Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

Nilai Tukar, Suku Bunga Riil, dan FFR

Pemerintah dan BI tetap fokus pada pengendalian inflasi.

Oleh SUNARSIP

Akhir pekan lalu (24 Agustus 2023), Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuannya (BI7DRR) di level 5,75 persen, level yang sama sejak Januari 2023. Dengan demikian, level ini adalah yang tertinggi sejak kenaikan BI7DRR secara beruntun yang dimulai pada Agustus 2022.

Pada Juli 2022, BI7DRR berada di level 3,50 persen dan naik menjadi 3,75 persen pada Agustus 2022. Selanjutnya, BI7DRR naik 25 basis poin setiap bulannya hingga terakhir Januari 2023 menjadi 5,75 persen. Bila ditarik ke belakang, level BI7DRR saat ini adalah yang tertinggi sejak Agustus 2019.

Pembahasan mengenai “bertahannya” suku bunga acuan BI ini menarik karena pada saat yang sama, suku bunga acuan di berbagai negara justru meningkat. Suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed Fund Rate (FFR), misalnya, masih mengalami kenaikan hingga Juli 2023.

 
Pembahasan mengenai “bertahannya” suku bunga acuan BI ini menarik karena pada saat yang sama, suku bunga acuan di berbagai negara justru meningkat.
 
 

FFR telah mengalami kenaikan secara beruntun sejak Februari 2022, yaitu dari 0,125 persen menjadi 5,50 persen pada Juli 2023. Suku bunga acuan bank sentral Eropa juga masih melanjutkan kenaikannya, yaitu dari 0,00 persen pada Juni 2022 menjadi 4,25 persen pada Juli 2023. Beberapa negara berkembang (emerging market) juga menaikkan suku bunga acuannya selama tahun 2023.

Langkah BI yang mempertahankan level suku bunga acuannya ini kemudian memunculkan persepsi bahwa BI berani “melawan” arus atau tren yang terjadi di tingkat global. Bahkan, tidak sedikit yang menilai langkah BI tersebut berpotensi meningkatkan risiko terhadap nilai tukar rupiah.

Nilai tukar rupiah berpotensi melemah disebabkan para investor akan meninggalkan pasar keuangan Indonesia atau melakukan capital outflow. Mereka keluar dari Indonesia karena suku bunga atau imbal hasil (yield) instrumen keuangan yang diperdagangkan di pasar keuangan kita dinilai “rendah”. Namun demikian, sejauh ini kekhawatiran tersebut tampaknya tidak terjadi, atau setidaknya belum terjadi.

Perkembangan selama tahun 2023 memperlihatkan bahwa pasar keuangan kita masih dalam tren positif, meskipun dalam sebulan terakhir ini terjadi capital outflow. Berdasarkan publikasi BI, sampai dengan 24 Agustus 2023, investor asing melakukan transaksi beli neto (net buy) sebesar Rp 85,83 triliun di pasar surat berharga negara (SBN) meskipun di pasar saham terjadi transaksi jual neto (net sell) sebesar Rp 0,63 triliun.

Nilai tukar rupiah, meskipun dalam sebulan terakhir melemah, kalau dibandingkan posisi pada akhir tahun 2022, posisinya masih menguat. Per 25 Agustus lalu, nilai tukar berada di level Rp 15.297 per dolar AS menguat dibanding posisi pada akhir 2022 yang berada di level Rp 15.592 per dolar AS.

 
Kinerja yang terjadi di pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah ini memunculkan ekspektasi tinggi terhadap kondisi makroekonomi Indonesia terutama pada aspek fundamentalnya. Bahwa ekonomi Indonesia kuat dan persisten terhadap dinamika yang terjadi di eksternal atau global.
 
 

Kinerja yang terjadi di pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah tersebut kemudian memunculkan ekspektasi tinggi terhadap kondisi makroekonomi Indonesia terutama pada aspek fundamentalnya. Bahwa ekonomi Indonesia kuat dan persisten terhadap dinamika yang terjadi di eksternal atau global.

Penulis berpendapat bahwa pandangan ini tidak keliru, tapi juga tidak sepenuhnya tepat. Fundamental kita memang cukup baik, ditunjukkan oleh relatif tingginya pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan yang surplus selama 40 bulan berturut-turut.

Namun, penulis melihat bahwa capital inflow dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil selama 2023 ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor suku bunga atau imbal hasil riil yang relatif tinggi. Dan semua itu berujung pada kemampuan kita dalam menjaga laju inflasi.

Bagaimana penjelasannya?

BI memang tidak menaikkan suku bunga acuannya selama tahun 2023. Namun, pemerintah dan BI mampu menekan inflasi ke level yang cukup rendah, sebesar 3,08 persen (year on year atau yoy) pada Juli 2023. Ini berarti bahwa level inflasi kita sudah semakin mendekati level sasaran sebesar 3 persen.

Dengan inflasi sebesar 3,08 persen tersebut maka suku bunga acuan riilnya menjadi 2,67 persen. Sebagai penjelasan, suku bunga riil adalah suku bunga nominal (yaitu sebesar 5,75 persen) dikurangi tingkat inflasi tahunan (yaitu sebesar 3,08 persen).

Angka suku bunga acuan riil tersebut relatif tinggi bila dibandingkan dengan suku bunga acuan riil di negara-negara lainnya. Bahkan di beberapa negara, suku bunga riilnya justru masih negatif.

Sebagai contoh, meskipun bank sentral Eropa masih melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya, tapi inflasi di Eropa juga masih tinggi. Pada Juli lalu, suku bunga acuan bank sentral Eropa sebesar 4,25 persen, sementara inflasinya 5,3 persen. Sehingga, suku bunga acuan riilnya masih negatif sebesar -1,05 persen.

Mungkin muncul pertanyaan: kalau memang suku bunga riil kita telah berada di level positif yang relatif tinggi, lalu mengapa dalam sebulan terakhir nilai tukar rupiah mengalami pelemahan?

 
Kalau memang suku bunga riil kita telah berada di level positif yang relatif tinggi, lalu mengapa dalam sebulan terakhir nilai tukar rupiah mengalami pelemahan?
 
 

Pertanyaan ini sebenarnya juga dapat dijawab dengan tetap menggunakan pendekatan suku bunga riil. Bahwa saat ini suku bunga riil Indonesia sudah memiliki banyak “pesaing” akibat kemampuan negara lain dalam mengendalikan laju inflasi mereka.

Sebagai misal, AS mampu mengendalikan inflasinya dari 9,06 persen (yoy) pada Juni 2022 menjadi tinggal 3,2 persen pada Juli 2023. Saat ini FFR riilnya positif sebesar 2,3 persen. Untuk ukuran negara maju sekelas AS, angka FFR riil ini tinggi sekali.

Hal yang sama juga terjadi di sejumlah emerging market lainnya yang menjadi pesaing Indonesia dalam menarik dana-dana portofolio dari negara-negara maju.

Berdasarkan perhitungan penulis, suku bunga acuan riil di Cina, Brasil, Meksiko, dan Rusia saat ini masih lebih tinggi dibanding suku bunga acuan riil Indonesia. Tak mengherankan bila nilai tukar mata uang mereka relatif “lebih perkasa” dibanding nilai tukar rupiah.

Meskipun demikian, penulis memiliki keyakinan bahwa suku bunga riil kita masih menarik dalam beberapa bulan ke depan.

Mengapa? Jawabannya adalah inflasi diperkirakan masih dalam tren menurun. Tren penurunan inflasi ini terutama disumbangkan oleh inflasi harga-harga energi dan tarif transportasi. Dengan tren penurunan inflasi tersebut, suku bunga riil kita akan meningkat, yang tentunya akan menjadi daya tarik bagi masuknya dana-dana portofolio ke Indonesia.

Terlebih, bila kondisi tersebut diimbangi dengan banyaknya emiten yang menerbitkan instrumen surat berharga baru di pasar keuangan (terutama pasar modal), yang dapat menjadi transmisi bagi masuknya dana-dana asing.

Lantas, seberapa besarkah optimisme kita terhadap prospek penguatan nilai tukar rupiah? Jawabannya, tentu besar.

 
Optimisme keberlanjutan penguatan nilai tukar rupiah dapat berpotensi terganggu bila pada 20 September nanti, the Fed kembali menaikkan level FFR. Sejumlah kalangan memprediksikan, FFR masih berpotensi naik pada September nanti.
 
 

Hanya saja, optimisme keberlanjutan penguatan nilai tukar rupiah tersebut dapat berpotensi terganggu bila pada 20 September nanti, the Fed kembali menaikkan level FFR. Sejumlah kalangan memprediksikan, FFR masih berpotensi naik pada September nanti.

Prediksi tersebut menyebutkan FRR akan naik 25 basis poin ke level 5,75 persen. Bila ini terjadi, maka level FFR tersebut akan menyamai level suku bunga acuan kita saat ini dan ini akan menjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Namun demikian, sejauh ini probabilitas kenaikan FFR masih relatif kecil. Hasil survei CME Group (per 25 Agustus 2023) menyebutkan bahwa sebesar 80 persen responden (yang merupakan para trader) memperkirakan FFR akan bertahan di level 5,25 – 5,50 persen, sama dengan level yang ditetapkan pada Juli lalu.

Jerome Powell, gubernur the Fed, memang masih membuka peluang kenaikan FFR pada September nanti. Namun, Powell juga berharap level FFR dapat dipertahankan. Kuncinya adalah inflasi AS. Bila inflasi dapat kembali turun mendekati level sasaran (2 persen), FFR berpotensi tetap bertahan pada level saat ini.

Lalu, bagaimana kita menyikapi perkembangan tersebut? Kuncinya, masih sama seperti yang penulis sampaikan pada analisis sebelumnya (Senin, 7 Agustus 2023) yang berjudul “Anomali: Amerika Downgrade, Rupiah Melemah?”.

Pemerintah dan BI tetap fokus pada pengendalian inflasi. Inflasi akan menjadi game changer, apakah level suku bunga acuan BI dapat bertahan atau tidak hingga akhir tahun ini.

BI juga harus terus berada di pasar, dan bila diperlukan melakukan operasi pasar. Dalam rangka ini, BI perlu memperkuat cadangan devisa dengan memperluas basis sumber cadangan devisanya.

Terakhir, yaitu dengan memperkuat koordinasi fiskal-moneter, terutama untuk meningkatkan efektivitas pasar keuangan sebagai transmisi bagi masuknya dana-dana portofolio ke Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Holding BUMN Tambang Siap Pasok Kebutuhan Baterai EV Global

Indonesia akan memproduksi baterai dengan total kapasitas 45 GWH

SELENGKAPNYA

BNPB: Kekeringan di Sejumlah Pulau Jawa Berbahaya

Bantuan air bersih terus didistribusikan pihak-pihak terkait.

SELENGKAPNYA

Hunian ASN di IKN Mulai Dibangun Bulan Depan

Sebanyak 12 tower ditargetkan bisa dihuni pada Juli 2024.

SELENGKAPNYA