Pendukung Presiden Prancis Emmanuel Macron menonton layar di depan Menara Eiffel saat proyeksi pemilu pertama diumumkan di Paris, Prancis, Minggu, 24 April 2022. Badan-badan pemungutan suara Prancis memproyeksikan petahana berhaluan tengah Emmanuel Macron | AP/Christophe Ena

Internasional

'Di Prancis, Muslim tak Punya Hak Apa Pun'

Sekitar 70 persen tindakan Islamofobia dan ujaran kebencian ditujukan kepada perempuan.

Setelah sempat rusuh karena larangan jilbab, kini Prancis kembali menyerang para Muslimah. Prancis berencana akan melarang anak-anak perempuan mengenakan abaya atau gaun dengan model longgar dan panjang, untuk dikenakan Muslimah di sekolah.

Imbauan itu dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Prancis. Larangan menggunakan simbol agama sudah diberlakukan sejak dulu. Memang menjadi Muslim yang hidup di Prancis penuh banyak rintangan. Mereka kerap dilecehkan, didiskriminasi hanya karena menggunakan hijab. 

Inilah yang dirasakan oleh Nadia, mahasiswi kedokteran di Marseille. Pada 2017 ketika dia menjalani pemeriksaan rutin sebelum mulai rotasi di rumah sakit, perawat yang memeriksanya cemberut. Saat mencatat berat badan Nadia, dia mengurangi dua kilogram dari hasil timbangan karena "Pakaian yang berat". Nadia melihat pakaiannya, kala itu ia menggunakan rok dan blazer. Namun, dia paham apa yang perawat maksud. 

photo
Wanita berjilbab memegang poster bertuliskan Hentikan Islamofobia ketika masyarakat dan anggota asosiasi anti-rasisme berkumpul untuk memprotes Islamofobia di Place de la Nation di Paris, Prancis, 27 Oktober 2019. Perdebatan tentang ibu-ibu yang mengenakan jilbab saat jalan-jalan di sekolah telah memicu perdebatan di seluruh dunia. Prancis sejak partai oposisi sayap kanan mengeluarkan undang-undang yang melarang ibu siswa mengenakan tanda keagamaan selama kegiatan sekolah.  - (EPA-EFE/CHRISTOPHE PETIT TESSON)

Pashmina yang dililitkan rumit di kepalanya, seakan menjadi sumber penghinaan. Ini merupakan sebagian kecil dari pelecehan yang Nadia terima setiap hari. Perawat menunjuk pada kain kerudungnya, bahasa Prancis yang berarti kerudung atau syal dan berkata “Biarkan rambutmu bernapas, rambutmu akan rontok karena memakainya terus-menerus." 

Saat dia pergi, Nadia nyaris tidak bisa menahan keinginan untuk menangis. Nadia menjelaskan setiap hari, di mana pun, menjadi perempuan Muslim di Prancis akan terus dihakimi. 

Anak-anak juga tidak bisa membahas keyakinan mereka karena takut disebut teroris. Sementara ketika pergi ke toko kelontong, setiap orang akan menatap dan merasa terganggu.

"Kami merasa sangat tidak aman, hal ini menyesakkan. Kami tidak diperlakukan sebagai warga negara Prancis sejati yang bekerja di sini, membayar pajak, dan merawat orang sakit, tapi sebagai hewan yang tidak memiliki hak apa pun," kata Nadia, dikutip dari Vice, Senin (28/8/2023).

photo
Komunitas Niqab Squad melakukan aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (10/9). Aksi Niqab Squad tersebut untuk dalam rangka mengumpulkan donasi untuk Rohingya dan mensosialisasikan penggunaan cadar oleh kaum muslim yang tidak identik dengan cap teroris. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww/17. - (ANTARA FOTO)

Prancis merupakan rumah bagi komunitas Muslim terbesar di dunia Barat dengan jumlah penduduk lebih dari empat juta orang, yang diperkirakan berjumlah delapan persen dari total populasi negara tersebut. Sepertiga dari tim pemenang Piala Dunia 2018 Prancis, adalah Muslim. 

Yang menyedihkan adalah 44,6 persen masyarakat Prancis memandang Islam sebagai ancaman terhadap identitas nasional. Negara yang sangat sekuler ini telah lama berperang melawan warga Muslimnya, terutama perempuan berjilbab.

Perkembangan Islamofobia Prancis terus berkembang dengan adanya regulasi-regulasi yang menargetkan Muslim. Pada 2011, Prancis menjadi negara pertama yang melarang perempuan mengenakan niqab atau cadar di luar rumah.

Sebelumnya, undang-undang Prancis melarang simbol-simbol keagamaan di sekolah-sekolah, termasuk jilbab, salib berukuran besar, dan kippah. Menurut Collective Against Islamophobia in France, sebuah kelompok nirlaba yang berupaya memerangi diskriminasi terhadap Muslim Prancis dan dibubarkan secara paksa pada bulan Desember tahun lalu, 70 persen tindakan Islamofobia dan ujaran kebencian ditujukan kepada perempuan. 

Lamya, seorang mahasiswa bisnis berusia 23 tahun di Champigny-sur-Marne, pinggiran Kota Paris, mengenal banyak perempuan yang berhenti mengenakan jilbab karena takut dikucilkan atau menjadi pengangguran. Bagi mereka yang tetap berhijab, alternatifnya adalah keluar dari universitas sepenuhnya.

“Bukan rahasia lagi bahwa berhijab di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak menerima perempuan berhijab. Umat Islam kehilangan pekerjaan karena shalat di tempat kerja,” kata Lamya.

Prancis dan Islam - (Republika)

  ​

 
Saat pertama dia magang, manajer yang mempekerjakannya memberi tahu bahwa dirinya terkena penyakit. "Saat magang pertama saya, manajer memberi tahu direktur umum bahwa saya mengidap penyakit yang membuat rambut saya rontok. Sehingga saya bisa mengenakan jilbab tanpa mendapat komentar apa pun di tempat kerja," ucapnya. 

Ketua Organisasi Feminis dan Anti-rasis Interseksional Lallab yang berbasis di Paris, Fatima Benti, mengatakan perempuan Muslim selalu ditampilkan oleh media, film, atau politisi sebagai perempuan tertindas tanpa kebebasan berkehendak. Konsep ini lanjut dia merupakan sudut pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasis, seksis, dan Islamofobia.

"Argumen larangan hijab tidak ada hubungannya dengan pembebasan bantuan terhadap perempuan Muslim. Ini merupakan kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi terhadap agama minoritas, mendorong rasisme," ujarnya. 

 

 
Bukan rahasia lagi bahwa berhijab di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan.
 
LAMYA, Mahasiswa di Champigny-sur-Marne, pinggiran kota Paris. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Prancis Larang Murid Pakai Abaya

Larangan terbaru dinilai menunjukkan kebijakan obsesif terhadap Muslim.

SELENGKAPNYA

Kolumnis Prancis 'Serang' Jilbab Nouhaila Benzina

Komentar menyedihkan Guibert telah menodai semangat persatuan global yang diwujudkan Piala Dunia.

SELENGKAPNYA