
Dunia Islam
Riwayat Panjang Kesultanan Siak
Kesultanan Siak berdiri sejak awal abad ke-18 M, berpusat di daerah yang kini Provinsi Riau.
Kesultanan Siak Sri Inderapura ikut mewarnai sejarah Islam di Bumi Melayu. Lokasi kerajaan ini berada di tepi Sungai Siak atau yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Menurut Khairiah dalam artikelnya pada jurnal Sosial Budaya (2014), nama kerajaan itu adalah perpaduan istilah-istilah dalam bahasa Melayu dengan pengaruh India-Sanskerta.
Dalam bahasa Melayu, terminologi siak-siak merujuk pada tumbuhan berkhasiat obat yang mudah dijumpai di sekitar Sungai Siak. Siak juga berarti ‘seorang petapa yang taat beragama.’ Sementara itu, sri, indera, dan pura dalam bahasa Sanskerta berturut-turut adalah ‘cahaya’, ‘raja’, dan ‘kota’. Dengan demikian, nama kerajaan ini bermakna ‘pusat kota raja yang taat beragama’.
Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak di Buantan pada 1723. Leonard Y Andaya melalui Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka (2008:75) menggambarkan sosok Raja Kecil sebagai putra Sultan Mahmud II, pemimpin Johor, dari selirnya yang bernama Encik Pong yaitu putri Laksamana.
Sementara Kesultanan Siak terus berkembang, Belanda kian mengukuhkan pengaruhnya di Nusantara, termasuk negeri-negeri Melayu Sumatra. Pada 1752, Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah menjalin hubungan dengan Kompeni. Kongsi dagang negeri Eropa itu diizinkan untuk mendirikan benteng di sekitar Pulau Guntung.
Namun, pada akhirnya Kompeni merusak perekonomian Sungai Siak dengan ambisi monopoli. Bahkan, pihak asing ini berani memungut pajak dari para pedagang yang melintasi perairan Siak.

Menghadapi penjajah
OK Nizami Jamil dalam Sejarah Kerajaan Siak, seperti dikutip Ahmad Supandi (2015), menjelaskan bagaimana Kesultanan Siak jatuh bangun menghadapi Belanda. Satu bulan lamanya Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah menggempur benteng Kompeni di Pulau Guntung. Upayanya menemui kendala karena persenjataan Belanda jauh lebih unggul.
Akhirnya, kesepakatan damai disetujui antara kedua belah pihak pada 1760.
Sampai ujung masa kepemimpinannya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah tidak juga mampu menumpas Belanda dari wilayah Siak. Untuk itu, dia mewariskan semangat perlawanan kepada anaknya, Tengku Ismail.
Sosok yang kemudian menjadi raja Siak ini diingatkan agar tidak pernah memancing timbulnya perang saudara dan setia berjuang melawan penjajahan Belanda.
Setelah ayahnya wafat pada 1760, Tengku Ismail naik takhta dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Syah. Kompeni yang tidak menyukai raja baru ini segera mencampuri urusan internal Siak. Caranya dengan memperalat Tengku Alamuddin yang berambisi merebut posisi raja Siak dari keponakannya itu. Bila sampai berhasil rencana penggulingan kekuasaan ini, Belanda dapat mendirikan lagi benteng di Pulau Guntung. Ternyata, rencana itu berhasil.

Sultan Ismail memilih untuk menyerah terhadap pamannya demi menghindari perang saudara yang berlarut-larut. Dia pun pergi ke Pelalawan dan kemudian Langkat. Sesampainya di Siantan, Sultan Ismail menggalang dukungan dari orang-orang laut sehingga dapat mengendalikan perdagangan timah di Bangka. Setelah pelbagai persiapan perang, Sultan Ismail berhasil merebut kembali takhta dari Tengku Alamuddin pada 1779.
Pemerintahan Sultan Ismail hanya berjalan selama dua tahun. Kedudukan raja Siak diberikan kepada putranya, Yahya Abdul Jalil Muzzafar Syah. Saat berkuasa, Sultan Yahya memindahkan ibu kota kerajaan ke Mempura. Namun, intrik politik kembali terjadi untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Yahya. Akibatnya, pemimpin Siak ini menderita sakit keras dan wafat pada 1784.
Tampuk tertinggi Kesultanan Siak selanjutnya ada pada Tengku Udo alias Syarif Ali. Pada periode inilah berlangsung perubahan nama kerajaan menjadi Kesultanan Siak Sri Inderapura. Dia juga mendirikan istana di Koto Tinggi, memperkuat militer, dan berupaya menyatukan raja-raja Melayu di pesisir timur Pulau Sumatra. Hasilnya, sebanyak 12 negeri berhasil dikumpulkannya dalam satu aliansi.
Hegemoni Belanda
Sepanjang abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang berpengaruh besar di perairan Selat Malaka. Sejak 1780, kerajaan ini berhasil menaklukkan Langkat, Deli, dan Serdang. Meskipun begitu, campur tangan Belanda berimbas besar pada goncangan politik di internal istana. Kadangkala, raja-raja setempat mesti berkompromi agar tetap mampu mengonsolidasi eksistensi negerinya.
Siak sempat menganggap Belanda sebagai sekutu untuk menaklukkan beberapa daerah. Sebagai contoh, pada 1784 kesultanan ini menjalin kerja sama dengan Kompeni agar dapat menundukkan Selangor atau pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat. Akan tetapi, dampak buruk dari ikatan perjanjian dengan Kompeni lebih dirasakan Siak.
Satu per satu wilayah taklukan lepas kendali, semisal Deli, Asahan, Langkat, dan Indragiri. Malahan, Kompeni berada di belakang pengukuhan kembali Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat serta membantu pembentukan Kesultanan Lingga.
Khairiah dalam Menelusuri Jejak Arkeologi di Siak (2014) mengungkapkan kerugian yang diderita Kesultanan Siak akibat politik Belanda di Sumatra. Wilayah kerajaan Islam ini menjadi kian menyempit, terutama setelah Belanda mulai mendirikan Residentie Riouw di Tanjung Pinang. Lebih lanjut, pada 1840 Melaka jatuh ke tangan Inggris sehingga membuat raja Siak terpaksa membuat kesepakatan baru pada 1819.
Sejak 1 Februari 1858, berdasarkan perjanjian yang mengikat, Belanda menganggap Kesultanan Siak sebagai suatu bagian dari Hindia Belanda. Praktis, para sultan Siak setelahnya telah kehilangan kedaulatan negeri. Kerajaan Islam ini dilarang untuk membuat kesepakatan dengan bangsa-bangsa asing tanpa persetujuan Belanda.
Kemudian, Belanda juga mendirikan pos militer di Bengkalis untuk lebih mengawasi para pemimpin Siak dan keluarga. Hal itu lantaran menurut perjanjian pada 26 Juli 1873, Kesultanan Siak harus menyerahkan wilayah Bengkalis kepada residen Belanda di Riau.
Bertolak belakang dengan situasi pada abad ke-18, sepanjang abad ke-19 Kesultanan Siak mengalami penurunan pengaruh. Wilayah-wilayah yang dahulu dikendalikan, mulai saat itu lepas dan menjadi negeri-negeri yang mandiri. Hal itu terutama karena kuatnya pengaruh Belanda dan Inggris di sekitar Selat Malaka.
Bagaimanapun, Kesultanan Siak tetap bertahan sampai tiba abad ke-20. Pada kurun waktu ini, tumbuh kesadaran nasionalisme di tengah masyarakat, khususnya kaum terpelajar. Di lingkungan istana Siak sendiri sudah tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Memang, pada umumnya orang-orang Siak gemar merantau, termasuk dalam soal mencari ilmu pengetahuan. Sejak awal abad ke-20, tidak sedikit anak-anak bangsawan yang juga menempuh pendidikan berhaluan Barat, tanpa meninggalkan ilmu-ilmu agama.
Sebagai contoh, Tengku Sulung Sayed Kasim, yang kelak menjadi raja Siak yang terakhir, yakni bergelar Sultan Syarif Kasim II. Ia belajar agama Islam di Siak dan juga Jakarta, terutama kepada Sayyid Husein al-Aidit. Mengikuti saran pemerintah kolonial, dia juga menerima pengajaran hukum dan tata negara modern dari orientalis Snouck Hurgronje.

Dengan keluasan pemikiran, para sultan Siak tidak memandang berbeda pergerakan nasionalisme daripada perjuangan menegakkan kedaulatan di negeri sendiri. Pada akhirnya, ketika berkuasa Tengku Sulong tidak ragu untuk menegaskan peleburan kerajaannya ke dalam bingkai Republik Indonesia. Bahkan, dia ikut menyumbang harta dalam jumlah besar kepada negara yang baru lahir itu.
Kisah Umar Menolak Hadiah dari Pasukan
Bagi Umar, tidak pantas seorang amirul mukminin menerima hadiah dari pasukan di medan pertempuran.
SELENGKAPNYABabi yang Dianggap Ade Armando tak Selalu Haram
Tidak ada satu pun dalil baik Alquran maupun hadis yang memberikan pengecualian.
SELENGKAPNYAMasjid Simbol Persatuan Negeri Jiran
Masjid Negara Malaysia dibangun dalam konteks mensyukuri kemerdekaan negeri jiran ini.
SELENGKAPNYA