Opini
Dicari Negarawan Bukan Politikus
Cita-cita dan moralitas berpolitik, itulah karakter jiwa negarawan, bukan sekadar politikus.
A MAKMUR MAKKA, Wartawan Senior
Pada 20 Mei yang baru lalu, kita memperingati peristiwa bersejarah, Hari Kebangkitan Nasional. Makna hari kebangkitan nasional sangat penting, karena peristiwa itu pertanda, bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran sebagai suatu bangsa.
Semangat ini terpancar pada sikap, suasana hati, dan moral para negarawan kita ketika awal mereka memikirkan republik ini sampai awal kemerdekaan. Para politikus kita berasal dari kaum terpelajar dan kelompok intelektual yang ketika itu masih sangat langka di Indonesia.
Bahkan, mereka tidak hanya terpelajar, tetapi juga kaum pilihan yang cemerlang dan punya wawasan luas. Sejumlah di antara mereka, menempuh pendidikan di Belanda, negara yang menjajah Indonesia.
Semangat kebangkitan nasional ini terpancar pada sikap, suasana hati, dan moral para negarawan kita ketika awal mereka memikirkan republik ini sampai awal kemerdekaan.
Mereka itu, antara lain Ir Sukarno, Muhammad Hatta, Mr Moh Roem, Dr Soekiman, Sutan Syahrir, Moh Natsir, Sartono, dan sejumlah lainnya lagi. Mereka itulah kemudian yang menjadi “cream de la cream” dunia perpolitikan di Indonesia.
Mereka mendirikan organisasi massa dan partai-partai untuk berdemokrasi. Konon ada yang menjadi pemimpin partai Islam, tetapi belum fasih menjadi imam dalam shalat.
Hal ini menunjukkan, mereka pada mulanya membutuhkan partai-partai yang menurut mereka, satu-satunya instrumen utama demokrasi. Sesuatu yang penting untuk bangsa dan tidak berkaitan kelompok, perebutan kekuasaan, apalagi untuk kepentingan pribadi-pribadi.
Hal ini bisa dibuktikan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Pejambon. Setiap orang yang berbicara sangat bermutu dan penuh pencerahan. Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini, berbicara tentang falsafah negara, marxisme, sosialisme, Islamisme yang sangat dalam.
Mereka menyusun kalimat-kalimat demi kalimat Preambule atau Mukkadimah Undang-Undang 1945 begitu padat, bermakna, menerobos jauh ke depan, sehingga kita sekarang ini, tidak bisa mengubah sebaris saja dari kalimat-kalimat itu.
Perdebatan mereka juga sangat bermutu dan punya toleransi yang sangat tinggi, Meminjam frasa Dr Yudi Latif: dalam sejarah berdirinya negara ini, tidak ada yang bisa menyamai kualitas perdebatan politisi kita ketika itu dalam parlemen, “discources quality index”, tidak ada yang bisa menyamainya sampai sekarang.
Bagaimana setelah Reformasi? Ketika semua orang dilanda sukacita Reformasi sekian tahun lalu, Nurcholish Madjid menulis pada Tabloid Tekad Jakarta, reformasi perlu berangkat dari kesadaran makna dan tujuan hidup lebih tinggi daripada sekadar kepentingan pribadi atau kelompok dalam arti sempit.
Dampak nyata reformasi memang bersifat sosial, dalam arti menyangkut orang banyak. Namun, titik tolak yang amat mendalam bagi tekad ini, malah amat personal yang tersimpan dalam diri manusia paling dalam tanpa kemungkinan orang lain mengintervensinya.
Tekad dalam revolusi kemerdekaan, memerlukan komitmen kepada nilai-nilai luhur budi pekerti kemasyarakatan.
Hal bersifat personal ini, berupa sistem keyakinan atau kemauan memberikan seseorang makna dan tujuan hidup dalam perjuangan cita-cita dan motivasi dalam menempuh perjuangan cita-cita tersebut.
Dengan kesadaran yang disebut ultimate, tujuan akhir dan utama, maka orang akan mempunyai kesanggupan untuk menderita karena di belakang semua ini, ia akan menemukan kebahagiaan sejati.
Apa yang dimaksud Nurcholish mengenai makna dan tujuan reformasi itu, searah dengan cita-cita para pendiri republik ini di awal kemerdekaan. Tekad dalam revolusi kemerdekaan, memerlukan komitmen kepada nilai-nilai luhur budi pekerti kemasyarakatan.
Untuk hidup dengan kesenangan tertunda dengan tidak mengikuti keinginan diri sendiri secara egois dan individualistis.
Itu pula makna kata-kata Bung Karno dulu yang terkenal bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas mencapai nilai luhur kemerdekaan pada masa mendatang. Di balik jembatan emas itu, di seberang sana, sudah menunggu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Inilah kunci, mengapa elite politik kita masa awal kemerdekaan, tidak terlihat vulgar dan sekadar ngotot dalam perdebatan politik, tetapi mereka berusaha mencari kesepakatan dan konsensus bagi kemaslahatan orang banyak yang diwakilinya.
Aturan main berpolitik, bukan untuk kekuasaan itu belaka, melainkan untuk kepentingan lebih mulia, kepentingan bangsa dan rakyat.
Mereka itu, tidak lain rakyat yang telah menopang mereka ke kursi kekuasaan. Kabinet silih berganti, tidak ada ketegangan berarti. Mereka seperti tim pelari estafet dan apabila ada yang gagal, dengan sportif mereka mengakuinya.
Mereka menyerahkan kepemimpinan kepada lawan politiknya dengan sukarela. Mereka turun dari jabatan pimpinan pemerintahan dan kembali jadi oposisi, menyusun program dan konsep baru agar dipercaya kawan lainnya untuk terpilih lagi menjadi pemimpin pemerintahan.
Aturan main berpolitik, bukan untuk kekuasaan itu belaka, melainkan untuk kepentingan lebih mulia, kepentingan bangsa dan rakyat. Cita-cita dan moralitas berpolitik mereka sangat kuat, mungkin itulah ciri dan karakter jiwa negarawan, bukan sekadar politikus.
Setelah 25 Tahun Reformasi
Pada 25 tahun usia Reformasi, banyak yang telah melupakan proses Reformasi.
SELENGKAPNYA