Asma Nadia | Republika

Resonansi

Setelah Bunda Bercerai

Air mata para istri tercurah lebih deras akhir-akhir ini.

Oleh ASMA NADIA

"Bismillah saya pakai karena Allah, saya buka karena Allah, untuk menghidupi anak-anak saya." Tidak hanya saya yang iba mendengar hal ini. Ucapan seorang istri yang terpaksa membuka niqab (cadar) di depan media massa.

Sekalipun berpotensi kontroversial, ternyata publik dan warganet justru bisa menerima keputusan tersebut. Langkah ini terpaksa diambil sang istri yang saat ini dalam proses perceraian dengan suaminya yang seorang penyanyi.

Tanpa pekerjaan dan sumber penghasilan pasti, setelah bercerai sang istri bisa kehilangan hak mengasuh anak-anaknya, sebab pihak suami memiliki penghasilan terjamin. Dengan membuka niqab, istri tersebut, konon sudah dikontrak sebuah klinik kecantikan atau produk skin care.

Air mata para istri tercurah lebih deras akhir-akhir ini. Barangkali juga ungkapan, "Jangan Bercerai, Ayah!" Terlalu berturut-turut jagat media memberitakan kabar perselingkuhan dan sebagian berakhir dengan perceraian.

 
Terlalu berturut-turut jagat media memberitakan kabar perselingkuhan dan sebagian berakhir dengan perceraian.
 
 

Berbeda dengan di Barat (baca: Amerika) yang saat bercerai, seorang istri mendapat harta cukup dari mantan suami, terutama jika merupakan harta bersama yang dimiliki setelah menikah. Di Indonesia tidak mudah bagi istri mendapatkannya.

Seperti yang dialami mertua perempuan saya. Pembangunan rumah tingkat tempat beliau tinggal dimulai dengan uang yang dimiliki sebelum menikah.

Namun, ketika bercerai, Ibu diperlakukan sebagaimana umumnya perempuan yang menikah tanpa sebelumnya membawa sepeser uang pun. Ibu mertua hanya mendapatkan uang yang bahkan tidak sebanding dengan nilai dana dari harta bawaan sebelum menikah, yang dikontribusikan pada suami sepanjang pernikahan.

Ada beberapa alasan perempuan tidak mendapatkan perlindungan yang cukup saat bercerai. Secara ekonomi, sebagian besar suami mempunyai lebih banyak sumber daya finansial dan networking untuk mendapatkan posisi lebih baik di tatanan.

 
Ada beberapa alasan perempuan tidak mendapatkan perlindungan yang cukup saat bercerai.
 
 

Secara hukum, agama, dan budaya patrilineal, dalam posisi mereka memang lebih diuntungkan. Idealnya, seorang istri mendapat perlindungan lebih. Mengingat biasanya, kaum perempuan tidak mudah untuk langsung mendapatkan kerja setelah berpisah.

Padahal, dari curhat dan berbagai cerita yang saya dengar, cukup banyak istri yang ketika gadis mempunyai karier lebih baik dari suaminya. Setelah menikah, mereka banyak yang memutuskan berhenti bekerja. Khususnya, dengan kehadiran anak-anak.

Tanpa ragu para ibu memutuskan berhenti bekerja. Mereka memilih fokus pada keluarga. Memastikan rumah nyaman dan menjadi tempat pulang terbaik bagi para suami, merawat bayi, dan mengawal tumbuh kembang anak-anak dengan baik.

Saat karier suami melesat dan dia semakin mapan, tragisnya bukannya menghargai pengorbanan istri bertahun-tahun, mereka malah terpikat wanita lain. Lebih parah lagi, lalu memutuskan tinggal dengan perempuan yang sudah merusak rumah tangganya daripada kembali pada istri dan anak-anak.

 
Saat karier suami melesat dan dia semakin mapan, tragisnya bukannya menghargai pengorbanan istri bertahun-tahun, mereka malah terpikat wanita lain.
 
 

Terbayang ketika perceraian kemudian terjadi, usia ibunya anak-anak yang tidak lagi muda. Dunia di luarnya terus bergerak cepat ketika para perempuan pejuang itu menghabiskan sebagian besar umur mereka di ranah domestik.

Mereka jelas tidak lagi berada di usia segar seperti ketika memulai karier. Lowongan kerja pun tak banyak terbuka untuk mereka.

Tanpa perlindungan dan pembelaan, setelah bercerai, akan berat bagi para istri yang tidak bekerja sebelumnya untuk menghidupi anak-anak. Pedih sebab perceraian bukan saja merampas keberadaan suami, melainkan juga akhirnya membuatnya kehilangan anak-anak.

Seorang teman terpaksa berpisah dengan empat buah hati tanpa ada gono gini. Empat anak yang sehari-hari dipeluk dan menjadi limpahan kasih sayang sejak dalam kandungan.

“Karena saya nggak bisa memberi anak-anak tempat tinggal yang layak. Karena sang ayah lebih mampu menyekolahkan mereka.” Jelasnya pahit.

“Tapi perceraian ini kan terjadi karena…” protes saya bersambut senyum getirnya. Benar, bukan teman saya yang bersalah, melainkan suaminya yang berkhianat.

Bertahun-tahun setelah itu, sampai saat ini, teman saya masih tinggal terpisah dari anak-anaknya. “Padahal, semua ingin bersama ibunya.” Apalagi, hanya dalam waktu singkat, sang ayah sudah menikah tiga kali.

Barangkali berkaca dari pengalaman ibunya dan sebagian curhat yang sampai ke telinganya, maka menikah, suami justru memiliki ide berbeda. Ia mencatatkan kendaraan pertama yang kami miliki, atas nama saya, istrinya.

Saat kami membeli rumah, ia pun mencantumkan nama saya dalam kepemilikan. Dengan cara itu, jika terjadi apa-apa menurut suami --ia telah mengamankan kehidupan istri bersama anak-anaknya pada masa depan.

Jika terjadi suami sampai lupa diri, tindakan preventifnya memastikan sebagai lelaki dia tidak akan memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada perempuan lain, apalagi untuk memulai hidup baru bersama orang lain. Apa kabar jika sudah telanjur menikah?

Berdasarkan keputusan MK, perjanjian pren-up kini bisa dibuat meski pasangan telah menikah. Jangan memandang prenuptial agreement sebagai perjanjian pemisahan harta, agar kekayaannya tidak terkuras pasangan jika bercerai. Niatkan demi menjamin istri agar tidak terabaikan, dan agar anak-anak terlindungi setelah perceraian.

Atau beri klausul jelas, hingga istri tidak bisa juga semena-mena. Misalkan suami akan memberikan setengah hartanya, menjamin tempat tinggal istri dan anak-anak serta biaya pendidikan para buah hati, jika perceraian terjadi akibat suami selingkuh.

Tentu lebih baik, jika perjanjian seperti ini merupakan inisiatif pihak suami dan dibuat di awal pernikahan, ketika cinta dan sayang sedang mekar-mekarnya. Jika suami tidak cukup sensitif melindungi istri secara hukum, bukan mustahil pren-up diajukan istri.

Lebih ideal bila pren-up masuk dalam salah satu prosedur sebelum pernikahan. Penghulu sebelum akad bisa menyodorkan pren-up perlindungan untuk istri yang boleh ditandatangani atau tidak, itu pilihan.

Dulu, ketika banyak kasus suami meninggalkan istri tanpa kabar dibuatlah kebijakan pernyataan sighat taklik oleh suami untuk melindungi istri. Dengan kata lain pren-up juga bisa dimasukkan seperti ini, menjadi bagian sistem.

Sekilas perlindungan ini terkesan akan menguntungkan perempuan, tetapi jika sejak awal pasangan menikah dengan tujuan baik --tanpa ada niat berselingkuh-- seharusnya tidak ada alasan para suami merasa keberatan. Bisa jadi justru menguatkan sikap setia para suami.

Kala Yahudi Madinah Berkhianat

Peristiwa pengkhianatan kaum Yahudi ini terjadi pada bulan Dzulqaidah.

SELENGKAPNYA

Bijak Menyikapi Setiap Fase Pengasuhan Anak

Mengasuh anak terkadang memang terasa sangat menantang.

SELENGKAPNYA

Disfungsi Ereksi dan Keretakan Rumah Tangga

Banyak pria yang masih ragu dan malu membicarakan kondisi kesehatan mereka terkait dengan organ reproduksi.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya