
Dunia Islam
Syiar Islam di Pulau Bawean Dalam Sejarah
Islam telah menjadi bagian dari identitas orang-orang Bawean sejak berabad-abad silam.
Syiar Islam menggema di Pulau Bawean sejak berabad-abad silam. Di daerah yang kini termasuk Kabupaten Gresik, Jawa Timur, itu, edukasi berperan sangat besar dalam penyebaran dakwah. Melalui institusi-institusi pendidikan tradisional, Islamisasi di pulau tersebut dapat menyebar secara luas dan merata.
Pengajaran Islam pada awalnya hanya dilakukan di rumah-rumah, langgar atau mushala, dan masjid. Sistem pendidikan di tempat-tempat tersebut hanya menitikberatkan pada pembelajaran Alquran, tata-cara pelaksanaan shalat, serta beberapa ibadah wajib lainnya. Bagaimanapun, tidak sedikit para murid setempat yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama berpengaruh.

Bila melihat pada catatan sejarah daerah ini, penyebaran syiar Islam dimulai sejak datangnya Syekh Maulana Umar Mas'ud ke Bawean pada abad ke-16 Masehi. Seiring dengan kedatangan tokoh itu, umat Islam Bawean banyak mendirikan langgar di kampung-kampung sebagai tempat belajar agama.
Bentuk langgar tua di Pulau Bawean pada umumnya seperti rumah panggung khas Melayu.
Bentuk langgar tua di Pulau Bawean pada umumnya seperti rumah panggung khas Melayu yang terbuat dari papan kayu jati. Namun, sekarang sudah sangat jarang ditemukan langgar dengan bentuk seperti itu karena kebanyakan sudah dibangun dengan tembok.
Layaknya bangunan mushala, langgar berbentuk ruangan memanjang sebagai tempat mengaji, shalat, sekaligus tempat tidur bagi pemuda Bawean. Namun, bentuk bangunan langgar biasanya lebih kecil daripada masjid.
Langgar memainkan peranan penting dalam penyebaran pendidikan Islam di Pulau Bawean. Surau-surau tersebut biasanya dibangun atas sumbangan penduduk setempat. Namun, ada juga yang dibangun dengan biaya perseorangan.
Masyarakat Bawean pada masa dulu bertempat tinggal di kawasan yang sangat terpencil sehingga untuk mendapatkan pelajaran agama agak terbatas. Karena itu, pengajian di langgar menjadi salah satu alternatif bagi anak-anak Bawean untuk belajar agama.
Pengajian itu menggunakan sistem yang sangat tradisional. Hampir di setiap kampung pasti terdapat sebuah langgar, bahkan rata-rata terdapat dua atau lebih. Para tokoh penyebar Islam mem berikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan untuk masa depan umat Islam Bawean. Karena itu, setelah membangun langgar para ulama Bawean juga mendirikan pondok pesantren.
Seperti halnya KH Hamid Thobri yang berdakwah di Desa Sidogedungbetu, Kecamatan Sangkapura. Sepulangnya dari Makkah, ulama tersebut awalnya hanya mendirikan sebuah langgar di Dusun Batu sendi pada 1941 M. Kemudian, karena santrinya makin banyak, akhirnya dia pun mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda di Dusun Pancor, Sidogedungbatu pada 1948 M.
Setelah memiliki bekal agama yang cukup, para kiai lulusan pesantren itu pun banyak yang mendirikan langgar atau mushala di kampungnya masing-masing. Jumlah langgar di Bawean pun makin banyak bermunculan.

Jika ada orang Bawean yang tidak bisa membaca Alquran, akan dianggap sebagai aib bagi keluarganya.
Jika ada orang Bawean yang tidak bisa membaca Alquran, akan dianggap sebagai aib bagi keluarganya. Oleh karena itu, masyarakat Bawean pasti menitipkan anak-anaknya kepada kiai kampung untuk belajar Alquran di langgar ataupun pesantren. Tidak dapat dinafikan, perkembangan dan kemajuan Islam di Bawean adalah hasil daripada peranan yang dimainkan oleh pondok pesantren.
Salah satu ulama Bawean yang berperan penting dalam kemajuan Islam di Bawean adalah KH Hasan Jufri yang mendirikan Pondok Pesantren Hasan Jufri pada 1930-an. Ribuan masyarakat Bawean generasi saat ini merupakan lulusan dari pesantren ini.
Dalam buku Pesantren Hasan Jufri dari Masa ke Masa, Ali Asyhar menceritakan, pada awalnya Kiai Hasan Jufri hanya menggelar pengajian di serambi rumah. Untuk santri yang mukim, kemudian dibuatlah bangunan sederhana dari bambu.
Cikal bakal Pondok Pesantren Hasan Jufri itu berada di tengah-tengah Dusun Lebak, Desa Lebak, Sangkapura, Bawean. Kegiatan pengajian saat itu hanya dilaksanakan dengan penerangan obor dan lampu gantung. Lambat laut, jumlah santrinya pun makin banyak dan pesantrennya pun dibangun dengan lebih modern oleh para penerusnya.
Hingga saat ini, Pondok Pesantren Hasan Jufri sudah memiliki pendidikan formal, seperti MTS, MA, dan SMK. Bahkan, pesantren ini sudah memiliki perguruan tinggi agama Islam swasta, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri (STAIHA).
Pulau Bawean hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Sangkupura dan Tambak. Meskipun pulau terpencil, pesan tren tum buh subur di Pulau Bawean. Setidaknya saat ini ada 13 pesantren yang tercatat di Kecamatan Sangkapura. Sedangkan di Kecamatan Tambak ada tujuh pondok pesantren.

Budaya merantau
Setelah dibekali dengan dasar-dasar agama, para pemuda Bawean banyak yang melanjutkan pendidikannya ke tanah Jawa. Namun, tidak sedikit juga yang merantau untuk mencari pekerjaan ke kota-kota besar di Indonesia maupun ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ketiga negara tersebut seakan-akan sudah menjadi “tanah air kedua” bagi orang Bawean. Masyarakat Bawean yang merantau ke tiga negara tersebut dikenal sebagai orang boyan. Mereja terkenal ulet, kerja keras, hemat, dan religius. Karena itu, mereka mampu bertahan hidup di negara-negara tersebut.
Sampai saat ini, sudah banyak keturunan Bawean yang menjadi warga ke tiga negara itu. Keturunan Bawean di rantau biasanya membentuk perkumpulan untuk menunjukkan identitas. Namun, mereka kebanyakan sudah tidak pandai lagi menggunakan bahasa asli Bawean.
Banyaknya laki-laki lokal yang merantau menjadikan Bawean mayoritas dihuni kaum perempuan sehingga pulau ini mendapatkan julukan "pulau putri."Bahkan, sebagian orang menyebut Bawean sebagai "pulau kelahiran dan kematian." Artinya, mereka lahir di Bawean, muda merantau, dan kalau sudah tua pulang lagi ke Bawean hingga tutup usia.
Masyarakat Bawean memang dikenal gemar merantau. Namun, Ali Asyhar dalam bukunya menjelaskan bahwa sebelum merantau orang-orang muda Bawean diharuskan memiliki empat bekal. Pertama, mampu mengaji Alquran dengan baik, membaca Barzanji dengan langgam tradisional Bawean, khatam mendaras kitab Sullam Safinah, dan menguasai pencak silat khas setempat.
Dalam buku berjudul Bawean dan Islam, Jacob Vrendenbergt mengatakan, sejarah migrasi orang Bawean dimulai pada abad ke-19 dengan menggunakan perahu-perahu layar. Awalnya, perantauan itu dilakukan dengan kerja sama dan ikatan persaudaraan yang kuat. Pada masa itu modal orang Bawean yang hendak merantau hanya uang yang sangat terbatas, tenaga, dan semangat.

Sejarah Berdirinya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI diprakarsai tokoh Muhammadiyah, Prof Lafran Pane.
SELENGKAPNYAMengenal Lebih Dekat Lafran Pane, Pendiri HMI
Lafran Pane menggagas berdirinya HMI kala menjadi mahasiswa STI Yogyakarta.
SELENGKAPNYA