IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Sudan Bukan untuk Rakyat

Sudan bukan untuk rakyat, tapi buat jenderal.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Hanya sedikit orang yang bisa menyelamatkan diri dari pertempuran dua jenderal gila kekuasaan di Sudan — Jenderal Abdul Fattah Burhan (63 tahun) dan Jenderal Muhamad Hamdan Dagalo (47 tahun).

Pertama, mereka yang berpaspor asing dan bisa segera melarikan diri ke Pangkalan Udara Wadi Seidna, 40 kilometer sebelah utara Khartoum, ibu kota Sudan. Mereka kemudian diangkut dengan pesawat kargo militer ke kota-kota di Eropa.

Kedua, para pemegang paspor asing, tapi tak beruntung bisa mencapai Pangkalan Udara Wadi Seidna. Mereka harus melakukan perjalanan hampir 400 kilometer untuk mencapai kota pelabuhan Port Sudan, lalu diangkut dengan kapal perang Arab Saudi menuju Pelabuhan Jeddah.

Ketiga, mereka yang berhasil menempuh jarak dengan mobil atau berjalan kaki hingga melintasi perbatasan Sudan dengan negara tetangga — Mesir di utara dan Chad di barat.

 
Daftar yang bisa menyelamatkan diri berhenti di situ. Tidak ada kategori lain. Itu artinya, rakyat Sudan, sekira 46 juta jiwa, tidak punya tempat berlindung.
 
 

Daftar yang bisa menyelamatkan diri berhenti di situ. Tidak ada kategori lain. Itu artinya, rakyat Sudan, sekira 46 juta jiwa, tidak punya tempat berlindung.

Hingga empat hari lalu, dikabarkan lebih dari 500 warga telah tewas dan sedikitnya 4.000 lainnya terluka. Termasuk yang tewas adalah aktris terkenal Sudan, Asia Abdulmajid. Ia tewas di tengah baku tembak dua pihak yang bertempur di Khartoum.

Sampai sekarang belum ada fatwa ulama yang mengelompokkan apakah mereka yang tewas adalah mati syahid. Juga apakah kedua belah pihak yang bertempur adalah jihad fi sabilillah. Jangan-jangan pertempuran ini untuk hal yang sia-sia. Begitu juga mereka yang tewas. Wallahu a’lam.

Yang jelas, warga Sudan yang masih selamat pun hidup susah, serba ketakutan. Nyawa bisa melayang sewaktu-waktu. Persediaan makanan dan air menipis. Aliran listrik mati. Bahan makanan PBB pun menumpuk di gudang, tidak bisa dikirimkan ke warga. Penjarahan dan kekerasan makin marak.

Tidak bisa dibayangkan kengerian warga Sudan, utamanya di Khartoum (6 juta jiwa), pusat pertempuran pasukan dua jenderal.

Serangan bom bisa sewaktu-waktu menyasar tempat tinggal mereka. Deru konvoi tank, desing peluru, serta meriam memekakkan telinga, mengguncang pondasi rumah dan bangunan tempat mereka berlindung. Pertempuran dua jenderal ini sungguh telah menghancurkan Sudan dan masa depan rakyatnya.

 
Pertempuran dua jenderal ini sungguh telah menghancurkan Sudan dan masa depan rakyatnya.
 
 

Peristiwa terkini Sudan adalah contoh perebutan kekuasaan di sejumlah negara rapuh di Afrika. Kelompok-kelompok bersenjata saling berebut kekuasaan negara.

Bayangkan, seorang jenderal —Jenderal Muhamad Hamdan Dagalo— tidak meniti karier di institusi militer negara. Ia berangkat dari dagang unta antara Sudan, Chad, Libya, dan Mali. Jenjang pendidikan sekolah dasar pun tidak tamat.

Ketika perdagangan unta lesu, ia bergabung dengan penjaga perbatasan milisi Janjaweed pimpinan Musa Hilal. Milisi ini terkenal ketika melakukan pembantaian di Darfur atas perintah Presiden Sudan terguling Omar Bashir. Ia mengandalkan milisi Janjaweed buat mengintimidasi oposisi.

Dalam konflik di barat Sudan itu terjadi pemusnahan etnis rakyat berkulit hitam Afrika. Lebih dari 300 ribu tewas dan sekitar 2,5 juta orang mengungsi. Pelakunya milisi Janjaweed pimpinan Hamdan Dagalo.

Dagalo kemudian berbalik melawan Musa Hilal untuk menjadi komandan milisi Janjaweed. Milisi ini kemudian berubah menjadi Pasukan Pendukungan Cepat (Quwwatu al Da’mu al Sari’) atau RSF yang tunduk pada otoritas kepresidenan, bukan pada komando Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).

Hamdan Dagalo pun jadi kepercayaan Presiden Bashir. Bahkan, Bashir pula yang memberi gelar Hemedti atau ‘Muhammad kecil’, yang dimaksudkan sebagai ‘perlindungan’, karena ia yakin akan ketulusan dan kesetiaannya. Belakangan Bashir menyesal, lantaran orang kesayangannya ini ikut menggulingkannya dari singgasana presiden.

 
Kini Sudan mengekstraksi lebih dari 100 ton emas setiap tahunnya, senilai sekitar 7 miliar dolar AS, yang tidak termasuk dalam anggaran negara dan keuangan publik.
 
 

Sebagai bukti kepercayaannya, Presiden Bashir pun mempercayakan Hemedti untuk mengontrol produksi emas negara itu. Kini Sudan mengekstraksi lebih dari 100 ton emas setiap tahunnya, senilai sekitar 7 miliar dolar AS, yang tidak termasuk dalam anggaran negara dan keuangan publik.

Untuk mengelola tambang emas, Hemedti mendirikan perusahaan Al-Junaid yang dipimpin saudaranya, Abdul Rahim Dagalo. Dari sinilah Hemedti membiayai pasukannya dengan gaji besar, yang membuat iri tentara Sudan.

Seiring perjalanan waktu, peran dan wewenang yang diberikan kepada pasukan Hemedti pun semakin besar. Pada 2013, RSF diberi status sebagai pasukan reguler. Dua tahun kemudian sebuah undang-undang baru disahkan, yang menjadikan RSF sebagai pasukan keamanan independen, yang memungkinkannya memperluas operasi di seluruh negeri.

Kendati ‘dipelihara dan dibesarkan’ oleh Presiden Omar Bashir, ternyata tidak menghalangi Hemedti —yang sudah berpangkat jenderal— untuk menggulingkan ‘tuannya’. Bekerja sama dengan Panglima SAF, Jenderal Burhan, pada Juni 2019, mereka —Burhan dan Hemedti— berhasil mengakhiri 30 tahun kekuasaan rezim Presiden Bashir.

Menurut sejumlah pengamat, sikap Hemedti menunjukkan ambisi sebenarnya, yaitu mengendalikan Sudan. Apalagi pasukannya telah berkembang pesat, lebih dari 100 ribu personel, hampir sama dengan kekuatan tempur SAF.

 
Mereka, pasukan Hemedti, sangat ahli dalam taktik gerilya. Keterampilan mereka diperoleh saat bertempur selama dua dekade di Darfur.
 
 

Mereka, pasukan Hemedti, sangat ahli dalam taktik gerilya. Keterampilan mereka diperoleh saat bertempur selama dua dekade di Darfur. Ini berbeda dengan pasukan SAF yang berlatih tempur secara konvensional.

Setelah menggulingkan rezim Presiden Bashir, kini tinggal satu langkah lagi buat Hemedti untuk berkuasa di Sudan. Langkah itu adalah menyingkirkan Jenderal Burhan, panglima SAF dan sekaligus ketua Dewan Kedaulatan Sudan, yang secara praktis bertindak sebagai presiden.

Apalagi Burhan ingin melebur RSF ke dalam SAF. Pertempuran dua pasukan yang pecah sejak pertengahan April lalu itu sejatinya adalah adu kekuatan dua jenderal.

Yang semakin rumit adalah adanya kekuatan asing dalam pertempuran dua jenderal ini. Pasukan Jenderal Hemedti menguasai industri tambang emas di Sudan, dan menjual emas tersebut ke Rusia dan pihak-pihak di Timur Tengah.

Pada waktu yang sama, Rusia juga sepakat dengan Jenderal Burhan, penguasa de facto, untuk membangun pangkalan angkatan laut di Sudan. Pangkalan ini akan memungkinkan Rusia menempatkan pasukan dan material angkatan laut guna melayani kepentingan regional Rusia di seberang Laut Merah.

Sementara itu, Mesir, sejak 2019, telah bekerja sama dengan Jenderal Burhan untuk kepentingan strategis kedua negara, termasuk latihan militer bersama. Kerja sama bilateral telah diperkuat di tengah meningkatnya ketegangan antara Mesir dan Ethiopia, sejak negara yang terakhir ini membangun Bendungan Renaisans.

Bendungan ini jelas menjadi ancaman bagi keamanan nasional Mesir karena Ethiopia akan bisa mengontrol air Sungai Nil yang menjadi sumber kehidupan rakyat Mesir.

Inilah yang bisa menjelaskan kehadiran personel Angkatan Udara Mesir di pangkalan-pangkalan udara di Sudan, termasuk jet tempur MiG-29 Mesir, ketika RSF merebut Pangkalan Udara Meroe.

Dalam kaitan ini, Mesir tampaknya akan terus mendukung SAF yang dipimpin Jenderal Burhan. Apalagi komandan RSF, Hemedti, berhubungan erat dengan pemerintah Ethiopia, yang jelas menentang kepentingan strategis Mesir.

 
Banyak negara mempunyai kepentingan atas Sudan, baik ekonomi maupun keamanan. Ini lantaran posisinya sangat strategis.
 
 

Banyak negara mempunyai kepentingan atas Sudan, baik ekonomi maupun keamanan. Ini lantaran posisinya sangat strategis. Ia berbatasan dengan tujuh negara — Mesir, Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Ethiopia, dan Eritrea.

Sudan terletak dekat Laut Merah dan mengangkangi Sungai Nil. Karena itu, bukan hanya negara-negara tetangga yang mempunyai kepentingan, tapi juga negara-negara besar, seperti Rusia, Cina, Amerika, negara-negara Eropa, bahkan Israel.

Parahnya, masing-masing kekuatan asing mendukung salah satu jenderal yang kini bertempur demi ambisi kekuasaan. Maka, Sudan bisa jadi seperti Libya yang terpecah jadi dua pemerintahan, masing-masing didukung oleh asing.

Bila demikian, maka rakyat hanya menjadi objek. Rakyat yang berunjuk rasa besar-besaran, selama berhari-hari, menuntut demokrasi pun tidak adanya gunanya. Karena, Sudan bukan untuk rakyat, tapi buat jenderal.

Sejarah Perang Uhud

Pertempuran yang terjadi pada bulan Syawal ini menjadi pelajaran berharga bagi Muslimin.

SELENGKAPNYA

Tiga Penguak Misteri Gunung Padang

Sejak temuan pada 1979, Gunung Padang tak lagi sama.

SELENGKAPNYA

Kedaruratan Global Itu Akhirnya Berakhir

WHO mengumumkan babak baru dalam saga Covid-19 dunia.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya