ini lebih senang instan, mengekspor langsung bahan mentah, yang tentu saja minim nilai tambah.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, para penguasa di Afrika disibukkan dengan konsolidasi kekuasaan, membangun lembaga-lembaga negara, membangun istana, dan yang tidak kalah penting ‘membagi kue kemerdekaan’.
Mereka tidak berpikir tentang pembangunan ekonomi berkelanjutan. Misalnya, mempersiapkan generasi baru yang berpendidikan dan berketerampilan sesuai dengan jati diri ekonomi negara yang akan dikembangkan. Yang terjadi justru ekonomi, terkait dengan sumber daya alam, tetap diserahkan ‘dikuasai’ oleh asing, bahkan hingga kini.
Kondisi seperti itulah yang tampaknya membuat banyak negara-negara di Benua Afrika terperosok ke dalam labirin kudeta militer. Para perwira militer, yang senior maupun yunior, berebut mengambil alih takhta kekuasaan karena kecewa dengan rezim penguasa.
Sedihnya, seperti dendam pada penguasa pendahulunya, mereka pun bersaing mengeruk kekayaan negara. Juga berlomba mengekspor segala hal ke negara Barat.
Di sinilah kemudian negara-negara Barat ikut bermain mengendalikan kekuasaan di banyak negara-negara Afrika. Ini juga yang menyuburkan kudeta.
Bimaristan, Prototipe Rumah Sakit Modern Warisan Peradaban Islam
Dunia Islam abad pertengahan mempunyai sistem perawatan orang sakit yang luas dan sebanding dengan rumah sakit modern
SELENGKAPNYASosok dan Perjuangan Pak Syaf
Syafruddin Prawiranegara adalah seorang pahlawan nasional yang berperan penting pada masa revolusi.
SELENGKAPNYA