Opini
Ikhtiar Menginternalisasi Ekoteologi Kehidupan
Perlindungan terhadap lingkungan hidup atau keadilan ekologis.
HIDAYAT TRI SUTARDJO; Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia Pusat, Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, populasi umat Islam di Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah ini, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88 persen) beragama Islam. Artinya, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.
Menurut laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) atau MABDA bertajuk "The Muslim 500" edisi 2022, ada 231,06 juta penduduk Indonesia yang beragama Islam. Jumlah itu setara dengan 86,7 persen dari total penduduk Indonesia. Proporsi penduduk Muslim di Indonesia pun mencapai 11,92 persen dari total populasi Muslim sedunia.
Setelah Indonesia, Pakistan di posisi kedua dengan 212,3 juta penduduk beragama Islam (10,95 persen). Di urutan berikutnya India dengan 200,02 juta penduduk Muslim (10,32 persen). Artinya, dengan komposisi 25 persen dari populasi global umat Islam dan 86,7 persen dari populasi Indonesia, jika umat Islam bertindak serentak dan teratur untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari krisis, tentu akan memiliki dampak yang sangat signifikan.
Masalahnya yang dihadapi kemudian adalah pendekatan apa yang efektif untuk menggerakkan dan membimbing pikiran dan tindakan umat Islam agar berorientasi pada penyelamatan lingkungan hidup dari krisis? Tentu tiada pendekatan lain yang lebih mendasar kecuali pendekatan yang sehari-hari mereka hayati, yaitu pendekatan religius, yang salah satu dimensinya disebut fikih.
Jika umat Islam bertindak serentak dan teratur untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari krisis, tentu akan memiliki dampak yang sangat signifikan.
Maqashid Syariah sebagai Perspektif
Maqashid al-syari'ah adalah tujuan yang ingin dicapai oleh syariat agar kemaslahatan manusia bisa terwujud atau maqashid al-syariah memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemaslahatan umat manusia.
Konsep maqashid al-syari'ah disusun oleh Imam al-Ghazali pada abad 12 Masehi. Kemudian diteruskan oleh para ilmuwan, seperti Imam asy-Syatibi serta Thahir Ibnu Asyur.
Maqashid al-syari’ah menyebut bahwa syariah diturunkan untuk menjaga lima hal primer (dharuriyatul khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan (nafs), agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).
Pada tahun 2000-an, Prof KH Ali Yafie menambahkan perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) sebagai salah satu poin penting tujuan diturunkannya syariah.
Pada tahun 2000-an, Prof KH Ali Yafie menambahkan perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) sebagai salah satu poin penting tujuan diturunkannya syariah. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah mengalami pengembangan dari lima hal yang primer (dharuriyatul khamsah) menjadi enam hal yang primer (dharuriyatus sittah).
Dengan demikian, maqashid al-syari’ah adalah konsep yang berorientasi pada perlindungan kehidupan. Di dalamnya terdapat tiga konsep perlindungan, yaitu perlindungan terhadap kehidupan antar spesies (hifzhun nafs), pelindungan terhadap kehidupan antar generasi (hifzhul nasl), dan perlindungan terhadap lingkungan hidup atau keadilan ekologis (hifzhul bi’ah).
Ridwanuddin (2023) menambahkan, di tangan almarhum KH Ali Yafie lah, maqashidus syari’ah sebagai konsep yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup (hifzhul bi’ah). Hifzhul bi’ah adalah tujuan yang menjadi jangkar utama dalam maqashid al-syari’ah dan memandu umat Islam berada pada jalan yang lurus, yaitu melindungi planet bumi yang di dalamnya ada beragam generasi yang hidup dan berkembang sekaligus rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati.
Menuju Internalisasi Fiqh Lingkungan
Ushul fiqh sebagai turunan dari maqashid, bertugas menegakkan maqashid al-syari'ah, yaitu kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Produk hukum (fiqh) yang tidak menciptakan kemaslahatan perlu ditegur dan dikembalikan ke tujuan semula.
Salah satu alat kendalinya adalah istihsan. Sebagian ulama membedakan antara syariah dengan fiqh. Syariah berkarakter pasti, abstrak, ideal, dan berisi nilai-nilai fundamental, sedangkan fiqh berwatak dhzanni (dugaan kuat), konkret, dan produk penafsiran atas syariat.
Syariah Islam dibangun atas dasar hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia merupakan keadilan yang bersifat mutlak, kasih sayang, kemaslahatan dan hikmah.
Syariah Islam dibangun atas dasar hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia merupakan keadilan yang bersifat mutlak, kasih sayang, kemaslahatan dan hikmah.
Karenanya, setiap persoalan yang bertolak dari keadilan menuju kezaliman, dari kasih sayang menuju kekerasan, dari kemaslahatan mengarah ke kemadharatan, dari hikmah menuju kesia-siaan, semua itu bukan syariah, sekalipun ditafsirkan sebagai syariat (Ibnul Qayyim dalam I'lam al Muaqqi'iin).
Bila dicermati kondisi lingkungan saat ini, seluruh bangsa di muka bumi menyadari dengan cemas, keadaan sedang terjadinya kerusakan lingkungan bila dibandingkan dengan masa-masa yang lalu. Bahkan laju kerusakan lingkungan ini, bila tidak diintervensi secara global dan serentak oleh setiap negara, terutama negara-negara industri, umat manusia dan generasi berikutnya akan menghadapi krisis lingkungan yang berpotensi memusnahkan daya dukung kehidupan mereka.
Segala yang ada di muka bumi memang diperuntukkan bagi kemakmuran manusia (QS al-Baqarah [2]: 29). Namun demikian tetap harus memperhatikan keterbatasan daya dukung lingkungan. Pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungan tentu terjadi kerusakan dan pada akhirnya manusia juga yang akan menanggung akibatnya (QS 30: 41).
Para ahli fikih telah sepakat bahwa dalam pembuatan kebijakan (hukum), pemanfaatan sumber daya alam dengan tujuan kemaslahatan harus mendasarkan pada tiga asas (kaidah) utama.
Pertama, kepentingan masyarakat luas dan bangsa harus didahulukan daripada kepentingan pribadi maupun golongan. Kedua, menghindari atau menghilangkan penderitaan harus didahulukan daripada memperoleh keuntungan. Ketiga, kehilangan/kerugian yang lebih besar tidak dapat digunakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil dan manfaat yang lebih besar untuk rakyat harus didahulukan daripada manfaat yang lebih kecil.
Berdasarkan penjelasan Alquran dan hadis tentang sumber daya alam dan pemanfaatnya dapat dirinci sebagai berikut..
(1) Tuhan Allah sebagai Pemilik Tunggal alam semesta, termasuk bumi dan seisinya. Pemilikan perorangan atas lahan atau sumber daya alam yang menjadi milik umum tidak dibenarkan atau dilarang.
(2) Penyalahgunaan hak oleh perorangan maupun kelompok dilarang dan akan mendapatkan hukuman.
(3) Hak pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi milik umum diatur oleh masyarakat atau negara.
(4) Sumber daya alam yang terbatas ketersediaannya atau langka pemanfaatannya diatur oleh negara.
(5) Kesejahteraan atau kemashlahatan umum didahulukan dan dilindungi.
(6) Kemanfaatan atas sumber daya alam dilindungi dan kerusakan yang dapat menyebabkan menurunnya nilai manfaatnya dihindari.
Ketika isu lingkungan dibawa ke dalam domain fikih, maka implikasinya tidak lagi dalam kategori free choice dalam makna teologis, tapi sudah bergeser menjadi suatu beban (taklif) dan tanggung jawab setiap individu Muslim.
Sebagai mukallaf, setiap Muslim berkewajiban mengambil peran dan tanggung jawab. Dalam kerangka pendekatan fikih ini, hanya tersedia al-ahkam al-khamsah atau hukum yang lima: wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh.
Bilamana persoalan lingkungan sudah diletakkan dan didefinisikan dalam kaitannya dengan perbuatan seorang mukallaf, maka akibat hukum fikihnya menjadi lima hal: wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh.
Berdasarkan argumen yang sahih, dapat diyakini bahwa penyelematan lingkungan adalah wajib hukumnya bagi setiap individu Muslim.
Berdasarkan argumen yang sahih, dapat diyakini bahwa penyelematan lingkungan adalah wajib hukumnya bagi setiap individu Muslim.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di muka bumi, pada dasarnya bukan akibat maraknya industrialisasi, tetapi lebih kepada perilaku dan pola interaksi manusia terhadap alam yang cenderung destruktif. Sebab itu, eksistensi makhluk hidup di muka bumi sangat bergantung pada sejauh mana manusia mampu berlaku adil terhadap alam. Alam diciptakan dengan sistem yang harmoni dan proporsional, tugas manusia adalah menjaga keseimbangan itu.
Untuk menginternalisasi fikih lingkungan ini, maka para aktivis lingkungan yang tergabung di Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah menerbitkan buku yang berjudul Pesan Langit Untuk Bumi; Fiqh Lingkungan Dari Muhammadiyah Untuk Generasi Mendatang. Buku setebal 270 halaman tersebut sebagai ikhtiar nyata dalam membantu untuk menginternalisasi fikih lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejauh mana isu lingkungan memungkinkan dan sah ditarik menjadi kategori hukum taklif dapat dilandaskan dari banyaknya nash yang secara jelas berkaitan dengan hal ihwal lingkungan, baik berupa larangan, ilustrasi maupun perintah. Pendekatan fikih ini harus diletakkan pada landasan akidah dan akhlak.
Bilamana dicermati dengan saksama, begitu banyak nash dan pentingnya masalah lingkungan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Sudah sepatutnya pendekatan atas isu lingkungan dapat meningkat menjadi domain fikih Islam, sehingga terbimbinglah umat Islam dalam perbuatannya terkait dengan permasalahan lingkungan.
Metaverse yang Mati Suri Dihajar Bear Market
Metaverse bukan sebuah produk, tetapi evolusi.
SELENGKAPNYAPerubahan Iklim Ancam Ekonomi Dunia
Langkah untuk mencapai nol emisi karbon masih menghadapi tantangan.
SELENGKAPNYAButuh Rp 4.002 Triliun untuk Wujudkan Nol Emisi Karbon
Target pencapaian NDC membutuhkan dukungan investasi dari sektor swasta.
SELENGKAPNYA