Letnan Kolonel Soeharto dalam operasi pemberantasan PKI pada 1965. | Istimewa

Teraju

Sidang Soeharto dan Kuku Sukarno

Jenderal AH Nasution meyakinkan Bung Karno bahwa calon tunggal presiden hanya Soeharto.

Oleh SELAMAT GINTING

 

Mengenakan pakaian dinas upacara (PDU) IV atau sejenis pakaian safari lengan pendek khas Angkatan Darat warna hijau, Letnan Jenderal Soeharto berdiri di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS). Jenderal Abdul Haris Nasution mengenakan pakaian serupa dengan Soeharto, memimpin pengambilan sumpah dalam agama Islam. "Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban pejabat Presiden Republik Indonesia…"

Begitulah suasana yang terjadi 50 tahun lalu. Tepatnya pada Kamis, 12 Maret 1967 di Istana Olahraga, Senayan Jakarta. Lima pimpinan MPRS yang diketuai Jenderal AH Nasution (ABRI) dengan empat wakil ketua; Osa Maliki (PNI), M Subchan ZE (NU), Mohammad Siregar (utusan masyarakat olahraga), dan Brigjen Mashudi (utusan daerah/gubernur Jawa Barat). Mereka menjadi saksi sekaligus menandatangani berita acara pelantikan jenderal bintang tiga, Soeharto sebagai pejabat Presiden RI.

Itulah puncak dari rangkaian acara Sidang Istimewa MPRS yang berlangsung pada 7-12 Maret 1967. Sebelumnya, pada Kamis, 23 Februari 1967, Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS Nomor IX tahun 1967.

Dua pekan setelah penyerahan kekuasaan tersebut, MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta, 7-12 Maret 1967. Dalam sidang tersebut, MPRS dengan ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/ 1967 memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno.

Selain itu, MPRS juga menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara. Melalui ketetapan ini pula, MPRS mengangkat pengemban ketetapan MPRS Nomor IX tahun 1966, Letnan Jenderal Soeharto, sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu. Seusai pengambilan sumpah sebagai pejabat presiden tersebut, Soeharto menyandang pangkat jenderal penuh, bintang empat. Sama dengan pangkat Ketua MPRS, Jenderal AH Nasution.

Dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, secara legal formal telah berakhir kekuasaan Orde Sukarno yang kemudian digantikan dengan Orde Soeharto. Rezim Soeharto menyebut dirinya Orde Baru dan menjuluki era Sukarno sebagai Orde Lama. Dengan adanya transisi peralihan kekuasaan tersebut, Presiden Soeharto secara resmi mulai menjalankan pemerintahannya. Inilah titik awal Orde Baru model Presiden Jenderal Soeharto.

Jawa dan Toleran

Menurut penuturan wartawan senior Radio Republik Indonesia (RRI) Sudjarwo pada 2013 di buku Untold Stories Soeharto, Ketua MPRS Jenderal AH Nasution yang mencalonkan Soeharto sebagai calon tunggal pengganti Presiden Sukarno, dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, secara rasional suku Jawa adalah mayoritas dan sejak awal perjuangan tokoh-tokoh nasional yang muncul mayoritas dari suku Jawa. Kedua, secara kultural masyarakat suku Jawa akomodatif dan toleran. Ketiga, prestasi militer dan kepemimpinan Soeharto sudah terbukti.

Kesimpulan akhir Jenderal Nasution, menurut Sudjarwo, yang telah meliput di istana sejak 1954 hingga 1966 itu, untuk jangka yang cukup lama Indonesia masih harus dipimpin oleh seseorang yang berasal dari Jawa. Pada saat itu, Jenderal Soeharto dinilai sebagai 'orang Jawa' yang sering ditafsirkan menganut filosofi Jawa dan memenuhi persyaratan menjadi presiden RI.

"Ketokohan Pak Harto pada tahun-tahun itu sangat menonjol, demikian pula prestasi militer sebelumnya. Masyarakat dan mahasiswa utamanya, mendesak agar segera dilakukan pergantian pimpinan nasional," kata Sudjarwo.

Jenderal AH Nasution selaku ketua MPRS dan pemrakarsa pencalonan Soeharto segera menemui Bung Karno. "Selain itu, kenyataan bahwa kekuatan arus bawah mendukung tampilnya Soeharto menjadi pemimpin nasional. Maka sudah sepatutnya, bila Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai presiden."

Ketika Jenderal Nasution menyampaikan hal ini kepada Bung Karno, beliau dalam bahasa Belanda memberikan komentarnya. "Silakan saja, saya mempunyai jalan sendiri," kata Bung Karno.

Sujarwo masih ingat, menjelang pengusulan Jenderal Soeharto sebagai calon presiden RI, dalam sidang-sidang MPRS yang diadakan di Gedung Istora Senayan, ia berhadapan dengan seluruh elemen masyarakat yang terwakili di DPR Gotong-Royong serta MPRS. "Mereka menanyakan kesiapan Pak Harto untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia," kata Sudjarwo.

Hal itu kemudian dijawab Pak Harto dengan kerendahan hati. "Saya ini kan cuma tentara. Kalau perang saya bisa, tapi untuk jadi presiden, saya ini hanya sekuku hitamnya Bung Karno," kata Pejabat Presiden Soeharto.

Ketika Pak Harto mengucapkan jawaban tersebut, banyak yang menilai suatu ekspresi sifat Pak Harto yang selalu 'low profile'. Namun, tekad memilih Pak Harto sebagai pengganti Bung Karno, tidak surut. "Pada saat itu, tidak ada tokoh lain yang dianggap mampu memimpin Bangsa Indonesia. Apalagi, situasi dan kondisi negara baru saja mengalami gejolak G-30-S/PKI," kata Sudjarwo.

Saat itu, pimpinan Angkatan Laut, Angkatan Udara, serta Kepolisian Negara bersama-sama Angkatan Darat turut mendukung Jenderal Soeharto menjadi presiden RI menggantikan kepemimpinan Sukarno.

Jenderal Soeharto dilantik menjadi presiden kedua RI pada 27 Maret 1968. Proses penetapan Soeharto dari pejabat presiden menjadi presiden, memakan waktu sekitar enam bulan. Namun, legitimasi konstitusional sebagai presiden, idealnya memang melalui pemilihan umum. Perlu waktu tiga tahun bagi Presiden Soeharto untuk menggelar Pemilihan Umum 1971.

Disadur dari Harian Republika Edisi Selasa, 14 Maret 2017.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Patung Soekarno Dinilai Berpotensi Jadi Berhala

Patung Soekarno setinggi 100 meter akan dibangun di area perkebunan Walini, Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat.

SELENGKAPNYA

Sukarno dan Patung-Patungnya

Sukarno sang pecinta patung, kini banyak didirikan patungnya.

SELENGKAPNYA

G30S dan Kandasnya Ambisi Bom Nuklir Sukarno

Indonesia sempat mengejar kemampuan membuat bom atom pada 1960-an.

SELENGKAPNYA