
Dunia Islam
Inggris Raya dan Negeri-negeri Islam Abad XVI
Pada abad ke-16 M, Inggris Raya mulai menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah daulah Islam.
Britania Raya pada masa Ratu Elizabeth I kian erat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan negeri-negeri Muslim di Afrika Utara maupun Asia Barat. Greg Bak dalam disertasinya untuk Dalhousie University tahun 2000 membahas hubungan Inggris dengan Dunia Islam dalam periode 1575-1625. Pada rentang masa itu, pengaruh kekuasaan Ratu Elizabeth I terasa bukan hanya di Negeri Albion sendiri, melainkan juga Eropa dan sekitarnya.
Pada era itu, Inggris mendukung pemberontak-pemberontak Protestan di Eropa Daratan, utamanya Prancis, serta berseteru dengan Spanyol di lautan. Masalahnya kemudian, Inggris pada saat yang sama perlu menjaga lancarnya arus perdagangan dari dan menuju negerinya. Gangguan kerap datang dari Prancis maupun Spanyol sebagai saingan-saingan utamanya. Upaya untuk mengatasi soal-soal itu pun didukung dengan gaya kepemimpinan Ratu Elizabeth I yang tidak terlalu ortodoks dalam soal agama.
Bak menjelaskan, sejak abad ke-16 M telah muncul konsep dominium atau kedaulatan kerajaan Inggris. Maknanya, ratu Britania Raya sebagai seorang pemimpin yang beragama Kristen (Protestan) dinilai berhak mengadakan aliansi dan perdagangan dengan Muslim. Bahkan, masih menurut konsep yang sama, perang melawan kesultanan-kesultanan Islam yang hanya dilatari perbedaan agama tidak bisa dibenarkan.
Oleh karena itu, Inggris sejak abad ke-16 cenderung tanpa beban dalam menjalin kerja sama, baik diplomatik maupun niaga, dengan daulah Islam. Toh relasi tersebut amat rasional supaya Inggris tidak kehilangan perannya, baik di kawasan pesisir Mediterania maupun Samudra Hindia.
Karena dorongan pragmatis pula, Britania Raya pada akhirnya membuka diri pada Turki Utsmaniyah. Pada masa Ratu Elizabeth I, Inggris mulai meninggalkan kecenderungan “anti-Turki” yang adalah legasi dari suasana Perang Salib silam.
Bak menyebutkan, duta besar pertama Inggris untuk Utsmaniyah, William Harborne, dikirim ke Istanbul pada 1583. Ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian dagang antara kedua kerajaan yang berbeda agama itu sejak tiga tahun sebelumnya. Mitra dagang kedua negara, yakni Turkey Company, pada 1592 menjadi English Levant Company (ELC).
Di sinilah kolaborasi antara urusan komersial dan politik dilembagakan. Di negeri tempatnya diutus, Harborne memiliki dua tugas utama, yakni menjaga kelancaran perdagangan yang dilakukan ELC dan sekaligus mempromosikan kepentingan kerajaan Inggris.
Salah satu target politik Ratu Elizabeth I yang hendak dijembatani Harborne adalah meyakinkan sultan Utsmaniyah agar mau berkoalisi dengan Inggris demi menghadapi musuh bersama: Spanyol. Sejak dimulainya konflik Inggris-Spanyol pada 1588, sang ratu menganggap penting persekutuan dengan negeri-negeri non-Katolik (baca: Muslim) untuk menyurutkan dominasi Salibis Iberia itu di kawasan Laut Mediterania.
Meskipun telah berupaya maksimal, Harborne pada akhirnya gagal mewujudkan keinginan ratu. Sedikit-banyak, kegagalan ini terjadi karena—seperti disimpulkan Bak dalam disertasinya—orang Inggris pada masa itu ambigu dalam memandang orang Islam Turki. Di satu sisi, mereka masih menyimpan stereotipe atau bahkan kebencian yang adalah legasi Perang Salib. Namun di sisi lain, beberapa catatan sejarah dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 mengisyaratkan bahwa sinisme ini masih bisa diatasi oleh pragmatisme. Sebab, Muslim pun bisa dipandang sebagai sekutu Inggris, baik di bidang politik maupun niaga.

Sementara itu, Turki Utsmaniyah justru bersekutu dengan Prancis. Terbukanya aliansi Prancis-Utsmaniyah menandakan babak baru dalam sejarah “konfrontasi” antara Barat dan Timur, khususnya sejak akhir abad pertengahan. Pada mulanya, Prancis menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Mamluk yang berpusat di Mesir. Mamluk memberikan konsesi kepada Prancis untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan Mesir.
Kemudian, Mesir dikuasai Turki Utsmaniyah sehingga eksekusi perjanjian Prancis-Mamluk sempat terjeda. Prancis pun larut dalam persaingan dengan Wangsa Habsburg, terutama dalam merebut kendali atas wilayah Eropa selatan. Pada Januari 1515, Prancis dipimpin Raja Francis I.
Dua tahun kemudian, Paus Leo X mendekati raja muda yang berusia 21 tahun itu dan menawarkan kepadanya untuk memimpin aliansi militer melawan raja Utsmaniyah, Sultan Selim I. Francis I menyambut dengan antusias tawaran itu. Namun, konsentrasinya terpecah untuk misi militer negerinya di kancah Perang Italia yang sudah berlangsung sejak 1494. Perang itu mempertemukan antara Prancis dan Wangsa Habsburg.
Siapa sangka, konflik antara Prancis dan Habsburg membuka jalan kerja sama Paris dengan Konstantinopel (Istanbul). Sebab, Francis I berhasil dikalahkan dan bahkan dijadikan sebagai tawanan oleh raja Habsburg. Ibunda Francis, Louise of Savoy, lalu mengumpulkan seluruh kalangan istana Prancis. Diputuskanlah bahwa pihaknya akan membangun aliansi baru demi melawan Wangsa Habsburg. Dan, satu-satunya kekuatan yang dapat mengatasi wangsa tersebut ialah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, yang dipimpin Sultan Suleiman I al-Qanuni.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Sejarah Hubungan Inggris-Maroko
Inggris Raya menjalin hubungan diplomatik dengan Maroko dalam rangka melawan dominasi Spanyol.
SELENGKAPNYASejarah Sepakbola dan Stadion di Jakarta
Konon, sepakbola di Indonesia sudah populer sebelum penjajah datang.
SELENGKAPNYA