Melintasi Sejarah Di Surya Kencana | Republika

Jawa Barat

Melintasi Sejarah Di Suryakencana

Bogor Historical Walk mengajak peserta tur menyusuri kawasan Pecinan.

Kawasan Suryakenca di Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, sedang mendapat perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Kawasan yang mayoritas dihuni keturunan Tionghoa ini akan ditata menjadi kawasan pusat kuliner legendaris. Pun bangunan cagar budaya yang berdiri di sepanjang jalan, akan direvitalisasi setelah dilakukan pendataan terlebih dahulu.

Di balik program penataan, ternyata kawasan Suryakenca atau lebih dikenal Surken memang kaya dengan sejarah dan telah melegenda di masyarakat. Ornamen, kelenteng, patung naga, hingga hunian sebagian besar telah berstatus dilindungi karena didirikan sejak sebelum Republik Indonesia (RI) merdeka.

Bersama komunitas Bogor Historical Walk, Republika dan puluhan peserta yang ingin mengetahui sejarah Suryakencana berkesempatan terlibat menelusuri jejak-jejak peninggalan leluhur di kawasan Pecinan ini. Perjalanan dimulai dari Lawang Suryakencana, yang dibangun pada 2016. Pendiri Bogor Historical Walk Ramadhian Fadillah pun mulai mengenalkan sejarah kawasan Suryakencana kepada para peserta.

Ramadhian yang kerap disapa Ian mulai mengulik cerita dengan melontarkan pertanyaan siapa orang Tionghoa pertama kali yang menginjakkan kaki di Kota Bogor. Tak memberi jeda. Pertanyaan itu, disambar dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri. "Menurut catatan, ada seorang pendeta Buddha Fa Xien atau Fa Hien mengunjungi Tarumanegara sekitar tahun 413," terang Ian memakai mikrofon berpengait telinga agar suaranya terdengar lebih nyaring.

Setelah itu, bangsa Tionghoa berdatangan untuk berdagang maupun menjadi pekerja atau kuli. Kemudian, bermunculan utusan dari berbagai dinasti yang menguasai Cina daratan, mulai Dinasti Tang, Yuan, hingga Ming. Peserta terperangah mendengar cerita Ian. Tak ingin suasana canggung, Ian mulai mengajak melanjutkan penjelajahan bersejarah. Sasaran berikutnya Kelenteng Hok Tek Bio.

Sebelum memasuki klenteng, Ian mengumpulkan peserta di halaman. Dia menjabarkan arti Hok Tek Bio. Hok memiliki arti kebajikan, Tek berarti rezeki, dan Bio adalah tempat ibadah. "Berdirinya sekitar 1800. Ada yang menyebut 1867, tapi sepertinya lebih tua," tutur wartawan Merdeka.com ini.

Dia menunjukkan lukisan yang berada di bangunan kelenteng sisi kiri tembok. Di situ terdapat mural Biksu Tong Sam Chong, Sun Go Kong, Tie Pat Kay, dan Sam Cheng. Di Indonesia, keempat nya dikenal sebagai figur dalam film Kera Sakti yang sempat populer di masyarakat, beberapa tahun lalu. "Tong Sam Cong aslinya Xuan Zang atau Hsuan Tsang. Dia biksu era Dinasti Tang, sekitar 620," jelas Ian.

Dalam film Kera Sakti, mereka digambarkan pergi ke Barat mencari kitab suci. Ian pun menjelaslan Barat dalam kehidupan yang sebenarnya berarti negara India sekarang. Perjalanan itu penuh rintangan, sehingga banyak cobaan yang dihadapi Biksu Tong Sam Chong dan rombongan.

"Sebenarnya, karena banyak pertentangan dalam agama Buddha, Hsuan Tsang pergi ke Universitas Nalanda di Bihar, India," tuturnya. Perjalanan ke Barat itu, sambung Ian, ditulis Wu Cheng An menjadi sebuah novel sekitar 1500 di era Dinasti Ming.

Pemimpin Tionghoa

Banyak lokasi yang dijelajahi pada Sabtu (18/1), dimulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.30 ini. Namun, kali ini, yang menarik perhatian untuk dikulik, yakni jejak sejarah bangsa Tionghoa.

Tujuan berikutnya menuju kediaman Letnan Lie Beng Hok yang berada di area Pasar Baroe. Ian menjelaskan, gelar Letnan dan Mayor bagi masyarakat Tionghoa berbeda dengan Indonesia yang merujuk pada pangkat militer pada masa kini. Ian mengungkapkan, Letnan dan Mayor merujuk pada pemimpin masyarakat Tionghoa pada masa itu.

"Kalau di sini disebut dengan kapten. Tugasnya apa? Memimpin warga Tionghoa di sini untuk menyelesaikan masalah waris, keamanan, dan sebagainya. Kapten itu bisanya ya berasal dari orang yang kaya," terangnya.

Ian pun menyempatkan untuk mengajak peserta mengunjungi situs budaya, Hotel Pasar Baroe. Kondisinya memang sudah tak terawat. Bangunan bertingkat dua itu tampak telah rapuh dengan bolong-bolong dan berlumut.

Ian menjelaskan, Hotel Pasar Baroe dibangun oleh sang pemilik, Tan Kwam Hong, sekira 1873. Hotel itu menjadi salah satu hotel ternama di Bogor yang menjadi langganan kaum pribumi. Tentu saja, pribumi elite yang bisa menginap. "Salah satu yang katanya sering menginap di sini adalah Tirto Adhi Soerjo, perintis persurat kabaran dan juga pendiri Sarikat Dagang Islam," ceritanya.

Pada 1911 Tirto berkongsi dengan Haji Samanhoedi untuk membentuk Sarikat Dagang Islam. Tujuannya, untuk melawan dominasi pedagang Tionghoa dan kewesenang-wenangan Keraton Surakarta. Akibatnya, Tirto harus berhadapan dengan penjajah Belanda. Dia akhirnya dibuang dan diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku. "Tokoh yang digambarkan Minke oleh Pramoedya Ananta Toer itu meninggal pada 1918 dengan usia 38 tahun,"kata Ian.

Penjelajah sejarah di kawasan Suryakencana dilanjutkan ke Gedong Dalam. Ian menjelaskan, Gedong Dalam berdiri sekitar 1970. Penamaan itu diambil lantaran sebuah bangunan yang lokasinya agak menjorok ke dalam. "(Ini) rumah megah yang paling besar di Pecinan Bogor untuk tempat tinggal Marga Tan," katanya sambil menunjuk bangunan tersebut.

Ian menuturkan, Gedong Dalam memiliki satu ruangan khusus yang dipakai rapat Kong Koan atau Dewan Tionghoa Bogor. Karena itu, bangunan tersebut dinamakan juga Rumah Kong Koan. Ian pun mengulik perkembangan perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Tiong hoa. Dulunya, Tionghoa begitu superior dalam perdagangan di Indonesia hingga sektor eceran sekali pun.

Namun, perdagangan yang dilakukan oleh bangsa asing mulai dibatasi. Hal itu, tertuang dalam Peraturan Presiden (PP)Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1959 yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Alhasil, pedagang Tionghoa yang berjualan di desa-desa harus kembali ke pusat kota. "Aturan warga asing nggak boleh jadi pengecer untuk (tingkat) kabupaten ke bawah. Di situ, Tionghoa yang jadi korban," katanya.

Akibatnya, banyak warga totok dan keturunan Tionghoa dari Marga Tan dan Thung meminta pertolongan ke Marga Tan di Gedong Dalam. Ian menuturkan, Gedong Dalam sempat menjadi kantor Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 1954. "Sayangnya, pas 1965 diambil alih pemerintah karena Baperki dianggap underbouw PKI (Partai Komunis Indonesia)," tutur nya.

Jelajah kemudian dilanjutkan ke Pulo Geulis dan bersinggah di Kelenteng Pan Kho Bio. Di situ, rombongan disambut oleh pemerhati sejarah Kampung Pulo Geulis, Abraham Halim.

Kelenteng tertua

Sesi pelajaran sejarah, digantikan oleh Abraham Halim atau yang lebih akrab disapa Bram. Dia menerangkan, Kelenteng Pan Kho Bio atau Vihara Maha Brahma memiliki sejarah panjang yang juga diklaim sebagai kelenteng tertua yang berdiri sejak 1703.

Memasuki klenteng terdapat altar patung para dewa bagi kepercayaan Konghucu dan Buddha. Dewa Pan Kho terletak paling teratas. Sedangkan, bagi penganut Buddha terdapat patung Dewi Kwan Im.

Di aula utama bagian dalam tempat ini, terdapat batu bersejarah dari Mbah Raden Mangku Jaya, tokoh leluhur tanah Sunda yang juga keturunan Raja Pajajaran. Bram menjelaskan, batu tersebut merupakan benda peninggalan dari era Megalitikum atau zaman batu. Di situ, terdapat juga dua batu petilasan yang dipercaya sebagai jejak dua tokoh penyiar agama Islam, yakni Embah Sakee dan Eyang Jayaningrat. "Di sini menjadi tempat peribadatan tiga agama, Konghucu, Buddha, dan Islam," kata Bram.

Bram menjelaskan, masyarakat sangat menjunjung nilai toleransi. Pasalnya, dalam satu tempat peribadatan terdapat tiga tempat peribadatan sekaligus. "Jadi, ini menggambarkan dari dulu Bogor merupakan kota yang toleran," tegas Bram.

Dia menambahkan, tempat tersebut telah menjadi cagar budaya yang dilindungi. Dia menjelaskan, hubungan masyarakat Tionghoa dan Sunda telah sejak lama terjalin dengan baik. Bahkan, hubungan di masyarakat tidak memandang etnis dan suku, sehingga bisa saling berbaur. "Sejak dulu, orang Tionghoa dan Sunda telah hidup secara beriringan," ucap Bram menegaskan.

Sesi dengan Bram selesai. Ian kembali melanjutkan ulasan sejarah dengan berbagai topik, mulai dari Geger Pacinan, Barongsai, Jao To atau soto. Ian menuntaskan, perjalanan dengan bersua foto dengan segenap peserta.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat