
Kronik
Refleksi Krisis Asia 1997-1998
Krisis ekonomi moneter di Indonesia lebih banyak disebabkan faktor-faktor luar neger.
Oleh JUWONO SUDARSONO
Pergantian pemerintahan Indonesia dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie pada 21 Mei 1998 merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian krisis ekonomi dan politik seluruh Asia-Pasifik yang resminya dimulai pada 2 Juli 1997 di Thailand.
Seperti juga di Korea Selatan dan Thailand, krisis ekonomi moneter di Indonesia lebih banyak disebabkan faktor-faktor luar negeri daripada disebabkan krisis yang berkembang di dalam negeri. Seperti juga di beberapa negara Amerika Latin pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, krisis ekonomi moneter yang bersumber di luar negeri menjadi penyebab utama guncangan sosial dan politik di Brazil, Argentina, Cile, dan Meksiko.
Keabsahan pemerintah digerogoti oleh ketidakmampuan pemerintahan memahami dengan sigap gerak cepat pasar uang dan pasar modal yang ditangani oleh golongan profesional dan kelas menengah masing-masing negara, yang akhirnya menarik kepercayaan dari pemerintahan yang berkuasa.
Seperti juga di Korea Selatan dan Thailand, krisis ekonomi moneter di Indonesia lebih banyak disebabkan faktor-faktor luar negeri.
Pergolakan mahasiswa, kegelisahan kelas menengah, dan menurunnya keadaan sosial-ekonomi adalah sebab-sebab sampingan dari rangkaian pergantian pemerintahan dan penyusunan kembali agenda politik dan ekonomi. Sebab sampingan lain yang tidak kalah pentingnya di Indonesia adalah lemahnya kelembagaan ekonomi dan politik di Indonesia, yang menyebabkan krisis ekonomi-moneter 1997-1998 lebih parah di Indonesia dibandingkan dengan yang melanda Korea Selatan dan Thailand.
Analisis yang menyebutkan bahwa sebab utama krisis adalah akibat praktek kecurangan dan korupsi di Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara lain seharusnya menjelaskan mengapa krisis tidak dimulai sepuluh tahun sebelumnya ketika deregulasi ekonomi dan perbankan gencar dilaksanakan. Sebab-sebab pokok krisis ekonomi-moneter bersumber dari tiga perkembangan regional dan global:
(1) Membanjirnya dana serta modal dari Eropa, Jepang, dan Amerika ke Asia Pasifik akibat persepsi ''mukjizat ekonomi Asia Timur'' yang digambarkan dalam laporan Bank Dunia 1993. Asia Timur dianggap sebagai percontohan pembangunan ekonomi yang tepat-kebijakan: anggaran berimbang, defisit yang terkendali, pasar yang menjanjikan, pertumbuhan cukup tinggi, stabilitas kebijakan politik.
Dana-dana serta modal segar ini dikelola oleh sekelompok pengusaha dan pejabat pemerintahan ke dalam wadah kronisme tak terkendali yang dibantu oleh kerasukan para pengelola reksadana, investor, serta bank-bank swasta internasional.
Separuh lebih arus modal dan uang ini berasal dari Eropa, sepertiga dari Jepang, dan sekitar 15 persen dari Amerika Utara. Faktor pemompaan utuh (total factor productivity) sebagaimana diungkap ekonom Paul Krugman, menjadi landasan utama kebijakan yang dianggap mukjizat.
(2) Menurunnya daya saing perekonomian Asia Timur dan Asia Tenggara akibat pengguntingan mata uang RRC sebesar 35 persen pada September 1994, yang mengakibatkan daya saing industri menengah dan kecil seluruh Asia Tenggara terpukul. Tahun 1995-1996 ekspor Thailand menurun 30 persen, Indonesia 20 persen, Malaysia 18 persen, Korea Selatan 12 persen. Cadangan devisa untuk ekspor semakin tipis, karena sasaran ekspor seperti Amerika Utara dan Eropa berminat pada produk-produk sejenis hasil pabrik-pabrik RRC.
(3) Utang swasta dan kekacauan sistem perbankan akibat tak terkendalinya pinjaman-pinjaman pokok dan membesarnya angsuran bunga yang dipikul oleh sebagian perusahaan dan bank yang dilindungi oleh pejabat-pejabat pemerintahan yang berpengaruh, bersaing satu sama lain, dan yang dipacu oleh kerasukan penyalur dana luar negeri yang menginginkan laba cepat di pasar yang menjanjikan.
Walhasil, ketiga faktor utama itu berangsur-angsur berpengaruh pada kemerosotan tajam di bidang ekonomi.
Walhasil, ketiga faktor utama itu berangsur-angsur berpengaruh pada kemerosotan tajam di bidang ekonomi, terutama di kalangan kelas menengah di Seoul, Bangkok, dan Jakarta, yang selama 15 tahun menikmati mukjizat yang berubah menjadi malapetaka. Rupiah menurun hampir 80 persen dalam waktu delapan bulan, inflasi naik sampai 65 persen dalam waktu enam bulan. Kelas menengah resah dan mulai mempersoalkan yang semula tidak terlalu dipersoalkan: alokasi kredit yang wajar, keadilan sosial yang kurang diperhatikan.
Dimulai di Thailand dan Korea, serta memuncak dengan Mei 1998 di Jakarta, pemerintahan tak kuasa menahan tuntutan kelas menengah untuk pembaharuan dan reformasi. Dalam keadaan 18 bulan setelah krisis terjadi, ada beberapa faktor dasar yang perlu dicermati oleh para pengamat maupun pelaku pemerintahan dan kalangan swasta.
Yang pertama ialah untuk menakar secara tepat dan tepat perimbangan yang tepat antara ''negara'' dan ''pasar''. Para pengelola valuta asing, investor, dan pengelola dana-dana adalah pelaku-pelaku non-pemerintah yang berperan jauh lebih kuat dan lebih luas daripada yang diduga pada tahun 1980-an. pengalaman Indonesia misalnya, dengan hilangnya kekayaan dan aset moneter dalam waktu kurang dari delapan bulan menyebabkan 23 juta pekerja Indonesia kehilangan pekerjaan yang erat kaitannya dengan gerak pasar uang dan pasar modal.
Itulah sebabnya dalam program rehabilitasi, yang utama adalah pemantapan program Jaring Pengaman Sosial.
Karena itu, tugas pemerintahan untuk ikut mengawasi penyaluran dana serta aset harus semakin kuat, bukannya terlalu longgar dideregulasi atas dasar ''kekuatan pasar'', sebab kekuatan pasar cenderung menguntungkan pemodal kuat, bukan pengusaha kecil atau menengah. Semakin terderegulasi, semakin penting hadirnya santunan tangan negara untuk memastikan bahwa arah, jumlah dan volume aset perbankan dan permodalan harus menjangkau lapisan menengah dan kecil.
Itulah sebabnya, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional menyadari kesalahan langkah yang ditempuh di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia selama September 1997-April 1998. Itulah sebabnya dalam program rehabilitasi, yang utama adalah pemantapan program Jaring Pengaman Sosial, khususnya di bidang sembilan bahan pokok, kesehatan pendidikan. Tanpa jaring pengaman sosial, gejolak sosial politik akan mempertajam gejolak ekonomi.
Yang kedua adalah membangun konsensus antara kaum bisnis, buruh pekerja, dan petani melalui organisasi dan asosiasi yang langsung berkaitan dengan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Tanpa ada kelembagaan dan organisasi yang kuat, kaum pekerja di kota-kota besar dan kalangan petani di pedesaan tak akan mampu memiliki daya tawar yang wajar, terlebih-lebih apabila perusahaan industri dan pertanian yang banyak menggunakan teknologi modern yang padat modal.
Yang ketiga adalah membangun sistem informasi yang memungkinkan komunikasi yang terbuka, sehat, dan tepat. Dengan begitu dapat diharapkan terbangunnya rasa kepercayaan dan keterbukaan, serta terbinanya budaya tanggung jawab di semua lapisan masyarakat.
Selain itu, perlu juga dikembangkan bentuk-bentuk kerjasama bersifat horizontal antar-kelompok masyarakat.
Yang keempat adalah membangun kembali kepercayaan terhadap pemerintahan (governance), yang dibedakan dari pemerintah (government). Keterbukaan yang efektif hanya mungkin dilaksanakan apabila terbina suasana ketertiban yang paling minimal. Kritik yang terbuka dan sehat amat penting dikembangkan dalam suasana di mana rekapitalisasi modal sosial lebih penting daripada rekapitalisasi perbankan.
Selain itu, perlu juga dikembangkan bentuk-bentuk kerjasama bersifat horizontal antar-kelompok masyarakat, ras, agama, atau suku sebagai bagian dari upaya penciptaan ketentraman dan rasa aman, dan iklim yang sehat bagi kegiatan ekonomi berskala kecil, menengah atau besar.
Yang kelima adalah membangun kemampuan organisasi yang rapi dan rinci. Selama ini, kebanyakan dari kalangan pemimpin organisasi, termasuk pemerintahan, seperti di Indonesia, cenderung melupakan atau kerap memiliki kemalasan untuk menyusun bangun organisasi yang secara rinci mengatur setiap aspek pekerjaan dan kegiatannya.
Apabila lima tugas pokok di atas dapat dilaksanakan dengan tekun, sabar, dan berkesinambungan, insya Allah Indonesia dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya akan keluar dari kemelut lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Disadur dari Harian Republika edisi 29 Desember 1998. Juwono Sudarsono menjabat berbagai pos di kabinet sejak Reformasi.
Riwayat 32 Tahun Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Soeharto terpaksa menerima desakan reformasi politik.
SELENGKAPNYABunga-Bunga Api Menjelang Perubahan
Kerusuhan meletus di seantero negeri menjelang lengsernya Presiden Soeharto.
SELENGKAPNYA