
Dunia Islam
Penjelasan Buya Hamka tentang Teori Evolusi Darwin
Hamka menyebut, teori evolusi Darwin bukan hal baru; ilmuwan Muslim lebih dahulu menggagas.
Orang-orang mengenal Charles Darwin (1809-1882) sebagai seorang pencetus teori evolusi. Pemikirannya sempat menuai kontroversi, termasuk dari kalangan beragama. Sebab, pencetus gagasan survival of the fittest itu acap kali dikaitkan dengan isu bahwa manusia berasal dari monyet.
Lantas, bagaimana Islam memandang teori Darwin tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini disajikan seorang ulama kenamaan, Prof Buya Hamka. Uraiannya termaktub dalam buku 1001 Soal Kehidupan.
Pertama-tama, Hamka menegaskan bahwa jauh sebelum Darwin, telah ada sejumlah ilmuwan Muslim yang mengajukan teori tentang makhluk yang mendahului (dominasi) manusia di muka bumi.
Misalnya, seorang filsuf Ibnu Maskawaih (wafat 1030 M) yang menulis Tahzibul Akhlaq. Dalam kitabnya itu, sang sarjana Muslim menerangkan teori yang mendekati teori Darwin, "Kemajuan hidup dari nabati, sampai kepada ikan, binatang, dan insan."
Ibnu Maskawaih lebih dahulu delapan abad daripada Darwin. Maka dari itu, lebih tepat bila dikatakan teori evolusi diinisiasi kalangan Muslim.
Dikatakannya bahwa akhir kemajuan binatang terbatas sampai kera. Dan, permulaan kemajuan jadi insan dimulai dari kehidupan orang Zanji atau Negro yang belum berkebudayaan.
Hamka mengatakan, Ibnu Maskawaih lebih dahulu delapan abad daripada Darwin. Maka dari itu, lebih tepat bila dikatakan teori evolusi diinisiasi kalangan Muslim.
Tidak hanya tokoh tersebut. Ada pula Ibnu Khaldun yang dalam karya monumentalnya, Muqaddimah, mengeluarkan teori semisal itu. Maka, apa bedanya mereka dengan Darwin?
Menurut Hamka, perbedaan para cerdik cendekia Muslim itu dengan Darwin hanyalah dalam pandangan dunia masing-masing, bukan objek yang dibicarakan. Ibnu Maskawaih dan Ibnu Khaldun mengesankan dalam mengemukakan teorinya berkaitan dengan Alquran--semisal Yasin ayat ke-38.
Namun, Darwin tidak menyebut-nyebut sama sekali kemahakuasaan dan takdir Allah. Tidak pula ilmuwan Barat ini mengakui, bahwasannya semua makhluk diatur oleh-Nya.
Bahkan, Hamka memberikan klarifikasi, Darwin sendiri tak mengatakan bahwa asal-usul manusia adalah dari monyet. Maka, pendapat sarjana Eropa ini hampir serupa dengan pendapat Ibnu Maskawaih yang berkata, kemajuan mutakhir binatang adalah monyet. Demikian Ibnu Khaldun.
"Ia (Darwin) tertumbuk dengan satu 'mata rantai yang belum bertemu' (missing link), yaitu apakah jenisnya sama antara manusia dan monyet itu? Atau, manakah rantai penghubung di monyet dengan manusia? Ibnu Maskawaih dan Ibnu Khaldun pun belum pula sampai ke situ, " tulis Hamka.
"Dekat" dengan kera
Hamka berpendapat, janganlah kita alergi sehingga seketika menolak teori-teori yang "mendekatkan" manusia dengan hewan, katakanlah, kera atau monyet.
"Dapatlah kami mengatakan bahwasannya orang yang berpikir luas tidaklah serta merta hendak menolak saja teori-teori yang 'mendekatkan' manusia dengan monyet," katanya.
Sebab, lanjut dia, ketika memberi penggambaran tentang insan ilmu manthiq, yang sering dipelajari di pondok-pondok pesantren, pun memandang bahwa "manusia adalah binatang, tetapi pandai berpikir".
Dekat tidak berarti sama. Tentu saja, manusia berbeda dengan hewan. Yang satu diberi oleh Allah alat berpikir, sedangkan yang lain hanya dilengkapi naluri atau insting.
Dekat tidak berarti sama. Tentu saja, manusia berbeda dengan hewan. Yang satu diberi oleh Allah alat berpikir, sedangkan yang lain hanya dilengkapi naluri atau insting.
Bila menurut teori evolusi segala makhluk yang sejenis memiliki asal yang satu rumpun, maka Darwin tertumbuk pada pertanyaan: mengapa manusia kian lama kian sempurna akalnya, sedangkan kera--yang hidup jauh-jauh lama dahulu--keadaannya sama saja dengan sekarang?
Sampai di sini, Hamka melihat adanya kekurangan pada pandangan dunia materialistik atau sekuler. Sementara, pandangan dunia Islami mengembalikan pokok tentang asal-mula kepada Allah SWT.
"Darwin tidak mau membawa soal Tuhan ke dalam teorinya. ... (Sebabnya adalah) pengaruh kaum cerdik pandai abad ke-19, selain dari usaha memisahkan kenegaraan dan keagamaan, santer (kuat) pula pendapat bahwa urusan ilmiah jangan disangkut-pautkan dengan agama," tulis Hamka.
Reaksi kaum agama (Kristen) di Eropa terhadap teori Darwin pada abad ke-19 itu cukup besar. Para agamawan merasa, ajaran Darwin menistakan kesucian Bibel. Dalam Bibel, dinyatakan bahwa asal manusia adalah dari Adam, bukan berdekatan dengan kera.
"Darwin mengatakan, jenis manusia telah hidup di dunia ini beratus-ratus ribu tahun, padahal menurut Bibel belum cukup tujuh ribu tahun," kata Hamka.
Sementara, banyak kaum agamawan Muslim merasa, teori Darwin menjatuhkan derajat manusia menjadi binatang. Padahal, agama menaikkan martabat manusia.
Dari kalangan Islam, Jamaluddin al-Afghani pun menyanggah teori Darwin dalam konteks tersebut. Baginya, teori tersebut menyuburkan paham materialisme dan melalaikan insan dari tugas kemanusiaan tertinggi, yakni menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Jawaban Buya Hamka atas '1001 Soal'
Melalui karyanya ini, Buya Hamka menyajikan pengetahuan komprehensif ihwal banyak soal.
SELENGKAPNYAGereja Meradang, Ekstremis Yahudi Terus Berulah
Sejak awal tahun ekstremis Yahudi kerap emrusak gereja di Yerusalem.
SELENGKAPNYAMencari Istana Khalifah Umar
Suatu ketika, seorang utusan Romawi datang ke Madinah guna mencari Umar.
SELENGKAPNYA