Hamas Ajak Semua Pihak Tolak Proposal Trump | Republika

Resonansi

Tamparan Trump

Rancangan Trump harus ditandingi dengan rancangan yang berpihak pada perjuangan bangsa Palestina dan digaungkan di forum-forum internasional.

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Oleh Ikhwanul Kiram  Mashuri


Bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, the deal of the century tampaknya akan dijadikan kartu as untuk memukul lawan-lawannya. The deal of the century merupakan rancangan Trump untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Tentu saja versi Trump.

Versi Trump? Ya, the deal of the century yang dirilis Trump pada 28 Januari lalu adalah rancangan baru sama sekali. Ia berbeda atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional dan referensi politik solusi konflik dua negara yang berlaku selama ini. Misalnya, resolusi PBB, Perjanjian Oslo, Prakarsa Perdamaian Arab, dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya. Bahkan, rancangan ini juga bertentangan dengan kebijakan-kebijakan presiden AS sebelumnya tentang Timur Tengah.

Inti dari the deal of the century Trump adalah Yerusalem ibu kota Israel, bersatu dan tidak dibagi. Berikutnya, semua permukiman Yahudi di daerah pendudukan (milik Palestina) merupakan bagian dari Israel. Selanjutnya, Israel adalah negara Yahudi alias apartheid. Yang lain, Negara Palestina bila nantinya terbentuk hanyalah wilayah otonom di bawah kendali Israel. Mereka harus dilucuti dari segala persenjataan.

Inilah yang kemudian disebut oleh berbagai media di Timur Tengah sebagai shuf’atu al-qorn dan bukan shufqotu al-qorn. Shuf’atu adalah 'tamparan', sedangkan shufqotu bermakna 'kesepakatan'. Seperti ditulis Rajeh El-Khoury, pengamat Timur Tengah dari Lebanon, the deal of the century hanyalah kesepakatan antara Presiden Trump dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu untuk menampar Palestina dan masyarakat dunia. Yang terakhir ini, melalui lembaga-lembaga internasional, telah bersepakat tentang solusi dua negara yang mana batas-batasnya kembali sebelum Perang 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Itulah sebabnya the deal of the century langsung ditentang oleh berbagai pihak, bahkan sebelum dirilis Presiden Trump. Namun, orang nomor satu di Gedung Putih itu, seperti biasanya, cuek bebek alias tidak peduli. Ia jalan terus dengan rencananya. Sikap yang sama telah ia tunjukkan beberapa kali sebelumnya sejak ia bersinggasana di Gedung Putih.

Misalnya, ketika ia mengakui Yerusalem adalah ibu kota Israel. Tidak lama kemudian, ia pun memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Waktu itu keputusan Trump ditentang oleh banyak pihak, termasuk masyarakat internasional. Namun, Trump terus dengan keputusannya. Bahkan, seolah ingin meledek pihak-pihak yang menentang keputusannya, ia kemudian mengakui semua permukiman Yahudi di daerah pendudukan sebagai wilayah Israel.

Kini pun Trump sudah berhitung untuk menjadikan the deal of century sebagai kartu untuk meng-KO (knock-out) mereka yang ingin melawan kebijakannya. Waktu pengumumannya ia pilih dengan cermat. Di dalam negerinya, pemilihan presiden AS tinggal 10 bulan lagi. Ia pun ingin terpilih kembali untuk periode keduanya. Tentu saja ia ingin memanfaatkan the deal of the century untuk meraih dukungan dari Lobi Yahudi, yang di AS mempunyai pengaruh besar terhadap pemilih.

Bisa dipastikan, para calon presiden AS saingan Trump, baik dari Demokrat maupun Republik, tidak akan berani mengkritik the deal of the century bila mereka ingin mendapatkan dukungan dari Lobi Yahudi. Dengan kata lain, para kandidat presiden AS ketika kampanye akan mengekor Trump bila terkait dengan isu-isu Timur Tengah, terutama yang menyangkut konflik Israel-Palestina.

Selanjutnya, Trump tampaknya juga ingin membantu sohibnya di Israel, PM Benjamin Netanyahu. Netanyahu yang di dalam negerinya sedang menghadapi berbagai dakwaan korupsi di pengadilan tentu ingin memanfaatkan the deal of century untuk meraih dukungan para pemilih Israel.

Pada dua kali pemilu Israel sebelum ini--April dan September tahun lalu--tidak ada satu partai pun berhasil meraih suara mayoritas. Pada kedua pemilu itu, Partai Likud (partai Benjamin Netanyahu) dan Partai Biru Putih (yang dimotori mantan kepala staf militer Benny Gantz) diberi kesempatan untuk membentuk koalisi, tetapi gagal. Karena itu, pemilu pun diulang untuk ketiga kalinya pada 2 Maret 2020 mendatang. Di sinilah, Netanyahu, lewat the deal of the century, ingin menghadirkan dirinya sebagai "pemimpin Israel yang sebenarnya" saat ini. Terbukti, saingannya dalam pemilu, Benny Gantz, pun segera mengekor Netanyahu untuk mendukung the deal of the century.

Di sisi lain, negara-negara Arab kini bisa dibilang di puncak disharmoni, bahkan perpecahan. Di kawasan Teluk, Qatar sedang dikucilkan. Sebaliknya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dikritik karena menyerang Yaman, yang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan rakyat di negara itu. Setali tiga uang juga terjadi di lingkungan Liga Arab. Ini belum lagi berbagai masalah dalam negeri yang dihadapi oleh sejumlah negara Arab, seperti Irak, Suriah, Libia, Lebanon, dan Yaman.

Di lingkungan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga sama saja, telah terjadi kubu-kubuan di antara para anggotanya. Yang terbaru adalah Kuala Lumpur (KL) Summit yang diselenggarakan pada Desember 2019 lalu. Pertemuan negara-negara Islam di ibu kota Malaysia itu dihadiri PM Mahathir Mohamad (sebagai tuan rumah), Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, Presiden Iran Hassan Rouhani, Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad bin Khalifa al-Tsani, dan sejumlah delegasi penting dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Negara-negara Arab, terutama Saudi, menuduh KL Summit sebagai OKI mini, yang berupaya memecah belah negara-negara anggota OKI. Sebaliknya, para peserta KL Summit tampaknya ingin mengubah peta permainan (game changer) di lingkungan OKI selama ini. Sejumlah pengamat memprediksi efek domino dari forum itu dapat menandai akhir dari cengkeraman pengaruh besar Arab Saudi di tubuh OKI. Organisasi negara-negara Islam tersebut selama ini bermarkas di Jeddah dan banyak didanai Arab Saudi.

Dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan bila sidang-sidang OKI, Liga Arab, dan Dewan Kerja Sama Teluk hanya sebatas pernyataan keras dan kecaman jika menyangkut nasib bangsa Palestina. Mereka belum bisa menjadi kekuatan penekan. Lihatlah, apa yang bisa mereka lakukan ketika Presiden Trump mengakui Yerusalem adalah wilayah dan bahkan ibu kota Israel! Hanya kecaman dan kecaman. Begitu juga saat Trump menyatakan semua permukiman Yahudi di wilayah pendudukan adalah sah dan menjadi bagian dari Israel.

Lalu, bagaimana dengan the deal of the century Trump? Presiden Palestina Mahmud Abbas menegaskan, nasib rancangan Trump itu akan berada di tong sampah sejarah. Semua konspirasi jahat terhadap bangsa Palestina, dia melanjutkan, akan gagal.

Sidang darurat para menteri luar negeri negara-negara anggota Liga Arab juga menolak keras the deal of the century. Menurut Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, rancangan Trump itu merupakan penghinaan terhadap hak-hak bangsa Palestina yang sah. Ia menyatakan, semua rancangan untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel harus didasarkan pada hukum internasional dan keputusan-keputusan badan dan lembaga dunia.

Kita tentu sangat sepakat dengan sikap keras para pihak yang menolak the deal of the century Trump, yang nyata-nyata telah merugikan perjuangan bangsa Palestina. Namun, sikap itu jangan hanya sebatas kecaman dan pernyataan keras. Hanya omdo alias omong doang.

Para pemimpin Palestina, Arab, OKI, dan pemimpin dunia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina dengan solusi dua negara harus mengajukan proposal atau rancangan tandingan. Rancangan Trump harus ditandingi dengan rancangan yang berpihak pada perjuangan bangsa Palestina dan digaungkan di forum-forum internasional.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat