Kapal eruk mengangkat pasir dari dasar laut ke atas tongkang di Desa Lontar, Kec Tirtayasa, Serang, Banten, pada 2012. | ANTARA FOTO

Ekonomi

KKP: PP Sedimentasi Amanatkan Rehabilitasi Ekosistem Laut

Pengusaha yang ingin memanfaatkan hasil sedimentasi disarankan harus memiliki kajian.

JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencoba meredam opini negatif publik terkait pembukaan ekspor laut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. KKP pun menyatakan siap menampung aspirasi publik terkait implementasi peraturan tersebut.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor G Monoppo mengeklaim, kebijakan ini sejatinya bukan sebatas mendukung pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, tapi juga mengamanatkan dilakukannya perlindungan dan rehabilitasi terhadap ekosistem dari hasil sedimentasi yang dikelola.

"Sejak PP ini diterbitkan, ada berbagai perdebatan. Ada tiga kekhawatiran di dalamnya, yaitu ekspor pasir laut, ancaman ekologi, dan ada siapa di balik kebijakan ini," ujar Victor dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (9/6/2023).

Victor menyampaikan, peraturan tersebut juga mengatur tentang tugas dan manfaat bagi kelestarian laut. Dalam Pasal 2 PP 26/2023 disebutkan, pengelolaan dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut.

Kemudian, untuk mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

photo
Pekerja menggunakan alat berat menggarap proyek reklamasi Ancol di Jakarta, Sabtu (4/7/2020). - (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

"Jadi, pemanfaatannya bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, melainkan juga adanya perlindungan pada ekosistem dan amanat memanfaatkan hasil sedimentasi untuk rehabilitasi ekosistem di situ," kata Victor.

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady menjelaskan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan kebijakan tata kelola sedimentasi di laut.

Beberapa hal itu adalah kewajiban negara memastikan lautnya sehat dan bersih untuk menjamin keberlanjutan ekologi, mendukung kepentingan nasional dan adanya mandat internasional tentang kesehatan laut serta tidaknya adanya standardisasi reklamasi selama ini yang berimbas pada kerusakan ekosistem.

"Kita selama ini absennya standardisasi reklamasi. Batam ini paham sekali, bagaimana dikeruk bukit-bukit untuk reklamasi karena tidak ada pasokan (material). Saya sudah beberapa kali ke Busan, Korea, mereka sudah punya standardisasi reklamasi, material apa, ukuran apa, karena setiap bahan yang digunakan ada standarnya sendiri," kata Edy Putra.

Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto mengatakan, KKP sangat terbuka dengan masukan semua lapisan masyarakat mengenai PP 26/2023. Pembukaan keran ekspor pasir laut mendapat tentangan cukup keras di masyarakat.

"Semuanya boleh bersuara menyatakan pendapatan tentang isu yang sedang hangat sekarang. Tapi, saya harap tidak dilandasi dengan pikiran negatif lebih dulu. Karena pemerintah membuat kebijakan ini dengan niat baik, yaitu menjaga laut tetap sehat," ujar Doni.

Doni mengajak semua pihak untuk melihat secara komprehensif isi peraturan tersebut, bukan cuma dari sisi ekspor pasir. Pemerintah menata pengelolaan hasil sedimentasi di laut utamanya untuk kepentingan ekologi.

photo
Kebijakan ekspor pasir laut. - (Republika)

Menurut dia, sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono selama ini juga sudah jelas menempatkan ekologi sebagai panglima dalam membangun tata kelola kelautan dan perikanan, termasuk soal pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

"Dalam membuat kebijakan pasti yang didahulukan beliau adalah ekologi bukan ekonomi," ujar Doni.

Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rasman Manafi mengatakan, PP Nomor 26 tahun 2023 lebih mengutamakan pengendalian dari ancaman kerusakan ekosistem dibanding pemanfaatan hasil sedimentasi untuk kepentingan ekonomi.

"Bahwa regulasi yang kita bicarakan bukan hanya pemanfaatan, melainkan juga kita bicara pelindungan dan pelestarian. Kita bicara saat ini sedimentasi. Sangat tidak benar kalau itu hanya soal pemanfataan," ujar Rasman.

Sementara itu, Akademisi Universitas Sriwijaya Iskhaq Iskandar mengungkapkan pentingnya kajian matang dalam pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Kajian untuk menjamin pemanfaatan hasil sedimentasi tidak membawa dampak negatif pada lingkungan seperti terjadinya abrasi.

Selain kajian oleh pemerintah, Iskhaq melanjutkan, pelaku usaha yang mengajukan izin pemanfaatan pun harus memiliki kajian. Dengan adanya kajian, sekaligus akan menjawab kekhawatiran publik mengenai potensi kerusakan ekosistem dari aktivitas pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.

Iskhaq menyarankan aktivitas pemanfaatan sedimentasi laut ini perlu kajian sebelum dimanfaatkan. "Sehingga pada saat pelaku usaha menyampaikan proposal pemanfaatan, dia harus membuat permodelannya dulu bagaimana," ujar Iskhaq.

Anggota Komisi VI DPR Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah mengkaji ulang PP 26/2023. Menurut dia, Indonesia perlu belajar dari kebijakan ekspor pasir laut masa lalu yang menuai banyak protes.

"Saya harap, pemerintah tidak sembrono menerbitkan kebijakan. Maka, saya minta PP ini perlu dikoreksi, dikaji ulang, bahkan kalau perlu dibatalkan," kata Luluk.

photo
Penambang menurunkan karung berisi pasir laut dari kapal, di Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/ama/17 - (ANTARA FOTO)

Ia mengingatkan, sejak 2003 Indonesia konsisten melarang ekspor pasir laut dengan pertimbangan lingkungan. Kala itu, Presiden Megawati merestui penghentian ekspor pasir laut lewat Permenperin Nomor 117 Tahun 2003.

Larangan itu demi menghentikan kerusakan lingkungan, mencegah kaburnya batas maritim, dan menghentikan kerusakan pulau-pulau kecil. Larangan ini memunculkan permasalahan, termasuk beragam aksi pengiriman pasir ilegal.

Luluk mendorong pemerintah mempertegas larangan, bukan malah membuka izin ekspor. Membuka ekspor pasir laut dari sedimentasi laut dikhawatirkan merupakan legalisasi untuk membawa pasir laut ke luar negeri.

Maka itu, Luluk meminta pemerintah mencabut aturan PP Nomor 26 Tahun 2023. Sebab, aturan yang membuka kembali izin ekspor pasir laut dinilai lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

"Kita dulu gagal mencegah kebocoran penyelundupan pasir laut yang melibatkan oknum aparat dan penguasa dan tidak ada jaminan kita tidak mengulang kembali jika peluang ini dibuka," ujar Luluk.

Ia mengingatkan, ada dampak jangka panjang pengerukan pasir laut yang merusak kelestarian lingkungan. Membuka eksploitasi pasir laut yang langsung mengancam eksistensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Mahfud MD: Sudah Ada Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Emas

Objek penyidikan salah satunya berada di pintu masuk pelayanan Bea Cukai Soekarno-Hatta.

SELENGKAPNYA

Jurus Masjid Ramah Lingkungan dari NU-Muhammadiyah

Kampanye energi baru terbarukan belum bisa dijalankan mengingat mahalnya perangkat panel surya.

SELENGKAPNYA

Masjid Al-Muharram, Menginspirasi Dunia Lewat Sedekah Sampah

GSS yang dipelopori oleh Masjid Al Muharram kini menginspirasi terbentuknya Gerakan Sedekah Sampah Indonesia Berbasis Masjid

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya