
Opini
Strategi Membangun Daerah Penghasil Tuna
Indonesia memiliki sumber daya perikanan tuna yang sangat besar.
Oleh Andre Notohamijoyo
Pemerhati Perikanan, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikaruniai anugerah berupa keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Hal tersebut menjadikan laut sebagai potensi perekonomian yang luar biasa.
Sayangnya, pengelolaannya belum optimal sehingga sektor kelautan dan perikanan belum menjadi penggerak utama perekonomian nasional.
Kasus pelanggaran wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh coast guard dan kapal nelayan dari Cina di Natuna, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu menjadi salah satu contoh pengelolaan wilayah penangkapan ikan yang belum optimal.
Kurangnya kapal penangkap ikan Indonesia menyebabkan wilayah ZEE tersebut rentan dimasuki oleh kapal asing.
Hasil kajian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa estimasi potensi sebesar 12,54 juta ton per tahun.
Potensi sebesar itu memiliki nilai ekonomi yang sangat fantastis. Berbagai komoditas, seperti tuna, tongkol, cakalang, kerapu, kakap, kepiting rajungan, udang, kerang, teripang, dan lainnya sangat potensial menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Khusus untuk ikan tuna, komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi tertinggi di pasar internasional. Hal tersebut mendorong National Geographic membuat serial film khusus perihal pengelolaan ikan tuna yang bernama 'wicked tuna'.
Tuna memiliki nilai ekstrinsik yang sangat luar biasa sehingga memegang rekor harga tertinggi di dunia.
Rekor dunia tersebut dicatatkan pada saat lelang ikan tuna sirip biru selatan atau southern bluefin tuna di Pasar Ikan Toyosu (dulu Tsukiji), Tokyo, Jepang pada 5 Januari 2019. Hasil lelang untuk satu ekor ikan tuna sirip biru selatan adalah 3,1 juta dolar AS (333,6 juta yen) atau setara hampir Rp 45 miliar (World Record Academy: 2019).
Berbagai negara berlomba dalam pengelolaan perikanan tuna. Bahkan, negara yang tidak memiliki wilayah laut yang memadai, turut serta dalam penangkapan ikan tuna.
Hal tersebut mendorong berbagai negara aktif dalam organisasi regional pengelolaan tuna di berbagai kawasan, seperti Samudra Hindia dengan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Samudra Pasifik dengan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan lainnya.
Sebagai negara yang wilayahnya diapit oleh dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Indonesia memiliki sumber daya perikanan tuna yang sangat besar.
Hal tersebut dapat dilihat dari produksi perikanan tuna dunia yang 27 persennya merupakan produksi tuna di kawasan Asia Tenggara (FAO: 2013). Wilayah laut Indonesia mencapai 60 persen dari wilayah laut di kawasan sehingga potensi tunanya yang terbesar di dunia.
Sayangnya, potensi itu belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Ini terjadi karena kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap potensi yang ada. Selain itu, tuna belum menjadi pilihan utama konsumsi masyarakat terhadap komoditas perikanan. Konsumen utama ikan tuna adalah masyarakat kelas menengah atas dengan produk, seperti sushi atau sashimi, steak tuna, tuna kaleng, dan roti atau sandwich. Hal tersebut belum optimal.
Untuk meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap ikan tuna, tidak hanya membutuhkan kampanye gemar makan produk perikanan seperti yang selama ini digaungkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diperlukan cara lain yang lebih jitu.
Salah satu hal strategis yang perlu dilakukan saat ini adalah membangun kota tuna di berbagai wilayah Indonesia. Mengapa kota tuna? Banyak negara yang memiliki sumber daya perikanan tuna mendorong perkembangan daerahnya menjadi kota tuna.
Hal tersebut mendorong kreativitas masing-masing kota di negara tersebut. Filipina memiliki General Santos yang terkenal dengan kota tuna. Demikian pula, dengan Vietnam yang memiliki Nha Trang. Jepang memopulerkan Tokyo sebagai kota tuna dunia.
Lelang ikan tuna di Toyosu (dahulu Tsukiji) menjadi daya tarik wisatawan di negara tersebut. Indonesia perlu mencontoh kesuksesan negara-negara tersebut dan serius mengembangkan kota-kota tertentu sebagai kota tuna nasional.
Banyak sekali kota di Indonesia yang memiliki potensi tersebut. Membangun kota tuna tidak hanya membangun //brand// tuna, tetapi juga membangun keseluruhan ekonomi suatu wilayah yang berbasis pengelolaan sumber daya perikanan tuna berkelanjutan.
Seluruh aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan harus menjadi satu kesatuan dalam pembangunan kota tuna. Kesatuan itu akan mendorong keberlanjutan dalam industri tuna regional. Pemerintah pusat perlu menyusun strategi mengembangkan kota tuna.
Diperlukan sinergi antara berbagai kementerian/lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, dan masyarakat untuk pengembangan kota tuna. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga harus dilibatkan dalam pengembangan kota tuna.
Sinergi mesti dibangun melalui peta jalan yang terstruktur dan terukur.
Diperlukan survei khusus yang melibatkan kementerian/lembaga terkait ke masing-masing kota yang berpotensi menjadi kota tuna. Hasil survei dimanfaatkan untuk menyusun kualifikasi masing-masing kota untuk pengembangan selanjutnya.
Pemerintah harus menetapkan parameter tertentu sebagai ukuran penetapan kualifikasi tertinggi, menengah, dan perintis. Kualifikasi tertinggi adalah daerah yang memiliki pelabuhan perikanan, pelabuhan barang, bandara, dan ketersediaan listrik yang memadai.
Kualifikasi menengah adalah daerah yang memiliki fasilitas-fasilitas tersebut, tetapi masih belum memadai dukungan kelistrikan ataupun transportasi dan distribusinya. Kualifikasi perintis adalah daerah yang memiliki potensi sumber daya perikanan tuna yang bagus, tetapi belum ada dukungan kelistrikan ataupun transportasi.
Kualifikasi akan menentukan proses pembangunan industri tuna selanjutnya. Saat ini, beberapa daerah yang berpotensi ditempatkan dalam kualifikasi tertinggi adalah Kota Padang, Kota Bitung, DKI Jakarta, Cilacap, dan Denpasar.
Kelima wilayah itu telah memiliki seluruh fasilitas, baik infrastruktur maupun sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi demikian memudahkan proses pengembangan kota dan pengelolaan tuna berkelanjutan.
Hal yang diperlukan adalah memperkuat masing-masing daerah sesuai dengan kondisi spesifik yang dimilikinya. Pendekatan spesifik diperlukan karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik berbeda satu sama lain baik ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Hal terpenting adalah kesadaran dari pemerintah daerah masing-masing. Kepala daerah diperlukan peranannya dalam membangun brand kota tuna di daerah tersebut.
Tanpa keterlibatan dan keseriusan pemerintah daerah, brand kota tuna tidak akan terwujud. Pembangunan kota tuna akan mendorong perekonomian regional, penyerapan tenaga kerja hingga membangun kesejahteraan masyarakat, termasuk nelayan.
Inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya. Diharapkan, kasus pelanggaran wilayah ZEE dapat ditanggulangi melalui pembangunan kota tuna. 'Kota Tuna' merupakan wujud nyata Indonesia sebagai negara maritim.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.