ILUSTRASI Nabi SAW sesudah berhijrah dari Makkah, tinggal sementara waktu di rumah seorang sahabat di Madinah | DOK REP MUSIRON

Kisah

Kisah Rumah Pertama Nabi di Madinah

Untuk menentukan lokasi tempatnya tinggal sementara di Madinah, Rasulullah SAW membiarkan untanya berjalan dan berhenti.

Nabi Muhammad SAW dan Muslimin menghadapi pertentangan yang kian keras dari mayoritas penduduk Makkah. Khususnya dari kalangan petinggi Quraisy, mereka amat memusuhi Islam. Ada kekhawatiran bahwa dakwah agama tauhid akan melenyapkan pengaruh mereka di tengah masyarakat.

Untuk menghindari persekusi Quraisy, sebagian Muslimin dipersilakan oleh Rasulullah SAW untuk berpindah ke Habasyah (Etiopia). Kala itu, negeri yang terletak di Benua Afrika itu dipimpin seorang raja Nasrani yang saleh. Untuk sementara waktu, perpindahan tersebut menjadi solusi bagi umat Islam.

Bagaimanapun, intimidasi yang dilakukan musyrikin Quraisy tak kunjung mereda. Akhirnya, turunlah wahyu yang menjadi penanda, Muslimin dapat meninggalkan Makkah. Kali ini, hijrah tidak menuju sebuah negeri di luar Jazirah Arab, melainkan Yastrib—sebuah kota yang terletak sekira 450 km arah utara Makkah.

Nabi SAW pun turut dalam hijrah ini. Beliau ditemani seorang sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan riskan, sampailah keduanya di kota tujuan. Penduduk setempat sudah menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat wajah al-Musthafa, mereka larut dalam suka cita.

Di antara kerumunan itu, salah seorang yang menyambut Rasulullah SAW ialah Abu Ayyub al-Anshari. Lelaki yang lahir dengan nama Khalid bin Zaid termasuk yang pertama-tama memeluk Islam di kalangan Anshar. Ia bahkan ikut dalam Baitul Aqobah, sebuah janji setia untuk melindungi sang utusan Allah.

 
Raut muka Abu Ayyub begitu cerah saat melihat Nabi SAW dan Abu Bakar.
   

Seperti umumnya warga Madinah, raut muka Abu Ayyub begitu cerah saat melihat Nabi SAW dan Abu Bakar. Ia pun ikut bersama orang-orang untuk mendekati, memegang tangan, dan mengucapkan salam kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasa letih dari menunggu seharian sirna sama sekali begitu menyaksikan dari dekat sosok pemimpin umat manusia.

Rasulullah SAW terus berjalan hingga tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf. Seluruh warga setempat langsung saja menghampiri beliau. Tiap orang berebut untuk memintanya agar bersedia menginap di rumah masing-masing. Bahkan, ada yang sengaja memegang tali kekang unta beliau. “Ya Rasulullah, mari tinggal di rumah kami!” kata seorang Bani Salim.

“Rumah saya saja, wahai Rasulullah! Rumah kami besar, jumlah keluarga kami banyak, serta perbekalan melimpah. Insya Allah kami sanggup melindungi Tuan,” timpal yang lain.

Nabi SAW tersenyum dan menghentikan langkahnya sejenak untuk menjawab permintaan-permintaan itu. “Biarkan unta ini berjalan. Sungguh, ia sedang diperintah,” kata beliau.

 
Biarkan unta ini berjalan. Sungguh, ia sedang diperintah.
   

Maksud Rasulullah SAW, di manapun unta tunggangannya berhenti, maka di situlah dirinya akan bertempat tinggal.

Orang-orang pun membiarkan unta milik Nabi SAW untuk kembali bergerak bebas. Makhluk berleher panjang ini lalu berjalan hingga ke perkampungan Bani Bayadhah. Akan tetapi, di sana Qashwa—demikian nama hewan tersebut—tidak sekalipun berhenti. Maka sampailah di desa Bani Sa’idah dan Bani al-Harits bin al-Khazraj. Di kedua lokasi itu pun, tidak disinggahi oleh hewan tunggangan Rasulullah SAW tersebut.

Penduduk Madinah yang dilewati unta itu hanya bisa pasrah, tetapi masih penasaran. Mereka bertanya-tanya di manakah gerangan Qashwa akan berhenti? Unta itu tiba-tiba bergerak ke arah perkampungan Bani Adi bin an-Najjar. Jangan-jangan, di sanalah tempatnya.

Beberapa orang Bani Adi bahkan sempat menahan tali kekang yang melingkari leher Qashwa. Ada pula yang berdiri di depan hewan tersebut dengan maksud menghalangi jalannya. Bagaimanapun, hewan yang telah mengiringi Rasulullah SAW dalam hijrahnya itu tak diam begitu saja. Akhirnya, mereka membiarkannya lepas lagi. Banyak warga meminta kepada Nabi SAW untuk memberhentikan unta itu di depan rumahnya.

 
Banyak warga meminta kepada Nabi SAW untuk memberhentikan unta itu di depan rumahnya.
   

“Biarkan saja unta ini berjalan, sungguh ia sedang diperintah,” jawab Rasul SAW sembari tersenyum. Kemudian, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, pilihkanlah untukku, pilihkanlah untukku.”

Saat memasuki wilayah Bani Malik bin an-Najjar, Qashwa tiba-tiba berhenti. Unta itu berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Bahkan, hewan ini tampak mengelilingi kediaman sang sahabat Nabi SAW itu. Mengertilah Rasulullah SAW, Allah Ta’ala telah mengabulkan doanya.

Beliau pun tinggal di sana. Terpilihlah rumah Abu Ayyub menjadi tempat tinggal sang muhajir termulia merupakan keberkahan yang amat besar baginya. Betapa banyak penduduk Madinah yang menginginkan kehormatan itu; bahkan ada yang sampai-sampai mencegat unta Nabi SAW. Maka betapa bersyukurnya lelaki ini.

photo
Kubah hijau di Masjid Nabawi, kota Madinah, Arab Saudi - (Karta Raharja Ucu/Republika)

Sosok Abu Ayyub

Setelah tinggal beberapa bulan di rumah Abu Ayyub al-Anshari, Nabi SAW mendirikan masjid di atas sebidang tanah yang sebagian milik As’ad bin Zurrah yang diserahkan sebagai wakaf. Sebagian lagi milik dua anak yatim bersaudara, Sahl dan Suhail bin ‘Amr. Lokasi tanah milik kedua anak yatim itu merupakan lahan penjemuran buah kurma.

Ketika pertama kali didirikan, masjid ini berukuran sekitar 50x50 meter persegi dengan tinggi atap sekitar 3,5 meter. Rasulullah SAW membangunnya bersama dengan para sahabat dan kaum Muslim. Beliau juga meletakkan batu pertama. Selanjutnya batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima masing-masing diletakkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

 
Hingga akhir hayatnya, Abu Ayyub selalu menyertai dakwah Rasul SAW.
   

Hingga akhir hayatnya, Abu Ayyub selalu menyertai dakwah Rasul SAW. Dalam situasi damai, ia merupakan petani kurma. Sahabat ini pernah menghadiahkan buah-buah kurma terbaik kepada Nabi SAW dan keluarga beliau. Atas kebaikannya ini, Rasulullah SAW kemudian membalasnya dengan memberikan seorang budak.

“Kuwasiatkan agar engkau berbuat baik kepadanya. Dan memuliakannya,” pesan Nabi SAW.

Di rumah, istri Abu Ayyub bertanya, bagaimana cara mewujudkan wasiat Rasulullah SAW itu. “Yang terbaik adalah kita memerdekakan budak ini dengan berharap ridha Allah,” jawabnya.

Abu Ayyub berusia cukup panjang. Ia turut dalam ekspedisi jihad umat Islam melawan Romawi Timur (Bizantium). Pada 52 Hijriah, lelaki ini wafat setelah sempat mengalami sakit. Muslimin melaksanakan wasiatnya, yakni menguburkan jenazahnya di jarak terdekat dari wilayah musuh. Maka mereka memakamkannya di pagar benteng Konstantinopel.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Wisata Sejarah di Kota Tua Muskat

Old Town Muscat memadukan berbagai budaya yang pernah singgah di ibu kota Oman ini.

SELENGKAPNYA

Wajah Separuh Dunia di Isfahan

Naqsh-i Jahan merupakan taman terluas di Isfahan, Iran. Namanya secara harfiah berarti 'separuh dunia.'

SELENGKAPNYA

Pesona Andalusia di Negeri India

Masjid Aiwan Begumpet yang terletak di Hyderabad, India, berjulukan Masjid Spanyol.

SELENGKAPNYA