ILUSTRASI Islam memandang, yang terpenting dalam tiap diri insan adalah keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah. | Republika/Thoudy Badai

Kisah

Kegalauan Para Sahabat Nabi yang Miskin

Mereka merasa kalah saing dari para sahabat Nabi SAW yang lebih berada, yakni dalam hal beramal saleh.

Pada suatu hari, serombongan fakir miskin dari golongan Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah," kata seorang dari mereka, "Orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkatan yang paling tinggi sekalipun.”

Nabi SAW bertanya, "Mengapa kalian mengira demikian?"

Perwakilan mereka menjawab, "Orang-orang Mukmin yang kaya mendirikan shalat, sebagaimana kami melakukan shalat. Mereka berpuasa, seperti halnya kami pun berpuasa.

Namun, tatkala mereka bersedekah, kami tidak kuasa melakukan amalan yang sama seperti mereka. Mereka memerdekakan budak, sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu."

photo
ILUSTRASI Ash-Shuffah merupakan kawasan di Masjid Nabawi pada zaman Nabi SAW. Dahulu dihuni mereka yang dari kalangan ekonomi ke bawah. - (DOK ANTARA RIVAN AWAL LINGGA)

Setelah mendengar keluhan kelompok Mukmin yang fakir tadi, Rasulullah SAW tersenyum lantas berusaha menghibur mereka. Guna membesarkan hati para sahabatnya ini, beliau bersabda, "Wahai sahabatku, sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?"

Dengan sangat antusias, mereka pun menjawab serentak, "Tentu, ya Rasulullah."

Kemudian, Nabi SAW bersabda, "Bacalah 'subhanallah', 'Allahu akbar', dan 'alhamdulillah' setiap selesai shalat masing-masing 33 kali." Setelah menerima wasiat Rasulullah SAW, mereka pun pulang untuk mengamalkannya.

Tak lama berselang, setelah beberapa hari berlalu, para fakir miskin itu kembali menyampaikan keluhannya kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya itu mendengar perbuatan kami, lalu mereka serentak berbuat sebagaimana perbuatan kami."

Maka, Nabi SAW bersabda, "Itulah karunia Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki."

Sabda itu merupakan petikan dari Alquran surah an-Nur ayat 38. Artinya secara lengkap sebagai berikut, "(Mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas."

 
Hadis sahih di atas menggambarkan betapa besarnya motivasi berbuat kebaikan.
   

Hadis sahih di atas menggambarkan betapa besarnya motivasi berbuat kebaikan, baik dari kelompok miskin maupun kaya. Mereka sungguh-sungguh berlomba-lomba dalam kebaikan.

Si kaya yang beruntung dengan dikaruniai limpahan rezeki. Namun, harta benda tidak menjadikannya bak Qarun yang takabur dan bakhil. Muslimin yang berada sadar betul semua harta hanyalah titipan dari Allah SWT. Maka, benda-benda itu mesti digunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaan-Nya.

Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, tetapi menyadarkannya untuk lebih banyak dan berkualitas dalam bederma. Sebab, di dalam harta yang dinikmatinya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.

Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal. Ia selalui mencari solusi untuk bersaing secara sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.

Prinsip kesetaraan

Islam tidak membeda-bedakan antara si miskin dan si kaya. Satu sama lain tidak saling meniadakan. Sebab, yang menjadi tolok ukur bukanlah banyak atau sedikitnya harta, melainkan keimanan dan ketakwaan tiap individu kepada Allah SWT.

 
Bukan hanya soal strata sosial ekonomi, Islam pun tidak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan dalam hal ketaatan kepada-Nya.
   

Memang, pria tidak sama dengan wanita. Masing-masing memiliki kodrat biologis dan peran. Namun, bukan bahwa yang satu dimenangkan atas yang lainnya.

Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudara sekandung laki-laki.”

Maknanya, kedua belah pihak adalah setara. Pada dasarnya, setiap apa pun yang ditetapkan sebagai hukum bagi kaum pria, juga berlaku sepenuhnya bagi kaum wanita.

Itu terkecuali jika ada keterangan dari nash syariat yang menerangkan tentang kekhususannya. Maka, teks-teks nash itulah yang menjadi pengecualian dari hadis di atas.

Allah Ta'ala berfirman dalam Alquran surah an-Nisa ayat ke-97, yang artinya, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami berikan padanya kehidupan yang baik."

Ayat tersebut menegaskan perihal persamaan antara laki-laki dan wanita dalam konsep mengenai ganjaran dan siksa.

Jurus Masjid Ramah Lingkungan dari NU-Muhammadiyah

Kampanye energi baru terbarukan belum bisa dijalankan mengingat mahalnya perangkat panel surya.

SELENGKAPNYA

‘Apa Kapasitas Luhut untuk Mengaudit LSM?’

Jika Luhut menjalankan rencananya, hal tersebut dinilai bentuk kesewenang-wenangan.

SELENGKAPNYA

Mengenal Abu Nawas, Sufi Jenaka dari Abbasiyah

Abu Nawas berkawan baik dengan sultan Abbasiyah, Harun al-Rasyid.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya