Roket Long March-5 yang membawa misi bulan Change 5 lepas landas di Pusat Peluncuran Luar Angkasa Wenchang di Hainan, Selasa, 24 November 2020. | AP Photo/Mark Schiefelbein

Internasional

Berlomba-lomba mencari Air di Bulan

Pendaratan ke kutub selatan jadi ambisi terkini kekuatan antariksa dunia.

Oleh AMRI AMRULLAH

Bulan kini kembali jadi destinasi sejumlah kekuatan-kekuatan antariksa di Bumi. Negara-negara kembali berpacu satu sama lain untuk mencapai satelit alami bumi tersebut dalam lomba antariksa terkini.

Pesawat ruang angkasa Rusia dan India yang belum diawaki diperkirakan akan mendarat di area kutub selatan bulan pada pekan depan. Sementara Cina dan AS dalam misi yang sama, yang mana AS berusaha mendaratkan astronot di wilayah itu pada 2025. 

Artinya, perlombaan antariksa antaranegara yang memiliki kemampuan jelajah luar angkasa kini kembali dimulai. Bedanya dengan pada era Perang Dingin, saat ini lebih banyak negara baru yang bersaing. 

Sekitar enam dekade setelah Uni Soviet dan Amerika Serikat saling berlomba untuk mencapai bulan, sebuah kompetisi baru muncul. Kali ini, fokusnya adalah kutub selatan bulan, lokasi yang diyakini para ilmuwan menunjukkan jejak-jejak es dan sumber air di bulan. 

Rusia pekan lalu meluncurkan pesawat ruang angkasa pendaratan bulan pertamanya, dalam 47 tahun terakhir. Pesawat antariksa ini diperkirakan akan mendarat di sana dalam beberapa hari mendatang. Sementara India tidak mau ketinggalan, dengan target pendaratan pada 23 Agustus 2023. 

Peluncuran pesawat Luna-25 ke Bulan adalah yang pertama dilakukan Rusia sejak 1976, ketika menjadi bagian dari Uni Soviet. Negara itu pada masa lalu sempat jadi adidaya dalam penjelajahan antariksa dan terlibat dalam Lomba Antariksa alias Space race dengan Amerika Serikat.

Dalam perlombaan itu, Soviet pada 4 Oktober 1957 sempat unggul dengan mengorbitkan satelit buatan manusia untuk pertama kalinya menggunakan roket paling canggih saat itu. Satelit bernama Sputnik-1 itu berhasil mengorbit dan mengirimkan sinyal radio selama tiga pekan. Sebulan kemudian, Sputnik-2 diluncurkan membawa anjing bernama Laika yang akhirnya tewas seturut hawa panas yang menembus satelit tersebut.

Pada 1959, Soviet kembali unggul setelah berhasil mengirimkan pesawat tanpa awak Luna-3 ke Bulan. Pesawat itu adalah yang pertama berhasil mengirimkan foto sisi gelap Bulan ke Bumi. Pada 1961, Soviet menggandakan keunggulan dengan mengirimkan manusia pertama ke orbit bumi yang berhasil kembali dengan selamat. Nama pria itu, Yuri Gagarin. Pada 1966-1967, Soviet kembali unggul melalui proyek Venera. Proyek itu berhasil mengirimkan sejumlah pesawat tanpa awak ke permukaan dan atmosfer planet Venus.

Namun, pada Juli 1969, Amerika Serikat meluncur cepat dan melayangkan pukulan telak dengan keberhasilan mengirimkan tiga manusia ke Bulan. Dua di antaranya, Neil Armstrong dan Edwin Aldrin, berhasil mendarat di permukaan Bulan. Sejak itu, Soviet sukar lagi mengungguli AS. Proyek luar angkasa Soviet akhirnya kandas seiring bubarnya negara itu pada 1991.

Sementara itu, AS sedang berusaha untuk menjadi negara pertama yang mendaratkan seorang astronot di sana, dengan misi berawak dengan kode Artemis yang direncanakan pada tahun 2025. Cina juga merencanakan misi ke daerah tersebut, dengan atau tanpa astronot, sebelum akhir dekade ini.

Area ini didambakan karena airnya dapat digunakan untuk bahan bakar roket. Hal ini juga dapat membantu membangun pangkalan permanen di bulan dan berfungsi sebagai landasan peluncuran ke planet Mars dan pangkalan peluncuran jelajah angkasa yang lebih jauh.

Administrator NASA, Bill Nelson, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa area tersebut jauh lebih berbahaya daripada lokasi pendaratan pertama di bulan pada 1969. "Ini tidak seperti apa yang Anda lihat saat Neil [Armstrong] dan Buzz [Aldrin] mendarat, yang terus menerus disinari matahari, dengan beberapa kawah di sana-sini," kata Nelson dilansir NBC.

"Kutub selatan bulan dipenuhi dengan kawah-kawah yang dalam. Dan karena sudut datangnya matahari, sebagian besar kawah-kawah itu berada dalam kegelapan total sepanjang waktu, sehingga mengurangi jumlah area yang dapat Anda gunakan untuk mendarat dan memanfaatkannya," katanya. 

"Jika memang kita menemukan air yang berlimpah di sana, itu bisa dimanfaatkan untuk kru dan pesawat ruang angkasa di masa depan," tambah Nelson. 

NASA sedang mempersiapkan diri untuk kembali ke permukaan bulan dengan misi Artemis II tahun depan, ketika para astronot akan mengorbit bulan menjelang rencana pendaratan pada 2025. 

Nelson mengatakan bahwa ia berharap Rusia dapat menjalankan misinya dengan baik, dan mencatat bahwa kedua negara memiliki sejarah kerja sama yang panjang dalam hal perjalanan luar angkasa. 

photo
Berlomba Lagi ke Bulan - (Republika)

Ada potensi sisi gelap dari perlombaan ke bulan jika AS bukan negara pertama yang mendaratkan astronot di area yang diinginkan. Nelson mengatakan bahwa ia memiliki kekhawatiran bahwa Cina dapat mencoba mengklaim wilayah tersebut jika mereka tiba di sana terlebih dahulu. 

"Saya tidak ingin Cina sampai ke kutub selatan terlebih dahulu dengan seorang manusia dan kemudian berkata, 'Ini milik kami, jangan masuk,'" kata Nelson, seraya menambahkan bahwa AS adalah bagian dari perjanjian multinasional untuk berbagi sumber daya di luar angkasa. Sementara Cina, menurutnya tidak. 

"Saya pikir perlombaan antariksa benar-benar antara kita dan Cina, dan kita perlu melindungi kepentingan komunitas internasional," kata Nelson.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Misi Rusia, Luna-25, Sampai di Orbit Bulan

Misi Rusia bisa jadi yang pertama mencapai kutub selatan bulan.

SELENGKAPNYA

Rusia Kembali Ikuti Lomba Antariksa

Roket Rusia Soyuz-2.1b telah berhasil meluncur membawa pendarat bulan Luna 25.

SELENGKAPNYA

Misi ke Bulan India Siap Bertolak

India mencoba menyusul AS, Soviet, dan Cina ke bulan.

SELENGKAPNYA