Bendera Dinasti Saudi, wangsa yang memerintah Kerajaan Arab Saudi | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Haji pada Masa Awal Dinasti Saudi

Melalui Kongres al-Islam, Saudi menegaskan posisinya dalam urusan menyelenggarakan haji.

Pada 23 September 1932, Kerajaan Arab Saudi mulai berdiri. Abdul Aziz bin Saud menjadi raja pertamanya. Kepemimpinan lelaki kelahiran Kota Riyadh itu disambut negara-negara Barat—semisal Inggris,Prancis, dan Belanda—dengan pengakuan resmi.

Sebelum menguasai mayoritas Jazirah Arab, Ibnu Saud berhasil mengalahkan kekuatan syarif Makkah, Husain bin Ali. Kedua belah pihak terlibat perang terbuka pada 1924. Pada tahun 1926, pendukung paham Wahabisme itu dapat menguasai Haramain.

Dalam masa itu, Ibnu Saud mulai merombak sistem administrasi haji. Ia memperbaiki proses pemeriksaan kesehatan jamaah haji. Begitu pula dengan aspek keamanan bagi mereka. Sosok yang pada akhirnya meletakkan dasar Dinasti Saudi itu juga membasmi pungutan-pungutan liar, yang sejak pecahnya Perang Dunia I amat merepotkan orang-orang yang hendak berziarah ke Tanah Suci.

photo
Ibnu Saud, raja pertama Kerajaan Arab Saudi. - (DOK WIKIPEDIA)

Untuk membiayai pembenahan sektor perhajian, Ibnu Saud memberlakukan pajak. Bahkan, pajak yang dibebankan pada para pemangku kepentingan haji, terutama jamaah, turut mendongkrak pemasukan Kerajaan. Setidaknya hingga 1930-an, yakni masa mulai ditemukannya sumur-sumur minyak di Arab, pajak haji mendominasi pendapatan negara tersebut.

Tidak hanya menyoroti persoalan-persoalan teknis, Ibnu Saud juga menjadikan penyelenggaraan haji sebagai jalan membangun reputasi dinastinya di dunia internasional. Pada April 1926, ia mengumumkan rencana Kongres al-Islam alias Muktamar Alam Islamy di Makkah. Tokoh-tokoh Muslim dunia diundangnya, termasuk mereka yang berasal dari Hindia Belanda (Indonesia).

Meskipun pada akhirnya kongres itu tidak jadi diselenggarakan pada 1926, momen tersebut menjadi kesempatan bagi Muslimin Nusantara untuk meneguhkan sikap pasca-runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Dalam arti, mereka pun menaruh concern pada kehidupan keberagamaan di Tanah Suci, yang kini dikuasai rezim Saudi yang condong pada Wahabisme.

Tercatat, beberapa tokoh nasional sudah “terlanjur” datang ke Makkah guna menghadiri kongres yang sedianya dijadwalkan pada 1926 tersebut. Seperti dilansir dari buku Naik Haji di Masa Silam, di antara mereka adalah HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH M Syudja’, dan KH Mas Mansur.

Selama di kota tempat Masjidil Haram berada, Hani Agus Salim dan kawan-kawan sempat mendirikan Jamiatul Ansharul Haramain dengan tujuan “membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan haji.”

photo
ILUSTRASI Masjidil Haram, Makkah. - (DOK WIKIPEDIA)

Kongres al-Islam akhirnya jadi digelar pada 1927. Haji Agus Salim turut serta di dalamnya. Seperti diungkapkan dalam sebuah tulisannya, ketika itulah dirinya berjumpa dengan Buya Hamka, yang waktu itu masih berusia muda.

Sebelum kembali ke Tanah Air, Haji Agus Salim sempat mendorong terbentuknya Majlis Syura fii Umuriddin alias Majelis Syura Indonesia di sana. Tujuannya mempersatukan para mukimin Indonesia (kaum Jawi) untuk membuka sebuah madrasah Indonesia di Makkah. Di samping itu, organisasi tersebut juga mendorong otoritas setempat untuk terus memperbaiki kondisi penyelenggaraan ibadah haji.

Bagi Ibnu Saud, Kongres al-Islam adalah kesempatan untuk menyatakan secara jelas dan terbuka kepada Muslimin sedunia. Pertama, pihaknya tidak bermaksud menyerahkan penyelenggaraan haji kepada, katakanlah, sebuah dewan internasional.

Arab Saudi berkomitmen penuh atas urusan haji sehingga mengharapkan negara-negara lain tidak turut campur. Kedua, Kerajaan juga menyampaikan sikapnya, tidak mendukung gagasan pan-Islamisme maupun pan-Arabisme.

 

 
Arab Saudi berkomitmen penuh atas urusan haji sehingga mengharapkan negara-negara lain tidak turut campur.
   

 

Teguhnya kekuasaan Bani Saudi di Haramain mengubah situasi perhajian. Sebelumnya, penyelenggaraan ibadah ini sempat terkendala, khususnya akibat pecahnya Perang Dunia I. Tambahan pula, konflik antara Ibnu Saud dan syarif Makkah membuat jamaah sukar untuk menunaikan rukun Islam kelima ini dengan aman sentosa.

Maka, musim haji pada tahun diselenggarakannya Kongres al-Islam diikuti kebih banyak jamaah. Pada saat yang sama, situs-situs ritual haji juga diperbaiki pemerintah Saudi. Buya Hamka, sebagai seorang jamaah haji pada tahun itu, mencatatkan kesannya.

“Orang sangat banyak naik haji pada tahun itu (1927). Dari seluruh Kepulauan Indonesia, tidak kurang dari 64 ribu orang. […] Berita kemenangan Tanah Hejaz di tangan Ibnu Sa’id dan kenaikan harga getah (karet produk Indonesia –Red), semua menyebabkan orang (Indonesia) banyak naik haji.” (dikutip dari Naik Haji di Masa Silam, hlm. 69).

Antara masa usainya PD I dan dimulainya era pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Muslimin Indonesia cukup dominan bergiat di perhajian. Mereka rajin memantau kelancaran penyelenggaraan ibadah ini.

 
Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai KH M Syudja’.
   

Misalnya, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai KH M Syudja’. Kemudian, pada 1930 gerakan Islam yang diinisiasi KH Ahmad Dahlan ini membuka cabang Muhammadiyah di Makkah. Sebelumnya, KH M Syudja’— bersama dengan HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim—juga terlibat dalam pembentukan Organisasi Haji Hindia Timur pada 1923.

Ikhtia para tokoh Muslim Tanah Air dari lintas organisasi juga mewujud dalam pendirian Comite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (CPPHI) pada 1937. Inisiatornya adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Sarekat Islam. Mereka juga mendorong maskapai-maskapai perkapalan, semisal NV Schevaart dan Handel May Indonesische, untuk lebih meningkatkan layanan jasa transportasi kepada jamaah haji.

Haji pada Masa Perang Dunia

Penyelenggaraan ibadah haji sempat terkendala, bahkan terhenti, akibat pecah Perang Dunia I.

SELENGKAPNYA

Kecaman untuk Kaum LGBT

Tanqih al-Qaul karya Syekh Nawawi al-Bantani cukup populer di pesantren-pesantren.

SELENGKAPNYA

Kemapanan Tasawuf di Tangan al-Ghazali

Berkat Imam Ghazali, tasawuf sebagai ilmu menjadi kian kukuh dan diterima luas Muslimin.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya