Nelayan mengangkut ikan tangkapannya di Pantai Desa Tanjung, Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (20/1/2021). | SAIFUL BAHRI/ANTARA FOTO

Teraju

Kemiskinan Nelayan yang Direproduksi

Celakanya kebijakan pemerintah tak hirau, bahkan terkesan pencitraan.

Oleh MUHAMMAD SUBARKAH

''Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tida topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu!'' Bait lagu yang ditulis dedengkot band 'Koes Plus' Tony Koewoyo memang masih terngiang hingga sekarang. Dalam syair lagu itu terasa ada pujian mendalam bahwa tanah ini adalah kepingan surga yang terlempar ke bumi.

Dan harus diakui, lagu 'Kolam Susu' itu bermaksud menggelorakan semangat cinta Tanah Air. Namun, 'pujian' ini malah dapat membuat mental seluruh anak bangsa menjadi kekanak-kanakan. Apalagi bila kemudian melihat kenyataan betapa laut yang kaya dan luas yang dimiliki Indonesia, ternyata tak mampu memberikan kesejahteraan bagi para nelayannya.

Fakta ini semakin tampak nyata bila melihat kehidupan nelayan yang semakin hari terasa memiriskan. Pada sisi lain, lazimnya sebuah negara berkembang, memang persoalan kemiskinan di masyarakat nelayan masih merupakan persoalan global yang menyita perhatian. Di Indonesia, misalnya, di mana pendapatan ekonomi negara sudah mencapai 5-6 persen, tapi tingkat kemiskinan masyarakat pesisirnya masih sangat mengkhawatirkan di kala tingkat poverty index (PHI) yang telah mencapai lumayan, 32,4 persen.

photo
Nelayan memindahkan hasil tangkapanya dari perahu ke dermaga di Pelabuhan Donggala, Donggala, Sulawesi Tengah, Ahad (16/10/2022). Pemerintah mendorong keterlibatan BUMN untuk pemanfaatan sektor industri kelautan dan perikanan karena menurut Kementerian BUMN baru sebesar enam persen saja yang dikelola padahal potensi perikanan laut mencapai 12,54 juta ton per tahun dan perikanan darat mencapai tiga juta ton per tahun. - ( ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Uniknya, kenyataan buruk tersebut terjadi, padahal negara ini jelas termasuk dalam kategori benua maritim di mana wilayahnya dikelilingi oleh pulau-pulau. Garis pantainya pun mencapai lebih dari 95.181 km, dan termasuk negara tiga besar terpanjang garis pantainya. Modal itulah seharusnya menjadi potensi besar bagi kemakmuran rakyatnya, terutama bagi warganya yang tinggal di tepi pantai.

Ironi itulah yang terus terjadi sampai hari ini. Perumahan yang kumuh dan reyot, anak-anak dan warga dewasa yang berpakaian seadanya, menjadi pemandangan yang biasa di kampung nelayan. Yang paling celaka lagi, warganya telah menjadi buruh di kampungnya sendiri. Bahkan, kerap menjadi cerita merata di kalangan nelayan bila di antara mereka kerap kesulitan untuk membeli makanan dan komoditas kebutuhan dasar hidup lainnya.

''Bagaimana tidak menjadi buruh, wong kita kita para nelayan ini sekarang, tidak mungkin punya perahu sendiri. Untuk makan saja masih Senin-Kamis,'' ujar Abdul Nasri (42 tahun), seorang nelayan asal Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pernyataan seperti ini juga merupakan sebuah nada yang sama bila kemudian ditanyakan ke berbagai nelayan yang tinggal di berbagai wilayah yang lain, misalnya di wilayah pantai utara Jawa, pantai selatan Jawa, hingga Jawa Timur.

Dari kajian anak nelayan yang kemudian menjadi Menteri Perikanan dan Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB), Rokhmin Dahuri, ditemukan begitu banyak hal yang menjadi penyebab nelayan tetap hidup berkubang dalam kemiskinan. Pertama, sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang memang belum kondusif bagi kemajuan. Misalnya, sebagian besar (85 persen) hanya berpendidikan SD, tidak tamat SD, dan buta huruf.

photo
Ratusan nelayan dan petani tambak warga Desa Lontar berunjukrasa, di Kantor Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, menolak kegiatan penambangan pasir di desa mereka karena merusak lingkungan dan menghancurkan tambak ikan, Senin (1/12). Warga mengeluhkan sikap Bupati Serang yang memberi izin penambangan pasir laut bagi sejumlah perusahaan yang merugikan ribuan warga setempat. - (ANTARA)

Kedua, struktur armada penangkapan masih sederhana dan didominasi oleh usaha tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah. Ketiga, hasil tangkapan mereka yang kecil, rata-rata sekitar 4,33 kilogram ikan per hari. Jumlah ini jauh lebih kecil, misalnya bila dibandingkan dengan nelayan Malaysia yang bisa mendapatkan ikan di wilayah laut mereka hingga sekitar 300 kilogram per hari.

Keempat, terdapat ketimpangan pemanfaatan ikan di 80 persen perairan di pantai utara Jawa dan di laut-laut dangkal sekitar pulau-pulau. Konsekuensinya banyak wilayah perairan yang telah mengalami overfishing. Kelima, BBM, alat tangkap nelayan, dan perbekalan logistik untuk melaut yang harganya mahal dan terkadang sukar didapatkan nelayan. Keenam, penanganan pascapanen hasil tangkapan ikan yang masih buruk. Ketujuh, adanya faktor alam yang membuat nelayan tak bisa melaut.

Kendala itulah yang membuat nelayan hampir mustahil mampu ke luar dari kemiskinan. Alat tangkap hingga perahu tetap tak bisa dimilikinya. Bila menemukan perahu atau jukung di kampung nelayan, sekarang dapat dipastikan semua itu hanya milik para juragan.

‘’Penjualan ikan kami ketika dijual ke tempat pelelangan hanya mendapatan uang rata-rata Rp 250 ribu per hari. Dari jumlah itu, yang masuk ke kantong paling banyak Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu karena dipotong biaya membeli BBM dan sewa perahu,’’ ungkap Wastam, seorang nelayan di Cilacap, beberapa bulan silam.

 
Yang masuk ke kantong paling banyak Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu karena dipotong biaya membeli BBM dan sewa perahu.
WASTAM, Nelayan.
 

Dia kemudian mengaku penghasilan sebesar itu nantinya akan menghilang bila masa paceklik ikan datang, yakni ketika musim angin barat datang. Maka pada saat itu, nelayan harus pontang-panting menyelamatkan hidupnya dengan mengutang di sana-sini hingga menjadi pelanggan rentenir. Data dari Himpunan Sekretariat Nelayan Indonesia Kabupaten Cilacap pun menunjukkan bila 80 persen dari 33 ribu nelayan hidup dalam kemiskinan. Situasi yang sama juga teradi pada nelayan yang berada di wilayah Padang, Sumatra Barat.

Celakanya lagi, alih-alih membantu kehidupan nelayan, kerap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah malah membuat nasib nelayan semakin memprihatinkan. Di Indramayu, misalnya, ribuan nelayan mengeluhkan sulitnya mendapatkan hasil tangkapan, terutama kepiting dan rajungan akibat pelarangan penggunaan jaring jenis tertentu karena dianggap mengancam kelestarian ekosistem laut. Mereka pun sempat menggelar aksi unjuk rasa untuk memprotesnya.

Terkait lestarinya kemiskinan di kalangan nelayan, mendapatkan kajian dari aktivis perlindungan rakyat kecil, Ferry Joko Juliantoro, ketika hendak 'merengkuh' gelar doktornya. Dalam disertasinya yang berhasil dipertahankan di depan sidang guru besar Departemen Sosiologi FISIP UI, pertengahan Juni silam, dia menyatakan, tingkat kemiskinan di masyarakat nelayan sekarang malah semakin dalam dan bahkan terus diproduksi.

''Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan yang ada pada struktur yang lama masyarakat nelayan, ternyata direproduksi oleh struktur yang baru. Selanjutnya dalam sisi keilmuan, ditemukan kelemahan pada teori strukturasi Anthony Giddens yang menganggap bahwa struktur dalam versi dualitasnya, baik sebagai hasil dan sekaligus wacana praktik sosial, ternyata tidak selalu saling enabling (memberdayakan),'' kata Ferry.

photo
Nelayan payang (jaring ikan) di antara sampah di pesisir Teluk Lampung, Sukaraja, Bandar Lampung, Kamis (26/1/2023). - (Mursalin Yasland/Republika)

Akibatnya, keadaan kehidupan nelayan terus memburuk. Nelayan makin tak berdaya karena hubungan antarmereka terpecah-pecah (tidak ada struktur yang memberdayakan). Celakanya lagi, segala program bantuan yang selama ini digelontorkan kepada mereka, misalnya subsidi BBM atau permodalan—tidak jatuh ke tangannya, tapi diterima oleh pihak lain di luar mereka, yakni para pemodal, juragan kapal, atau pedagang ikan.

''Memang kini masih ada koperasi simpan pinjam atau tempat pelelangan nelayan yang hidup. Tapi sayangnya, para pengurusnya bukan lagi berasal dari kalangan nelayan,'' kata Ferry.

Ferry menjelaskan, kebijakan pemerintah akhir-akhir ini yang menyangkut hajat hidup para nelayan, tetap belum mampu mengentaskannya dari kemiskinan akut. Memang, kebijakan membakar perahu penangkap ikan ilegal itu ada baiknya, tapi ini tidak terlalu berdampak pada nasib nelayan karena mereka belum disiapkan kemampuannya di dalam memiliki kapal.

''Kebijakan pemerintah kerap malah makin memperberat kondisi ekonomi para nelayan. Ini karena tidak melalui tahapan persiapan yang jelas. Bahkan, terakhir kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan RI menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik. Keluarnya aturan ini malah makin membuat sengsara hidup nelayan,'' ujarnya.

photo
Nelayan membersihkan kapal kayunya seusai bersandar di tepi pantai Pelabuhan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (25/7). Menurut nelayan setempat, meski tangkapan ikan menurun selama dua pekan terakhir karena arus bawah laut yang deras pada musim Timuran saat ini, tapi wilayah perairan kepulauan Karimunjawa aman dari gelombang tinggi dan tidak terpengaruh oleh fenomena gelombang tinggi yang terjadi di wilayah selatan Laut Jawa. - (ANTARA FOTO)

Melihat fakta itu, seperti dikatakan Ferry kembali, pemerintah sampai sekarang malah bisa dikatakan abai terhadap kaum nelayan. Ini bisa dirasakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir di mana nelayan dibiarkan bertarung sendirian mengahadapi mekanisme pasar. Untuk mengatasinya, mau tidak mau pemerintah harus memperbarui kebijakannya dengan cara memberdayakan dan memandirikan nelayan secara komprehensif, yakni memperbarui regulasi yang dapat menjangkau sisi struktur, kultur, sosial, dan ekonomi secara utuh.

''Kini pun tampaknya akan berulang setelah melihat kebijakan yang ditujukan kepada nelayan yang malah terkesan sekadar pencitraan dan hanya menguntungkan pihak di luar nelayan, yakni para pemilik modal. Memang ada satu dua nelayan yang naik kelas, tapi cara naik kelas sosialnya itu dia lakukan dengan mencari sumber usaha yang datang dari pihak di luar nelayan. Ini pun kerap tak berlangsung lama sebab dalam satu-dua tahun mereka kerap kembali miskin,'' katanya menegaskan.

*****

Terkait persoalan kemiskinan nelayan, Guru Besar Sosiologi UI Paulus Wirotomo mengatakan, persoalan kemiskinan masyarakat memang menjadi sorotan utama kegiatan riset-riset sosial. Namun, hasil riset sosial di dunia ketiga, termasuk Indonesia, belum diperhatikan oleh pemerintah.

''Ada hasil riset tentang reproduksi kemiskinan nelayan dengan melihat penyebabnya pada kondisi struktur dan kultur masyarakat. Pengambil kebijakan semestinya dapat mempertimbangkan adanya interaksi struktural dan kultural itu untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan yang selalu direproduksi,'' kata Wirotomo dalam sidang senat terbuka promosi gelar doktor Ferry Juliantoro.

Dengan kata lain, lanjut Wirotomo, sampai sekarang masih belum muncul sebuah kesadaran sosial yang sangat serius atas kemiskinan yang dihadapi masyarakat nelayan itu. Untuk itu, ke depan kajian riset sosial yang telah dihasilkan hendaknya dapat dijadikan acuan oleh pemerintah ketika hendak mengeluarkan kebijakan.

 
Pengambil kebijakan semestinya dapat mempertimbangkan adanya interaksi struktural dan kultural itu untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan yang selalu direproduksi.
 
 

Disadur dari Harian Republika Edisi Selasa, 7 Juli 2015.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Disebut Minta Uang, Separatis Batal Bebaskan Pilot di Papua

Presidden Jokowi mengadakan rapat pembebasan sandera di Papua.

SELENGKAPNYA

Serba-serbi Threads, Aplikasi yang Bikin Elon Musk Panas Dingin

Threads tertarik dengan data pribadi Anda, sama seperti Instagram,

SELENGKAPNYA

Jejak Maritim di Kalimantan

Sungai Barito adalah salah satu sungai besar di Kalimantan.

SELENGKAPNYA