
Refleksi
Moral Bangsa
Pak Harto akhirnya jatuh, sebagai korban kesuksesannya sendiri.
Oleh NURCHOLISH MADJID
Tulisan ini melihat secara sepintas dan garis besar perjalanan pembangunan bangsa (nation building) di negara kita, untuk dapat memperkirakan kelanjutan apa seharusnya di masa depan.
Mula-mula ialah aspirasi kemerdekaan atau, lebih tepatnya, perlawanan terhadap penjajahan. Tahap-tahap awal aspirasi dan perlawanan itu sangat diwarnai oleh semangat Islam, karena adanya dua faktor.
Pertama, Islam adalah agama kaum pedagang, sehingga kehadiran orang-orang Barat dengan tujuan perdagangan itu merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi mereka. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, kemudian usaha (yang gagah oleh Portugis pula untuk merebut Jeddah), merupakan tonggak sejarah ancaman dan persaingan itu. Kedua, konsolidasi sosial-politik Islam di nusantara, khususnya Jawa, baru dapat dilakukan setelah jatuhnya Majapahit (1478).
Namun upaya ini segera harus berhadapan dengan bangsa-bangsa Barat yang datang ke kawasan ini silih berganti. Masyarakat Islam berturut-turut, atau bersamaan, berhadapan dengan orang-orang Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis (Jerman yang datang amat terlambat dan hanya bercokol di kawasan timur laut Pulau Papua tidak berdampak apa-apa). Berbagai perang kolonial menggambarkan hal itu semua.
Semangat Islam menitis dalam gerakan nasionalisme modern Sarekat Dagang Islam.
Perjalanan pembangunan bangsa
Semangat Islam menitis dalam gerakan nasionalisme modern Sarekat Dagang Islam, yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam. Dalam gabungannya dengan aspirasi-aspirasi dari banyak kelompok lain -- seperti Budi Utomo -- Sarekat Islam, khususnya berkat ketokohan Haji Omar Said Tjokroaminoto, telah berhasil meletakkan fondasi paling awal pandangan kebangsaan Indonesia.
Dari segi latar belakang kepribadian, Tjokroaminoto adalah seorang "priyayi" sekaligus "santri" dengan pendidikan Belanda. Jadi, sama halnya dengan banyak gejala sosial di masa-masa itu -- seperti Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB) dan lain-lain -- Tjokro dapat dikatakan merupakan contoh akibat tak tersengaja (unintended consequence) program pendidikan Belanda dalam rangka "politik etis"-nya.
Bahkan dialah yang secara amat signifikan tampil sebagai tokoh yang jelas-jelas berwawasan politik yang meliputi seluruh kawasan nusantara, melewati batas-batas lingkungan kedaerahan dan kesukuan, berbekal kosmopolitanisme Islam dan universalisme pendidikan modern.
Pandangan itu menjadi amat berarti ketika perkembangan sosial politik Hindia Belanda menginjak tahap pencarian dan pengembangan wawasan tentang sebuah negara merdeka. Bukanlah suatu kebetulan bahwa tahap itu ditokohi terutama oleh Bung Karno, seorang protege Tjokroaminoto dan (bekas) menantunya. Bung Karno dan angkatannya yang berpendidikan Belanda menggagas Indonesia Merdeka sebagai negara kebangsaan modern (modern nation state), dengan rujukan-rujukan kontemporer sesuai zaman dan "mode"-nya.
Gagasan modern nation state itu kemudian benar-benar memperoleh kesempatan untuk diwujudkan setelah Proklamasi. Namun segera ternyata bahwa prasarana sosial-budaya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan gagasan itu belum terwujud dalam masyarakat. Maka setelah berjalan dua dasawarsa, Bung Karno beserta angkatannya mengalami kesulitan besar, dan secara menyedihkan kiprah mereka harus berakhir dengan malapetaka politik 1965.
Walaupun begitu, perangkat paling dasar bangunan bangsa dan negara, baik yang keras (seperti struktur birokrasi dan ketentaraan) maupun yang lunak (seperti falsafah negara, konstitusi, dan bahasa nasional), telah benar-benar luluh oleh Bung Karno dan angkatannya. Demikian pula proses-proses nation building menuju kepada integrasi bangsa yang utuh juga sudah dirintis dengan mantap.
Gagasan modern nation state itu kemudian benar-benar memperoleh kesempatan untuk diwujudkan setelah Proklamasi.
Tetapi semuanya itu kemudian tertunda dalam perkembangannya, terutama karena akibat-akibat negatif kecenderungan Bung Karno sendiri yang mulai melihat dirinya sebagai yang paling berwenang atau berotoritas. Gaya otoriternya tumbuh tak terkendali melalui megalomaniaknya yang menyukai gelar-gelar hiperbolik, seperti gelar "Pemimpin Besar Revolusi" dan gelar-gelar lain dengan predikat serba "Bapak" -- yang penuh muatan paternalisme dan feodalisme. Suatu ironi, karena sebutan kebanggaannya yang semula -- yaitu ''Bung'' -- justru bersemangat egaliter dan kolegial.
Bung Karno pejuang dan proklamator kemerdekaan cepat berubah menjadi Bung Karno "pemimpin besar revolusi" yang sangat mendambakan keagungan pribadi (personal glory). Semua itu tidak terwujud, bahkan Bung Karno akhirnya jatuh in disgrace. Hanya waktu dan sejarah yang barangkali akan mengembalikan kepada Bung Karno haknya yang adil dan sah sebagai tokoh utama dari kalangan para penggagas dan pendiri negara.
Pak Harto menggantikan Bung Karno sebagai presiden RI. Lepas dari beberapa kontroversi dan polemik sekitar apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Harto di saat-saat awal proses pergantian itu, presiden kedua kita itu dicatat sebagai tokoh yang berhasil menumpas PKI.
Jika hal ini tidak terdengar sangat bermakna bagi sebagian orang sekarang -- tapi bagi mereka yang dahulu berjuang untuk demokrasi, khususnya para penentang ide ''Nasakom'' dan yang tergabung dalam "Liga Demokrasi" (dengan unsur-unsur utama dari Masyumi, PSI, Parkindo, dan Partai Katolik) -- makna penumpasan PKI ialah tersingkirkannya halangan dan ancaman utama usaha mewujudkan demokrasi.
Tapi sayang, Pak Harto justru membuktikan bahwa penumpasan PKI tidak berarti otomatis peluang bagi demokrasi.
Tapi sayang, Pak Harto justru membuktikan bahwa penumpasan PKI tidak berarti otomatis peluang bagi demokrasi. Pada tahap perkembangan ini segera muncul persepsi sosial-politik yang tidak kurang antidemokratisnya, khususnya dalam pandangan kaum demokrat dari Masyumi-PSI.
Mereka ini kemudian mengalami penyempitan partisipasi politik (misalnya, koran-koran mereka, yaitu Abadi dan Pedoman, dilarang), dan stigma sebagai "ekstrem kanan" -- sebuah padanan kutukan politik atas PKI sebagai "ekstrem kiri" -- dikenakan pada mereka.
Dalam gabungannya dengan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok dan golongan yang sama-sama menghendaki terhambatnya demokrasi, stigma politik "ekstrem kanan" menjadi momok paling menakutkan dalam masa-masa permulaan Orde Baru.
Penghambatan pertumbuhan dan perkembangan demokrasi sebagai kemestian modern nation state menjadi sempurna oleh pilihan tak terelakkan untuk menempuh jalan pragmatis karena prioritas pembangunan di bidang ekonomi.
Pilihan itu sendiri punya logika, yaitu mendesaknya keharusan mengatasi kemiskinan bangsa yang mencekam dan hampir tidak masuk akal (negara dengan sumber daya alam terkaya ketiga di dunia namun rakyatnya hidup miskin-papa).
Dikelilingi oleh para teknokrat yang tergabung dalam suatu kelompok hampir imajiner dengan ledekan "Mafia Berkeley", Pak Harto memimpin pembangunan ekonomi dan berhasil melipatgandakan GNP per kapita bangsa. Dengan kemakmuran nisbi itu bangsa Indonesia juga mengalami peningkatan kesejahteraan di bidang-bidang lain, khususnya pendidikan.
Baik secara nasional maupun internasional, keberhasilan pembangunan ekonomi mensyaratkan adanya stabilitas dan keamanan. Dengan dukungan berbagai pihak di luar negeri, Pak Harto mewujudkan kedua persyaratan itu, dan istilah "stabilitas dan keamanan", ditambah istilah "demi persatuan dan kesatuan" menjadi logo perpolitikan nasional yang sangat bersayap.
Dengan cara pendekatan masalah politik penuh rahasia dan kejutan atau dadakan (seperti layaknya tentera yang menyerbu musuh), Pak Harto berhasil berkuasa secara efektif selama tiga puluh dua tahun.
Baik secara nasional maupun internasional, keberhasilan pembangunan ekonomi mensyaratkan adanya stabilitas dan keamanan.
Pak Harto akhirnya jatuh, sebagai korban kesuksesannya sendiri. Ia telah berhasil meningkatkan kemakmuran nisbi rakyatnya, dan menyediakan pendidikan terjangkau masyarakat luas dengan mutu dan jenjang yang semakin tinggi.
Namun ia tampaknya tidak mampu menduga sebelumnya bahwa semuanya itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosial-politik yang amat mendasar. Yaitu kesadaran umum rakyat tentang hak-hak mereka, dan kemampuan mengartikulasikan tuntutan akan hak-hak itu. Kemakmuran dan keterpelajaran nisbi membuat masyarakat semakin "ribut" (yang dari sudut pandang kehidupan demokratis justru bernilai sangat positif).
Kesuksesan Pak Harto juga telah membuatnya lengah, sehingga lupa menarik pelajaran dari apa yang telah terjadi pada Bung Karno. Pak Harto mulai merasa dirinya tak tersaingi, bahkan tak tersentuh, dan perasaan itu agaknya ia perluas untuk meliputi putra-putrinya. Secara kolektif mereka itu semua merasa dapat berbuat apa saja tanpa khawatir kepada siapapun juga.
Di sini mulai terlihat beberapa "blind spots" Pak Harto yang menjerumuskannya kepada pelanggaran etika dan moral modern nation state. Tidak seperti Bung Karno yang jatuh terutama karena alasan ideologis (dinilai terlalu dekat dengan PKI) dengan bumbu moralitas pribadi (semacam yang dialami Presiden Clinton saat ini), Pak Harto jatuh terutama karena alasan civic morality, khususnya berupa berbagai macam penyelewengan dalam akronim KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Sama dengan Bung Karno, ternyata Pak Harto juga nampak menikmati personal glory.
Di samping itu, alasan kejatuhan Pak Harto yang lebih mendasar ialah kegagalannya memahami dan melaksanakan ide modern nation state atau negara kebangsaan modern. Sama dengan Bung Karno, ternyata Pak Harto juga nampak menikmati personal glory. Padahal gagasan paling asasi dalam pengertian negara kebangsaan modern ialah terbentuknya sebuah negara yang tidak menjadi sarana pengagungan penguasa seperti dalam kerajaan kuno.
Negara kebangsaan modern adalah prasarana untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh "anggota bangsa", yakni, rakyat, dengan ciri utama keadilan dan pemerataan, persis seperti salah satu prinsip kenegaraan yang dinyatakan dalam Mukadimah UUD 45. Karena itu, dalam sebuah negara kebangsaan modern, masyarakat tidak memandang seorang pemimpin dengan sikap penuh pengagungan (heraldic).
Pemimpin hanyalah seorang tokoh "yang pertama di antara yang sama" (primus inter pares), semata-mata karena adanya tanggung jawab formal yang dipercayakan kepadanya. Ia selamanya harus menyadari segi tanggung jawab formal itu, sehingga tidak akan sempat memandang bahwa kekuasaan, pengaruh, gengsi, prestise, penghargaan, bahkan hadiah-hadiah, adalah berkat dirinya sendiri.
Semua itu adalah tidak lain berkat adanya kedudukan sebagai akibat langsung adanya tanggung jawab formal tersebut, sehingga harus dinisbatkan atau dikembalikan kepada negara.
Disadur dari Harian Republika edisi 27 Oktober 1998. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.
Gejolak Rindu dengan Backsound Musik Bimbo
Kerinduan kepada Rasulullah jangan sampai membuat jamaah lupa dengan kondisi fisik.
SELENGKAPNYA