
Resonansi
Ketika Negara Hadir
Rakyat berharap suatu ketika negara sepenuhnya hadir dan terasa bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Oleh ASMA NADIA
Akina Imanaka, baru saja lulus dari SMP pada Maret 2023. Setelah kelulusannya, sekolah tempat ia belajar ditutup, mungkin, untuk selamanya. SMP tersebut merupakan satu-satunya sekolah menengah di Oteshima, sebuah pulau kecil di Jepang.
Akina, satu-satunya murid SMP di pulau tersebut. Selain Akina tidak ada lagi siswa SD yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Dengan demikian resmilah Akina sebagai satu satunya murid SMP yang tersisa sejak 2020.
Selama kurun waktu itu, ia sendirian belajar di SMP yang dibiayai pemerintah. Walau begitu ia diperlakukan sebagaimana murid bersekolah umumnya. Terdapat lima guru yang mengajarkan semua materi pelajaran, selayaknya di sekolah lain yang punya banyak siswa.
Selain Akina tidak ada lagi siswa SD yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Dengan demikian resmilah Akina sebagai satu satunya murid SMP yang tersisa sejak 2020.
Sebenarnya, SMP tempat Akina belajar sudah ditutup sejak 2013 tetapi dibuka kembali hanya demi memenuhi hak pendidikan Akina. Gadis remaja salah satu anak nelayan di pulau. Peristiwa ini lalu viral secara internasional.
Banyak media meliput, di Jepang maupun negara Barat. Di antara berita, ada yang menampilkan foto Akina sebagai satu satunya lulusan SMP di tengah sekitar 40 penduduk pulau termasuk para guru.
Bagi mereka, kelulusan Akina menjadi simbol pentingnya institusi pendidikan bagi anak-anak. Pada gambar tampak pula seorang bayi yang digendong. Jika bayi itu penduduk asli desa, bisa jadi beberapa tahun ke depan sebuah TK akan dibuka, lalu SD, SMP, dan seterusnya.
Kecuali keluarga sang bayi memutuskan pindah ke wilayah kota. Di Ten-ei, desa yang berada di pegunungan Prefektur Fukushima, satu SMP lain juga kini tutup. Awal Maret lalu sekolah tersebut baru saja meluluskan dua siswa terakhir yang akan melanjutkan pendidikan ke kota.
Sebagian besar media, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, mengangkat fenomena ini dengan sudut pandang betapa Jepang mulai kehilangan generasi penerus.
Sebagian besar media, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, mengangkat fenomena ini dengan sudut pandang betapa Jepang mulai kehilangan generasi penerus. Angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran dan mengakibatkan jumlah populasi berkurang setiap tahun.
Pada 2019, angka kelahiran 900 ribu per tahun tetapi pada 2022 merosot menjadi 800 ribu bayi per tahun. Padahal pada 2021, angka kematian setiap tahunnya bisa mencapai 1,4 juta. Dengan kata lain, populasi penduduk di Jepang berkurang 600 ribu orang setiap tahun.
Perdesaan menjadi daerah paling terdampak akibat penurunan populasi penduduk ini. Dalam rentang 2002-2020, setidaknya 9.000 sekolah tutup, terutama di perdesaan. Sebagian besar penduduk pindah ke perkotaan yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
Ini memperburuk situasi dan menyebabkan desa mati. Sekitar 8,49 juta atau 13,6 persen rumah di Jepang kini terbengkalai. Pada 2038, mungkin 31,5 persen rumah tanpa penghuni. Namun yang menjadi perhatian utama saya atas berita ini, bukanlah masalah depopulasi.
Namun, gambaran pemerintah terasa begitu hadir. Demi satu siswi SMP, negara tetap mengalokasikan bujet pendidikan selama tiga tahun secara konsisten, sekalipun sebagian menilai boros, demi memenuhi amanah konstitusi bahwa pendidikan adalah hak setiap anak.
Demi satu siswi SMP, negara tetap mengalokasikan bujet pendidikan selama tiga tahun secara konsisten, sekalipun sebagian menilai boros, demi memenuhi amanah konstitusi bahwa pendidikan adalah hak setiap anak.
Saya jadi teringat berita beberapa tahun lalu tentang pelajar Jepang bernama Kana Harada. Setiap hari ia harus menaiki kereta dari stasiun Kyu-Shirataki untuk sampai ke sekolahnya. Dan untuk seorang Kana Harada ini, rute kereta tersebut dipertahankan sepanjang tahun.
Semata memenuhi kebutuhan seorang siswa untuk belajar. Begitu si pelajar lulus, kereta berhenti beroperasi dan tidak lagi melewati stasiun tersebut. Malah stasiun tersebut pun ikut ditutup.
Ternyata selama ini kereta hadir semata-mata untuk memenuhi hak dan kebutuhan satu siswa mereka untuk mengakses pendidikan. Fenomena ini sungguh membuat saya iri, melihat betapa institusi negara di sana sedemikian terasa kehadirannya bagi rakyat.
Secara konstitusi, Indonesia memiliki amanah yang sejalan. Sebelum diamendemen, pasal 31 UUD 1945 memuat dua pasal. Pertama, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Kedua, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Setelah amendemen yang keempat, pada 31 UUD 1945 mengalami perubahan lebih tegas.
Pasal 31 UUD 1945 menyatakan (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Lalu, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selanjutnya, (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Melihat amanah konstitusi, tugas negara kita sebenarnya sangat mulia. Selain itu konstitusi juga mempunyai amanah lain bagi negara (baca: pemerintah).
Misalnya, yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (1), yaitu “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.” Artinya negara wajib memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya tanpa ada perilaku diskriminatif.
Sayangnya, seingat saya tidak banyak atau belum terasa kehadiran negara penuh seperti apa yang terjadi di Jepang.
Sayangnya, seingat saya tidak banyak atau belum terasa kehadiran negara penuh seperti apa yang terjadi di Jepang. Ada, berperan, menjadi solusi bahkan meski bagi satu atau dua orang dari rakyatnya. Kalaupun ada mungkin hanya letupan reaksi bukan sebuah kebijakan yang sengaja didesain dan dijaga konsistensinya.
Justru yang marak diberitakan, betapa banyak relawan yang tergerak untuk mengisi kekosongan peran yang seharusnya dijalankan negara. Ada relawan di Tanah Air yang fokus membangun jembatan saking banyak penduduk yang masih sulit mengakses dunia luar.
Ada pula relawan yang membangun listrik di desa dengan memanfaatkan kincir buatan di sungai-sungai. Sampai saat ini ternyata masih cukup banyak penduduk yang belum mengakses listrik.
Kiprah lain dari gerak masyarakat menggantikan peran institusi semestinya --misalnya pada relawan yang membuka perpustakaan gratis di wilayah minim buku.
Saya mengenal relawan Rumah Baca Asma Nadia, yang rajin menempuh berkilo-kilometer, keluar masuk desa demi mendekatkan buku pada masyarakat, khususnya anak dan remaja setempat yang sulit mengakses bacaan.
Atau perpustakan perahu yang beroperasi dari pulau ke pulau agar anak bangsa tanpa kecuali melek literasi.
Untuk sebuah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam melimpah, ditambah penghasilan pajak yang menjadi andalan pemasukan negara, maka wajar --sangat wajar-- jika rakyat berharap suatu ketika negara sepenuhnya hadir dan terasa bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Polemik Angka Kredit Dosen
Puluhan dosen melayangkan protes ke Mendikbudristek terkait kebijakan penyelesaian penilaian angka kredit (PAK).
SELENGKAPNYAAmalan Lailatul Qadar
Lailatul qadar hendaknya disisi dengan berbagai amalan pendulang pahala.
SELENGKAPNYA