Dunia Islam
Mengenal Aktivis Kemerdekaan Palestina, Azzam Tamimi
Azzam Tamimi kerap menyuarakan kritik terhadap pencitraan Barat yang memosisikan Israel seolah-olah korban.
Pria berdarah Palestina ini dikenal luas sebagai aktivis politik dan kolumnis. Azzam Tamimi lahir pada 1955 di kota para nabi, Hebron, Tepi Barat. Sebagaimana warga Palestina lainnya, keluarganya turut berjuang mempertahankan kedaulatan negara terhadap penjajahan Israel yang kian merangsek sepanjang paruh kedua abad ke-20.
Ia menghabiskan masa kecil hingga usia tujuh tahun di kota kelahirannya itu. Kemudian, keluarga Tamimi memutuskan untuk bermigrasi ke Kuwait.
Di negeri kawasan teluk itu Azzam menjalani masa remaja. Lulus dari sekolah menengah, keluarganya memutuskan untuk mengirim Azzam ke London, Inggris Raya. Tujuannya agar putra kesayangan itu dapat menempuh pendidikan tinggi. Akhirnya, Azzam meraih gelar sarjana sains pada 1979 dari Universitas Sunderland.
Dalam masa itu, keluarganya pun mulai ikut berhijrah ke Inggris. Sejak saat itu, mereka menjadi warga negara Negeri Albion tersebut. Sejak menikah, bapak tiga anak ini menetap di Willesden yang berlokasi di barat-laut London.
Meskipun secara akademis pakar di bidang sains, minat Azzam juga sampai pada ranah politik. Hal ini antara lain dibuktikannya dengan menimba ilmu teori-teori politik di Universitas Westminster.
Pada 1998, dia memperoleh gelar doktor dari kampus tersebut. Keterlibatannya dalam ruang publik bukan hanya sebagai pengajar, melainkan juga aktivis dan juru debat. Ia kerap menghadiri pelbagai forum diskusi agama-agama. Di antaranya, Azzam berhasil menangkis tudingan-tudingan pendeta Kristen terkemuka Amerika Serikat, Jay Smith.
Azzam berhasil menangkis tudingan-tudingan pendeta Kristen terkemuka Amerika Serikat, Jay Smith.
Azzam Tamimi masuk keanggotaan Asosiasi Muslim Inggris (MAB; berdiri sejak 1997). Tidak memerlukan waktu lama, ia mendapatkan peran penting membela hak-hak kaum Muslim melalui lembaga tersebut.
Satu momentum baginya adalah demonstrasi mengutuk invasi Amerika Serikat atas Irak pada 2003. Sebelumnya, MAB juga menyuarakan dukungan kepada perjuangan pembebasan Palestina dalam Intifada Kedua periode 2000-2005.
Mereka sering menggelar diskusi publik dan unjuk rasa damai di berbagai titik di Inggris.
Pada 2009, Azzam meluncurkan bukunya tentang perjuangan rakyat Palestina, Hamas: Unwritten Chapters. Seperti disebut Puan Z Nalla dalam resensi buku tersebut di Muslim Professionals Forum, karya Azzam ini cukup kontekstual dalam menjawab tudingan Barat.
Sebab, Hamas kerap dicap sebagai organisasi teroris yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Padahal, sekira 10 bulan sebelum tanggal peluncuran buku tersebut, Hamas meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum demokratis di Palestina. “Dia (Azzam) menulis dengan objektif dan mencerahkan tentang topik yang sering kali disorot hanya dari perspektif Israel atau Barat,” kata Nalla.
Keikutsertaan Hamas dalam pemilu merupakan satu contoh bahwa tujuan organisasi ini bukan untuk melancarkan kekerasan tak-kunjung-usai kepada Israel.
Azzam memaparkan di dalam bukunya itu, Hamas hanya ingin mencapai keadilan dan perdamaian—bukan permusuhan abadi—di hadapan pihak yang jelas-jelas telah mencaplok tanah air Palestina. Sampai di sini, agaknya Azzam senada dengan pemikir lainnya, Edward Said, seorang profesor Amerika kelahiran Palestina, yang mengkritik keras beberapa upaya jembatan dialog yang dibangun Barat.
Said (2007), misalnya, memerinci betapa Perjanjian Oslo 1993 menyiratkan ketidakadilan terhadap bangsa Palestina dan cenderung meruangkan kepentingan Barat-Israel.
Dalam bab delapan buku tersebut, Azzam berupaya menjawab satu kontroversi seputar bom bunuh diri. Pertama-tama, dia menegaskan situasi konflik Palestina-Israel bukanlah suatu perang sebagaimana umumnya. Itu lebih tepat didefinisikan sebagai penjajahan, alih-alih peperangan.
Itu (konflik Palestina-Israel) lebih tepat didefinisikan sebagai penjajahan, alih-alih peperangan.
Sebab, di satu sisi Israel datang kepada (rakyat) Palestina yang hampir-hampir tidak bersenjata, sedangkan Israel sendiri punya persenjataan skala berat dan bahkan hingga teknologi nuklir. Di sisi lain, Palestina selalu dalam kondisi defensif.
“Dari perspektif inilah, apa pun yang orang-orang Palestina lakukan untuk mempertahankan diri dan menghalangi penjajahnya (Israel) itu dibenarkan (legitimate),” tulis Azzam.
Apabila kekuatan dua kubu itu, Palestina dan Israel, seimbang, lanjut Azzam, maka tidak dapat dibenarkan (illegitimate) memakai cara-cara tidak konvensional. Ketimpangan kekuatan antara dua kubu kian nyata bila memerhatikan pemetaan lokasi konflik. Azzam menjelaskan, pihak Palestina kerap menyerang di daerah perbatasan wilayah Palestina-Israel.
Namun, pihak Israel bukan hanya menyasar gedung-gedung pemerintahan Palestina, melainkan juga infrastruktur publik Palestina, semisal sekolah, jembatan, atau bahkan rumah-rumah sakit. “Ini menegaskan kecurigaan bahwa segala operasi (militer Israel) bukan semata-mata untuk menyelamatkan satu orang tentara Israel dari cengkeraman kubu Palestina, melainkan juga kampanye besar-besaran untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan Hamas di Gaza.”
Bila Barat terus-menerus menyikapi konflik Palestina-Israel secara tidak adil, maka bisa jadi intifada-intifada berikutnya akan terus terjadi. Sampai pada poin ini, Azzam menegaskan posisinya sebagai pejuang pro-demokrasi global, bukan semata-mata pro-kemerdekaan Palestina.
Sebagai warga negara Inggris, penulis buku Democracy in Islamic Thought (2009) ini tidak ragu-ragu menentang zionisme. Karena itu, ia kerap mendapatkan tudingan sebagai anti-Yahudi atau pendukung neo-Nazi dan teroris. Segenap stereotipe miring itu tidak menggoyahkan keteguhannya. Bagi Azzam, zionisme tak ubahnya dengan Apartheid karena sama-sama berdasarkan ideologi rasis yang berbahaya.

Sejak beberapa tahun terakhir, Azzam pun turut aktif dalam kampanye solusi pasca-Apartheid di Timur Tengah. Itu bertujuan agar eksistensi rezim “negara” Israel diakhiri. Sebagai gantinya, negara Palestina akan berisi warga yang heterogen tetapi memiliki hak-hak yang setara dan demokratis. Suatu kondisi yang pernah tidak asing di wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Turki Ottoman itu.
Kepiawaiannya selaku penulis tampak dari pelbagai kolom di surat kabar. Kini, Azzam Tamimi tercatat sebagai pemimpin redaksi saluran televisi Ahiwar. Artikel-artikelnya juga kerap terbit di sejumlah media Inggris yang cenderung bersimpati pada perjuangan Palestina.
Azzam mengecam keras pencitraan yang Barat lakukan untuk memosisikan Israel seakan-akan korban.
Dalam kolom di the Guardian, Juli 2014, Azzam mengecam keras pencitraan yang Barat lakukan untuk memosisikan Israel seakan-akan korban. Jelas-jelas, kata dia, Israel telah melakukan kejahatan perang (war crime) karena menyasar penduduk sipil tak bersenjata.
Para pemimpin Israel membenarkan tindakannya mengebom rumah-rumah penduduk serta membantai anak-anak dan perempuan. Mereka berklaim bahwa Hamas memakai orang-orang sipil sebagai tameng manusia. Namun, jelas serangan-serangan (oleh Israel) yang adalah kejahatan perang yang justru telah membuat malu para pendukung Israel di Barat.Azzam Tamimi
KH Muhammad Yunus Anis, Ketum Muhammadiyah yang Tentara
Tokoh Muhammadiyah ini pernah aktif di dunia tentara sebagai kapusroh TNI AD.
SELENGKAPNYAKH Abdul Gaffar Ismail, Dai dan Pejuang Kemerdekaan Indonesia
KH Abdul Gaffar Ismail pernah memimpin misi rahasia untuk mendukung perlengkapan bagi tentara RI.
SELENGKAPNYASepuluh Episode Serial Dokumenter Jamaah Haji Indonesia
Otoritas Saudi juga memberikan fasilitas dan kemudahan bagi para jamaah, mulai keberangkatan hingga kembali ke negara asal.
SELENGKAPNYA