Asma Nadia | Republika

Resonansi

Mentalitas Generasi Digital

Kontrasnya karakter anak muda merupakan fenomena mentalitas sosial generasi digital.

(Parenting Digital -- Tulisan Kedua)

Saya bertemu dengan seorang wartawan senior, pemimpin redaksi televisi nasional dalam satu acara pernikahan. Pada kesempatan itu dia bercerita bagaimana generasi muda yang sangat kritis dalam interaksi di media sosial --bahkan bisa disebut kasar-- ternyata sangat berbeda ketika dijumpai secara langsung.

Mereka yang sangat vokal di dunia maya, saat diundang sebagai narasumber acara off air, bak macan kehilangan taring. Begitu kontras hingga terkesan seperti sosok berbeda; ragu, takut-takut, tak berkutik, dan mendadak santun. Pendeknya superhemat dalam bersuara.

Beberapa tahun kemudian saya mengundang sejumlah penulis yang tulisannya di forum digital bisa sangat tajam, untuk hadir menjadi peserta kehormatan dalam workshop kepenulisan. Ketika berhadapan langsung, kesan serupa saya temukan.

 
Mereka yang biasa sangat buas berkomentar, pedas mengkritik, dan keras dalam interaksi online selama ini ketika berjumpa, menunjukkan kepribadian yang teramat berbeda.
 
 

Mereka yang biasa sangat buas berkomentar, pedas mengkritik, dan keras dalam interaksi online selama ini ketika berjumpa, menunjukkan kepribadian yang teramat berbeda.

Satu di antara mereka sempat menjadi bulan-bulanan saat mengungkapkan pendapat di forum karena pemilihan kata yang sangat berantakan, suara yang tipis, dan terdengar sangat tak berwibawa. Jauh dari profilnya selama interaksi daring, yang terkesan sangat intelek dan sistematis.

Lainnya bergeming ketika dipancing untuk berpendapat. Padahal di ranah medsos hal apa pun selalu mereka komentari dan respons dengan pedas.

Hal lain, ternyata tidak satu dua di antara mereka yang dalam keseharian bisa sangat manja, lemah, bertingkah seperti anak kecil, jauh dari citra tegar yang mereka bangun di dunia maya, di mana mereka tak ubahnya pendekar sakti.

Kontrasnya karakter anak-anak muda ini, saat bertemu langsung versus perjumpaan di media sosial, ternyata bukan sebuah kebetulan. Apa yang dihadirkan merupakan fenomena mentalitas sosial generasi digital jika tidak diarahkan dengan benar.

 
Apa yang dihadirkan merupakan fenomena mentalitas sosial generasi digital jika tidak diarahkan dengan benar.
 
 

Generasi ini seolah memiliki dua kehidupan. Di ranah maya karena merasa bebas, tanpa kontrol dan pengawasan, sering tanpa perlu identitas, mereka berani melepas segala yang terbetik di pikiran tanpa menyempatkan atau merasa perlu mengkaji ulang.

Ketidakpuasan, sakit hati, segenap kemarahan, bisa mereka umbar secara spontan melalui jari jemari. Namun semua kesangaran itu seakan fiktif, saat bertemu mereka langsung di kehidupan nyata.

Tentu saja ini bukan sebuah hal yang ideal karena kepribadian seseorang seharusnya konsisten, baik disampaikan dalam pikiran, kata maupun tingkah laku. Terlepas apakah dalam interaksi digital maupun nyata.

Keberanian dan sikap kritis seseorang berpendapat di medsos, harusnya merupakan pertanda keberanian dan sikap kritis mereka sehari-hari. Dan apa yang mereka perjuangkan dan gembar-gemborkan di dunia maya seharusnya juga menjadi agenda penting yang terus mereka perjuangkan di dunia nyata.

Membimbing ananda agar memiliki kepribadian konsisten, tidak terbelah hingga menjelma figur berbeda di dua dunia ini, merupakan salah satu tantangan yang dihadapi para orang tua saat ini.

Mendidik anak-anak untuk menyadari sebenarnya media sosial hanyalah sebuah ruang berbeda tetapi memiliki esensi sama. Apa yang tidak boleh kita lakukan di dunia nyata secara umum juga tidak boleh kita lakukan di dunia maya.

Jika kita tidak boleh berbohong dan menyebarkan kebohongan di dunia nyata, maka kita pun tidak boleh berbohong di media sosial. Jika kita tidak boleh berkata kasar kepada orang lain, maka kita tidak boleh mencaci maki di ranah digital.

 
Jika kita tidak boleh berbohong dan menyebarkan kebohongan di dunia nyata, maka kita pun tidak boleh berbohong di media sosial.
 
 

Jika kita tidak boleh memfitnah seseorang di dunia nyata maka kita tidak boleh memfitnah siapa pun, sekalipun secara daring kita bisa berlindung di balik identitas palsu.

Anak-anak harus ditanamkan kesadaran bahwa perilaku di media sosial memiliki nilai secara moral maupun konsekuensi yang sama di hadapan Allah. Sepak terjang di dunia digital tidak berarti lepas dari dosa dan tanggung jawab akhirat.

Berbohong pada dua orang punya keburukan lebih daripada dusta terkait perkara serupa yang kita sampaikan kepada satu orang. Jangan mengira berdusta di media sosial akan lebih ringan.

Akibat atau efek kebohongan di media sosial maupun di dunia nyata, sama, bahkan terkadang lebih berbahaya. Lewat media sosial, seseorang yang berbohong, menghasut atau memfitnah sementara dia memiliki ribuan bahkan jutaan pengikut, tentu akan menuai dosa jariyah lebih besar.

Penggunaan akun palsu saat melakukan keburukan, mungkin bisa melepaskan kita dari hukum karena tidak selalu mudah terdeteksi oleh apparat tetapi percayalah, Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

Berlindung di balik identitas bodong saat melakukan perbuatan tidak baik bahkan cenderung jahat di ranah maya, tidak mampu menipu malaikat di kiri kanan, yang sedetik pun tak akan lalai mencatat secara perinci segala kebaikan dan perbuatan buruk kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Inefisiensi Anggaran Pembangunan

Membangun aparatur yang bersih adalah gerakan yang tidak bisa lagi ditunda.

SELENGKAPNYA

Keteguhan Zunairah di Hadapan Abu Jahal

Kuasa Allah

SELENGKAPNYA

Makna Tawakal Jamaah Haji

Diharapkan kualitas tawakal para jamaah meningkat selepas menunaikan prosesi ibadah haji.

SELENGKAPNYA