
Teraju
Pengasingan Pemimpin Republik
Mereka akan diterbangkan ke suatu daerah yang belum diketahui.
Oleh SELAMAT GINTING
Tiga hari setelah Operasi Gagak, pada 22 Desember 1948, pukul 07.00, Kolonel DRA van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat menuju Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta. Mereka akan diterbangkan ke suatu daerah yang belum diketahui.
Selama dalam perjalanan menggunakan pesawat pengebom B-25 milik Angkatan Udara Kerajaan Belanda, tidak satu pun yang tahu arah tujuan pesawat. Sang pilot baru mengetahui tujuan penerbangan setelah membuka surat perintah di dalam pesawat. Namun, pilot dilarang memberitahukan tujuan penerbangan kepada para pemimpin republik.
Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul, Pangkalpinang, Bangka (kini Bandara Depati Amir), para pemimpin republik baru mengetahui. Rupanya diasingkan ke Pulau Bangka. Namun, tidak berhenti di situ. Sebab, rombongan Presiden Sukarno, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan menuju Medan, Sumatra Utara. Ketiganya kemudian diasingkan ke Brastagi dan Prapat.

Sementara, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara Kolonel Soerjadi Soerjadarma, Ketua KNIP Assaat, dan Sekretaris Negara AG Pringgodigdo diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang. Keempatnya dibawa ke Bukit Menumbing, Mentok. Dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Kondisi penangkapan dan pengasingan telah diantisipasi pada 19 Desember 1948 tersebut melalui rapat kilat. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden Sukarno berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Kolonel TB Simatupang mengatakan, justru sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Setelah dipungut suara, hampir seluruh menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap di dalam kota.
Pemerintahan Darurat
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Syafruddin Prawiranegara, menteri kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.
Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat. Pemerintahan Syafruddin kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat kepada Duta Besar RI untuk India Sudarsono, serta staf Kedutaan RI LN Palar, dan Menteri Keuangan AA Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa, tetapi sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri Sukiman, Menteri Persediaan Makanan IJ Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno, dan Menteri Kehakiman Susanto.
Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948 yang memutuskan pemberian mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat di Bukittinggi. Dan apabila tidak dapat dilaksanakan Sudarsono, Maramis, dan LN, Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh gubernur militer I, II, dan III, seluruh gubernur sipil dan residen di Jawa bahwa pemerintah pusat diserahkan kepada tiga orang menteri, yaitu menteri dalam negeri, menteri kehakiman, dan menteri perhubungan.
Mengetahui para pemimpin republik diasingkan ke luar Jawa, Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1.000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa, rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949.
Kolonel AH Nasution, selaku panglima tentara dan teritorium Djawa menyusun rencana pertahanan rakyat totaliter. Kemudian, dikenal sebagai Perintah Siasat No 1. Salah satu pokok isinya: tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber-wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada 19 Desember 1948, bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh.
Nasution pula yang menyusun rencana perlawanan saat Agresi Militer pertama Belanda. Antara lain, dengan cara membakar sebagian Bandung untuk mengadang tentara Belanda. Dikenal dengan istilah Bandung Lautan Api.
Ya, Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, Akademi Militer West Point, Amerika Serikat.
Disadur dari Harian Republika Edisi Selasa, 4 Agustus 2015.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Gibran Diperebutkan
PDIP membuka peluang bagi Gibran untuk menjadi cawapres pendamping Ganjar Pranowo.
SELENGKAPNYAPemukiman Israel Hijau, Warga Palestina Krisis Air
Pemukim Israel merebut akses air Palestina.
SELENGKAPNYAHari Kemerdekaan, Papua Masih Rawan
Tiga warga kedapatan ditembak mati di Kabupaten Nduga.
SELENGKAPNYA